SUNYI

Indah kau pancarkan
Bias sinar terangi hati
Menerawang sunyi
Semakin kelam kurasakan

Bintang itu
Bintang-bintang hatiku
Selalu tersenyum dalamnya kalbu


Biarlah aku sendiri
Takkan pergi tinggalkan sunyi

Dalam sepi…
Aku mengerti
Aku sendiri
Aku sadari

Siapakah diri ini?!
Siapakah jiwa ini?!

Diam…
Aku terdiam
Aku bertahan
Sampai kapan??

Oleh: The Hunter
 Pecinta Tuhan; mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

Sekilas Tentang Syi'ah

By: LIGA

Sudah banyak kita mendengar cerita tentang syi'ah dan beberapa akidah mereka yang bertentangan dengan akidah ahlu sunnah wal jama'ah. Bukan hal baru lagi kalau kita sering membaca buku yang isinya menentang syi'ah, menolak ajarannya dan menjawab dalil-dalil syi'ah yang bertentangan dengan akidah kaum sunni. Akan tetapi di sisi lain kita juga menemukan tulisan-tulisan yang menguatkan keberadaan kaum syi'ah. Yang memprihatinkan adalah sebagian dari tulisan itu ditulis oleh para pelajar Indonesia yang sedang belajar di Iran, khususnya pelajar yang berada di daerah Qom, Iran.



Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini gencar terjadi pen-syi'ah-an, rata-rata mereka yang disyi'ahkan adalah orang-orang awam yang tidak tahu agama dan orang-orang ekonomi menengah ke bawah. Banyak daerah di Indonesia yang sudah menjadi tempat sasaran pensyi'ahan kaum syi'ah. Daerah Pemalang, Pasuruan dan Malang merupakan contoh kecil beberapa daerah yang sudah menjadi ladang pensyi'ahan. Di Pemalang orang-orang diiming-imingi dengan dana bantuan untuk renovasi masjid, sarana ibadah dan madrasah, di Pasuruan ada sebuah daerah yang di situ menghalalkan nikah mut'ah --kalau sudah menonton film kawin kontrak ya seperti itulah adanya daerah itu. Di Malang lebih menggegerkan lagi, sekelompok kaum syi'ah mengadakan haul arba'in Imam Husein di sebuah gereja. Di dalam gereja mereka bernyanyi sambil memukul-mukul tubuh mereka meniru gerakan orang-orang syi'ah waktu perayaan hari asyura' di Karbala, Iran. Coba bayangkan apakah layak seorang imam seperti Imam Husein haulnya diadakan di sebuah gereja, atau apakah karena mereka tidak mendapatkan tempat lagi untuk merayakan haul Imam Husein selain di gereja karena umat Islam tidak menerima keberadaan mereka?
Salah satu hal yang membuat syi'ah berbeda dengan kaum sunni adalah penisbatan label ma'shum kepada para imamnya –di samping banyak hal lain yang membedakan mereka dengan kaum sunni. Mereka menyangka bahwa para imamnya adalah orang-orang yang ma'shum tidak pernah tersentuh dosa sama halnya dengan para nabi. Doktor Ahmad An Nablusy seorang doktor dari Urdun (Jordania) yang sudah dua tahun lebih meneliti tentang syi'ah ketika berkunjung ke Ahgaff university menyampaikan bahwa ada lima hal yang menunjukkan kesalahan/kelemahan sangkaan syi'ah tersebut:
1. Tidak ada satu orangpun dari ahli bait yang berkata seperti itu, jikapun ada pastinya mereka sudah terpengaruh paham syi'ah, dan hanya sedikit sekali dari beribu-ribu ahli bait yang tersebar di seluruh dunia.
2. Awal orang yang mengatakan hal tersebut (kema'shuman imam) bukanlah berasal dari ahlu bait, akan tetapi orang-orang dari daerah Qom dan Kufah yang jaraknya beribu-ribu kilometer dari Madinah yang merupakan kediaman para imam yang mereka anggap ma'shum tersebut.
3. Tidak ada seorangpun dari para anak-anak imam tersebut yang berkata tentang kema'shuman orang tuanya.
4. Begitu juga saudara-saudara para imam tersebut, tidak ada satu orangpun yang berkata tentang kema'shuman saudara-saudara mereka.
5. Tidak ada satu orangpun dari imam-imam tersebut yang menulis kitab dan menyebutkan tentang kema'shuman dirinya dalam kitabnya.
Selain hal kema'shuman itu masih banyak lagi hal lain dari syi'ah yang bertentangan dengan akidah ahlu sunnah wal jama'ah, seperti nikah mut'ah dan pembayaran pajak untuk para imamnya. Seperti dijelaskan Doktor Ahmad An Nablusy, setelah diteliti lebih jauh mulai dari awal munculnya syi'ah hingga sekarang tujuan syi'ah tidak lepas dari harta dan uang. Sudah banyak cerita bahwa para pengikut syi'ah diwajibkan membayar semacam pajak kepada imamnya.
Sedangkan untuk masalah nikah mut'ah hanya orang-orang yang ingin mengikuti hawa nafsunya sajalah yang mau dan senang untuk mengikuti nikah mut'ah tersebut. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup akan kebenaran dan terkuasai oleh hawa nafsu dan bisikan syetan sehingga menyangka yang haq itu bathil dan yang bathil itu haq.
Para ulama ahli sunnah sendiri sudah banyak bicara mengenai nikah mut'ah tersebut. Para ulama ittifaq mengenai diperbolehkannya nikah mut'ah tersebut pada masa Nabi kemudian berbeda pendapat tentang penghapusannya menjadi dua golongan :
1. Jumhurul ulama berpendapat bahwa nikah mut'ah sudah tidak diperolehkan lagi berdasarkan hadis Nabi :
عن علي أن الرسول صلى الله عليه و سلم نهى عن متعة النساء يوم خيبر و عن أكل لحوم الحمر الإنسية. ( أخرجه مالك في المواطاء, في النكاح باب نكاح المتعة : 542)
و روي الربيع بن سبرة الجهني عن أبيه قال: غدوت على رسول الله فاذا هو قائم بين الركن و المقام مسندا ظهره إلى الكعبة يقول: يا أيها الناس إني أمرتكم بالاستمتاع من هذه النساء ألا و إن الله قد حرمها عليكم إلى يوم القيامة, فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيلها لا تأخذوا مما أتيتموهن شيئا. ( أخرجه مسلم, في النكاح رقم: 1406(20)
و روي عن عمر: لا أوتى برجل تزوج امرأة إلى أجل إلا رجمتهما بالحجارة.
2. Ibnu Abbas berpendapat bahwa hukum mut'ah tidak terhapus, akan tetapi, diriwayatkan lagi darinya bahwa dia mencabut pendapatnya tersebut (tetapnya hukum mut'ah) dan diriwayatkan dengan sanad-sanad yang dloif.
Setelah mengetahui hukum mut'ah, tidak ada lagi jalan untuk menghalalkan nikah mut'ah karena jumhur ulama sudah menyatakan keharaman nikah mut'ah tersebut. Dan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas itu tidak bisa dijadikan pedoman karena hanya dia sendirilah yang memperbolehkan nikah mut'ah. Wallahu a'lam.

 Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat III.

Selengkapnya....

LOYALITAS DALAM BERORGANISASI

Oleh: Masriki

Secara umum organisasi terbentuk karena adanya latar belakang dan kepentingan yang sama dari para anggotanya. Adanya kesamaan-kesamaan tersebut berpotensi melahirkan loyalitas dan sikap-sikap konstruktif yang beragam untuk proses pendewasaan guna mengoptimalkan potensi organisasi dalam merealisasikan tujuan-tujuan berdirinya organisasi tersebut.

Dari wawasan ini, maka FORMIL sebagai mitra fakultas dalam mensukseskan program pendidikan yang, salah satu fungsinya adalah menampung kreatifitas, ide, dan bakat serta memfasilitasinya menyelenggarakan program-program kerjanya baik yang akademik maupun non-akademik melalui berbagai departemen yang dimilikinya. Prospek dari penyelenggaraan program kerja tersebut adalah menciptakan generasi yang cakap, bertanggung jawab, dan berpengalaman.




Namun dari berbagai program kerja yang dijalankan, hanya sebagian kecil yang mendapat perhatian kita, selebihnya kita biarkan diurusi sendiri oleh yang bertanggungjawab terhadap program tersebut dan dibiarkan mati perlahan-lahan. Hal ini terlihat pada berbagai rutinitas yang diselenggarakan FORMIL, seperti FORDIF yang pesertanya hampir selalu 10 orang atau Bahtsul Masa'il yang kalau menginjak jam 10 tinggal moderator, petugas, dan beberapa gelintir orang atau majalah yang hampir semua rubriknya diisi sendiri oleh redaksi dan program-program terlantar lain yang kita saksikan bersama. Alasan-alasan yang menimbulkan kurang perhatian kitapun bermacam-macam ada yang takut nilainya akan jelek kalau aktif di organisasi, ada yang mengkambing hitamkan sistem dan kebijakan-kebijakan universitas, ada juga yang berkata, "kita tuh udah mustawa jami'i, masa sih masih diatur-atur dan disuruh gini gitu....," saat koordinator acara rutinitas memohon kehadirannya hanya karena di tempat acara tidak satupun yang datang. Di samping itu ada juga yang sempat berbaik hati dengan memberikan kritikan ini itu, tapi kritik tersebut malah terkesan tidak kongkrit karena si pengkritik hanya menilai dan menilai tanpa ada usaha nyata yang sebenarnya ia punya ruang gerak di sana.

Terkait dengan kebijakan-kebijakan universitas, sejauh ini tak ada penghalang yang berarti karena kenyataannya pihak universitas dengan segala kebijakannya cukup memberi kita ruang gerak, kita ternyata tidak hidup dalam ruang 3cm2, juga tidak belajar dalam instansi pendidikan tanpa sarana akademis. Untuk masalah perolehan nilai komulatif dengan keaktifan di organisasi tentunya kita sepakat bahwa kedua hal ini bukanlah sesuatu yang kontradiktif, ia bukan seperti siang dan malam yang tak bisa berkumpul dalam satu waktu, ia mungkin dan hampir selalu bisa berjalan bersama. Cobalah kita tempatkan ikhtibar dan nilai komulatifnya dalam perspektif yang semestinya, ia bukan tujuan dan bukan penghalang, tapi, ia adalah sesuatu yang lain yang lebih simple jika ditanggapi dengan proporsional. Mengenai ke-Mustawa Jami'i-an kita, secara de jure tidak ada yang menyangsikannya, hanya saja sebagian dari kita mengadopsi istilah 'mahasiswa' dari sisi kebebasan tanpa kekangan, tanpa melihat sisi lain yang lebih prinsipil yaitu kewajibannya untuk ikut aktif dalam proses aktualisasi serta mengikuti dinamika pendidikan dengan mandiri, akhirnya, meminjam judul opini saudara Z. Ghufron kita ini "Mahasiswa atau Siswa!?". Retorika yang mempertanyakan hal itu akan tampak jelas dengan stagnansi yang sementara ini kita ridhoi berada dalam lingkungan akademis kita tercinta ini.

Mayoritas dari kita sebenarnya adalah orang-orang yang berdedikasi cukup tinggi dibanding civitas akademika fakultas syari'ah atau yang lain di berbagai universitas di Indonesia. Namun terlepas dari apa yang diperjuangkan dan ruang yang melingkupi mereka, kita sadikit berada di bawah mereka dalam segi semangat dan loyalitas --untuk tidak mengatakan kalah. Bayangkan kita berada dalam satu forum dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UII Malaysia, Khourtum University, Alighar University India dll. mungkin dalam segi intelektualitas kita relatif sama. Tapi, dalam segi kecakapan aktualisasi dan penyampaian serta pengalaman berada di forum lengkap dengan kode-kode etiknya kita berada di bawah mereka sadikit (tentunya ini pendapat pribadi).

Sebenarnya kita sangat bisa mengoptimalkan potensi organisasi dengan loyalitas dan rasa memiliki bersama, jangan sampai terlihat lagi ketua FORMIL sendirian menata tikar, koordinator BM ke kamar-kamar memohon kehadiran, pengurus MADING mengais-ngais tulisan sendiri tiap dua minggu, surat-surat undangan acara rutinitas sia-sia dan FORDIF terlihat kelap-kelip di sana. Sekarang, sudah saatnya orang-orang dibangunkan, loyalitas harus diberikan, kesaksian atas realita harus diperdengarkan. Jangan salahkan sistem dan lingkungan tempat kita berdomisili, ia telah melaksanakan tugasnya, memformulasikan pendidikan dengan mempertimbangkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Tapi, kita yang salah, tidak mau memformulasikan lingkungan akademis kita dengan mempertimbangkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang lebih heterogen, lengkap dengan kompleksitasnya. Masyarakat kita tak butuh gelar ketimur tengahan, sudah banyak di tengah-tengah mereka gelar-gelar yang lebih bergengsi lengkap dengan sampelnya, tapi mereka membutuhkan generasi yang mampu mengawal mereka di tengah proses pergeseran budaya yang terus berevolusi. Tentunya generasi seperti itu tidak lahir dengan instan, tapi ia membutuhkan kaderisasi yang berkesinambungan. Bukan untuk apa, tapi untuk suatu perjuangan dan tanggungjawab terhadap ilmu yang kelak akan dipertanyakan.

Yang terakhir, kita ucapkan Jazaakallah Kher kepada Bung Umam, Bung Arya, Bung Baragbah, Bung Makky dan yang lain serta segelintir orang yang menjaga FORMIL tetap Survive di tengah-tengah para Pro status Quo. n' Youth Movement Say: TOGETHER TO BE A WINNER. InsyaAllah.

Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

Dilema Barat Dalam Epistemologi Hakikat Suatu Abstrak

(Ghoibiyat Dalam Aqidah)
Oleh: Ahmad
Tulisan ini mencoba menghadirkan keserupaan yang terjadi antara asas pemikiran sebagian manusia periode lama dengan para filosof barat abad 19 ke atas, yang kurang lebihnya menunjukkan keterbatasan akal manusia tanpa bimbingan wahyu yang membawa mereka pada kebenaran sejati.

"Hakikat kebenaran telah hilang!" inilah salah satu pernyataan yang mulai digemakan oleh sebagian filosof modern di barat yang berkecimpung dalam tema epistemologi. Tampaknya, setelah runtuhnya teori evolusi ala Darwin mereka belum lagi mempunyai referensi untuk argumen-argumen filsafat mereka. Ya, jalan buntu yang rapat telah membuat mereka dihadapkan pada dua pilihan:

Pertama, menutup lembaran semua pembahasan teori filsafat epistemologi hakikat sesuatu yang abstrak yang berkonsekwensi pula meninggalkan pencarian hakikat eksistensi alam dan fungsi-fungsinya.
Kedua, mencari metode baru untuk kelangsungan nafas filsafat mereka melalui penalaran yang benar-benar murni ilmiah.
Namun, para filosof Eropa modern kemudian berbeda pandangan dalam menyikapi kebuntuan tersebut. Sebagian mereka mengambil yang pertama. Dan ironisnya, di antara mereka malah ada yang menyatakan, "hakikat telah hilang, dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali kebenaran hakiki dalam bilangan angka dan teori matematika saja,". Mereka bahkan dengan bangga menganggapnya sebagai hasil pemikiran baru bagi mereka. Tentu saja pernyataan tersebut mampu mengguncangkan kalangan beragama di Eropa. Pernyataan tersebut juga pernah di jadikan bagian skenario dialog dalam sebuah film yang berlatar belakang universitas Oxford. Dr. Alexis Carell –dokter ahli peraih nobel 1912, dan mengaku bukan orang filosof-- menyatakan (sebagaimana dinukil oleh Sayyid Quthb dalam kitab Al Islam Wa Musykilatul Hadlarah hal: 5, pdf) "meskipun beberapa pakar ilmu kedokteran, ahli kimia, fisika dan biologi telah berhasil mengungkap bagian-bagian tubuh manusia beserta fungsi-fungsinya, juga cara pencegahan ketahanan tubuh dari virus dan interaksi dengan dzat lainya, namun hasil gemilang tersebut belum bisa mengungkap hakikat dari eksistensi manusia (juga makhluk lainnya: pen) dan peran mereka dalam kehidupan di dunia ini,". Tampak naif memang, bahwasanya mereka yang berfasilitas canggih dan mutakhir juga perpaduan kejeniusan para pakar masih belum mampu menemukan titik terang mengenai rahasia yang ada di balik aktivitas dan perpaduan unsur-unsur tubuh manusia dan mahluk lainnya. Albert Einstein termasuk tokoh utama dalam kelompok ini. Dengan tolok ukur fisika dan matematika yang digelutinya, ia berani menolak konsep ketuhanan agama nenek moyangnya (Yahudi) dan agama komunitasnya (Nasrani). Dan kalau kita kilas balik pada masa lampau, sebenarnya dahulu telah muncul kelompok yang menafikan ilmu dan semua hakikat sesuatu atau paling tidak meragukannya, yaitu golongan Sufastho'iyyah. Sebagaimana diterangkan Al Baghdady (429 H.) dalam kitab Alfarqu Baynal Firaq hal: 280.
Adapun pilihan kedua tampaknya tak mampu mereka presentasikan dengan sempurna. Bahkan karena kebingungan dalam metodologi pencarian sebuah i'tiqad (keyakinan), membuat sebagian mereka berinisiatif mengambil sebuah metodologi (tragis: pen) yang berdasarakan teori, "bahwa sebuah keyakinan bisa kita sesuaikan dengan perasaan suka atau tidak suka, sehingga kita bisa mengambil argumen-argumen untuk keyakinan yang kita sukai meskipun dengan pemalsuan sebuah argumen itu".
Sikap seperti itulah yang dikemukakan oleh William James dalam bukunya The Pragmatism sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa'id Ramadlan Al bouthi dalam Kubro Al yaqiniyat.
Dan metode sejenis ini bukanlah hal baru, karena telah disinggung pula oleh Al Baghdady. Beliau mengatakan, "kelompok yang mengatakan bahwa hakikat sesuatu mengekor pada i'tiqod (keyakinan) masing-masing dan membenarkan semua i'tiqod tersebut meskipun sebenarnya saling bertentangan adalah termasuk pengingkar penalaran positif akal". (Alfarqu Baynal Firaq hal: 280).

Agama, Ilmu Dan Akal
Tak bisa dipungkiri faktor utama yang mendorong ulama Islam untuk merumuskan metode ilmiah dalam setiap pembahasan tiada lain adalah agama. Tanpa faktor agama tak ada lagi yang mendorong mereka ikhlas menempuh perjalanan jauh dalam pencarian sumber periwayatan nash dalil dan mengerahkan seluruh kemampuan akal untuk menyaring keabsahan riwayat dan juga membuat metode yang paten dalam pengkajian setiap obyek pembahasan, sehingga mampu menciptakan istilah-istilah yang tersebar dalam fan setiap ilmu agama. Mereka bahkan memanfaatkan ilmu luar yang ditransfer ulama dengan menggunakannya sebagai pendukung pengkajian akidah, hukum agama dan lainnya. Di antaranya adalah ilmu Manthiq yang membahas tentang hujjah dan bagian-bagiannya. Hal ini terinspirasi oleh ayat:
"ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا". (الإسراء: 36)
"وما يتبع أكثرهم إلا ظنا إن الظن لا يغني من الحق شيئا إن الله عليم بما يفعلون" (يونس: 36)
Ini menunjukkan kepedulian Islam terhadap penalaran akal dalam proses pencapaian pada ilmu pengetahuan terutama aqidah dan agama yang menjadi shirothol mustaqim menuju sa'adatuddaroyni.

Metode Pembahasan Hakikat Oleh Ulama Islam
Pembahasan tersebut bertujuan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang hakiki atau qoth'iy (pasti) dan menghasilkan subtansi akidah yang benar dan wajib diyakini oleh umat manusia, agar menyadari hakikat wujud Sang Pencipta dan mentauhidkan-Nya serta tunduk terhadap ajaran Islam, satu-satunya agama yang diridloi-Nya, sehingga pengingkaran akidah tersebut berkonsekwensi pada kekufuran dan kemurtadan dari agama Islam. Namun, jika hasil pembahasan tersebut tidak sampai pada derajat qoth'iy (pasti) atau masih sebatas dzonny (persangkaan) dan masih mengakibatkan khilaf antara ulama, maka tidak bisa dikategorikan subtansi akidah, tetapi hanya masalah furu'iyyah yang mana pengingkaran ilmu tersebut masih belum dapat mengeluarkannya dari Islam.
Adapun referensi atau dalil yang dijadikan sumber utama oleh ulama adalah dalil naqli dan dalil 'aqli. Sesungguhnya tiada pertentangan apapun antara keduanya sebagaimana ungkapan Al Ghozaly ketika menolak anggapan para filosof abad pertengahan. Kurang lebihnya beliau mengatakan, "agama dari Allah SWT. dan akal juga ciptaan Allah SWT., maka tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya".
Kemudian jika ada kesangsian tentang kelayakan naqli sebagai dalil, maka sebagai permulaan jawaban adalah terbuktinya jaminan i'jaz dalam nash Al Quran yang diwahyukan kepada Muhammad SAW. Allah SWT. berfirman:
وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين {23} فإن لم تفعلوا ولن تفعلوا فاتقوا النار التي وقودها الناس والحجارة أعدت للكافرين {24} البقرة.
Dalam Hadits Nabawy juga terdapat i'jaz ma'nawy dan terbuktinya kebenaran ucapan Nabi tentang kejadian-kejadian yang akan datang. Sementara dalam diri Nabi Muhammad Al Amin juga penuh dengan i'jaz yang tidak mampu ditaklukkan oleh umat manusia. Cukuplah ini sebagai dasar untuk pengambilan dalil dari wahyu Tuhan yang tak terbantahkan oleh akal.
Melangkah pada fase setelahnya, yaitu periwayatan dalil naqli. Ulama Islam telah merumuskan metode periwayatan Al Quran dan Sunnah dalam Ilmu Riwayah dan Diroyah atau Ulum Quran dan Ulum Hadist, juga diiringi dengan Jarhu Wa Ta'dil. Sehingga dari perpaduan beberapa fan tersebut muncul klasifikasi qiroat mutawatiroh dan syadzah, serta riwayat mutawatiroh dan ahad yang bertujuan untuk membedakan riwayat yang diterima dari riwayat yang lemah atau yang tertolak. Dan tak asing lagi, bahwa riwayat mutawatiroh yang dinukil melalui beberapa jama'ah yang adil dan aman dari dusta inilah yang dijadikan landasan utama dalam perumusan Ushul Aqidah Islam dan menjelaskan kepada manusia tentang eksistensi Pencipta dan makhluq-Nya. Perhatian besar terhadap sanad ini adalah salah satu keunggulan Islam atas lainnya. Tak heran jika Einstein mengkritik orisinalitas injil dan taurat karena banyak terdapat pertentangan dalam setiap versinya. Kemudian jika dipadukan dengan dalil 'aqli maka tersusunlah Ilmu Kalam yang memang bertujuan membentengi akidah Islam dari serangan pemikiran non Islam. Meskipun terdapat pula beda pendapat antar ulama dalam permasalahan furui'yyah, namun itu tidak mempengaruhi pondasi kokoh (ushul) Akidah Islam yang dibangun berdasarkan ayat muhkam Al Quran dan Sunnah yang mutawatiroh. Dalil 'aqli juga punya peran besar dalam penggalian hukum syara', sebagaimana salah satu metode yang digunakan oleh Jumhur Ulama Ushul Fiqh dan dikenal dengan Thoriqotul Syafi'iyyah dan disebut pula sebagai Thoriqotul Mutakallimin, karena metode ini banyak sekali memanfaatkan penalaran akal dalam penggalian hukum, meniru konsep yang digunakan Ulama Ilmu Kalam. Wallahu a'lam.

Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

INTERVENSI REALITAS SOSIAL DALAM FORMULASI
SYARIAT YANG FLEKSIBEL
(Tanggapan atas artikel fleksibilitas syariat dalam realitas masyarakat)
Oleh: Masriki

Dalam artikelnya di mading ini, yang berjudul fleksibilitas syariah dalam realitas masyarakat, Zaitun Putra (ZP) mengajukan pemikirannya tentang mafhum fleksibilitas syariah tersebut sekaligus mengusung pendapat mayoritas golongan kontra-hermeneutika yang memandang nash-nash agama bebas dari campur tangan atau -meminjam istilahnya- terkontaminasi realitas sosial yang melingkupinya. Hal ini didasarkan bahwa seandainya nash-nash tersebut terpengaruh realitas sosial maka sama saja Islam merupakan produk budaya yang akan selalu berubah sesuai dengan tuntutan dan kondisi di mana Islam berada, sedangkan pendapat jurism –masih menurut ZP- yang ditendensikan terhadap urf, maslahah atau dlorurot bukan karena realitas sosial yang melatarbelakanginya, melainkan lebih karena fleksibilitas itu sendiri.
Fleksibilitas syariah, menurut ZP akan menafikan pengaruh realitas sosial yang mengkonstruknya, dalam artian, segala pergumulan yang terjadi antara nash dan realitas dari segi bahasa, konsep nasakh mansukh, produk ijtihad yang bertendensi urf temporal dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya merupakan bentuk fleksibilitas itu sendiri tanpa ada campur tangan realitas sosial yang ikut mengkonstruknya secara partikular.
Secara substansi tak ada perbedaan tentang mafhum dari fleksibilitas syariah. Karena sebagaimana yang dimaklumi, bahwa risalah terakhir Rosulullah SAW. tidak berarti bahwa bentuk keberagaman telah dipastikan bersifat statis (jumud), akan tetapi syariat yang dibawa beliau –yang merupakan rumusan islam– akan menerima pembaruan dalam pemahaman nash-nashnya. Dalam artian, risalah terakhir Rosulullah SAW. tersbut didesain sedemikian rupa agar dapat diterapkan di manapun dan kapanpun.
Namun bukan berarti syariah yang sumbernya adalah teks melahirkan fleksibilitas dari dirinya sendiri, tapi lebih dari itu ia muncul dalam ruang realitas dan berdialog dengannya sehingga dari adanya interaksi tersebut timbullah pengakuan yang berdasarkan proses adaptasi tentang fleksibilitas syariat, karena taklif (tuntutan agama) –sebagaimana yang dinyatakan Imam Al Syathiby- disusun dan bertendensi atas kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam diri mukallaf atau suatu komunitas. Mustahil ia tersusun tanpa pertimbangan kebiasaan karena hal ini akan menjadikan taklif sebagai tuntutan yang tidak bisa dilaksanakan (takliifi ma laa yuthooq).
Secara historis, nash-nash agama sedikit banyak telah berdialog dengan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat itu. Ia tidak muncul dalam ruang dan lembaran yang kosong, melainkan dalam ruang yang penuh masalah. Statusnya sebagai petunjuk Allah SWT. menuntutnya agar ia didesain dengan mempertimbangkan ruang yang dihadapinya tersebut. Maka dari itu, banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengiringi turunnya nash baik Al Quran maupun hadis sebagai penjelasan dari masalah-masalah yang dialami umat saat itu dan sebagai jawaban atas keisykalan para sahabat tentang suatu masalah tertentu. Dengan kata lain, banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang diturunkan dan hadis-hadis yang keluar dari diri Rosulullah SAW. karena terdapat sebab eksternal yang mengiringinya. Karena itulah dalam Ulumul Quran dikenal konsep Asbaabul Nuzul dan dalam hadis dikenal istilah Asbaabul Wuruud.
Dalam fiqh Islam, ketentuan-ketentuan hukum selalu diformulasikan dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat peradaban yang dicapai umat manusia. Sebab itulah dalam ushul fiqh para ulama mensyaratkan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui Asbaabul Nuzuul dan Asbaabul Wuruud dari sebuah nash agama, karena aspek yang dipertimbangkan dalam menguak maksud sebuah nash bukan hanya dari sudut gramatikal, melainkan juga harus mencakup pengetahuan tentang keadan sosio-kultural yang hidup di tengah-tengah masyarakat pada saat berlangsungnya era pewahyuan. Hal senada juga diungkapkan Imam Al Syathiby terkait pengetahuan tentang kondisi sosial masyarakat, sebagai lokus awal turunnya Al Quran dan situasi ketika sebuah ayat turun merupakan salah satu pra-syarat yang mesti dimiliki oleh seorang mufassir atau mujtahid . Hal ini sejalan dengan teori para sosiolog yang menyatakan bahwa dalam kehidupan ini mulanya bukanlah sebuah kata, melainkan realitas. Realitas tersebut kemudian dilaporkan dengan meminjam perangkat bahasa.
Kemudian menarik untuk memperhatikan pandangan Dr. Yusuf Qordlowi yang menyatakan bahwa ada beberapa hadis yang memang terkonstruk atas dasar menjaga aspek maslahah yang bersifat temporal atau Urf yang berlaku pada masa Rosulullah SAW. dan telah mengalami perubahan pada masa sekarang. Hadis-hadis yang masuk dalam kategori ini tidak menuntut untuk dipahami dan diaplikasikan secara tekstual (harfiyyah), dalam artian, kita dapat mengaplikasikannya secara kontekstual, karena maslahah yang ingin dicapai dan mafsadah yang hendak dihindari telah terjadi pergesaran dalam segi bentuknya. Dr. Ali Hasbullah mencotohkan hal ini dengan keputusan yang diambil Khalifah Umar bin Abd. Aziz RA. sewaktu memerintah Madinah. Beliau memutuskan persengketaan yang terjadi dengan kesaksian satu orang dan sumpah, sebagaimana yang terdapat dalam hadis. Namun ketika beliau menjadi khalifah dan berdomisili di ibukota negara Syam, beliau memutuskan perkara dengan dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Ketika ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa orang Syam tidak seperti orang Madinah.
Hal lain yang menunjukkan adanya dialektika antara nash dan budaya adalah bahasanya yang disesuaikan dengan realitas saat itu sebagaimana yang ditulis ZP sendiri. Secara tidak langsung ia mengakui bahwa teks-teks agama terbentuk dalam realita dan budaya sehingga mempengaruhi struktur dan uslub bahasa yang digunakan. Dengan menggunakan bahasa manusia dan turun pada kondisi tertentu saat itu, teks-teks agama khususnya hadis tidak bisa lepas dari ideologi dan cara berfikir masyarakat Arab. Dari sini akan nampak fungsi teks sebagai proses pemahaman, penjelasan, dan informasi yang dapat dimengerti.
Akhirnya, konsekwensi dari adanya intervensi realitas sosial dalam sebuah teks yang nantinya berimplikasi pada pembentukan suatu hukum adalah ia dapat diperbaharui sesuai dengan tuntutan realitas yang terjadi tanpa mengenyampingkan maksud dari teks tersebut dan gagasan universal Islam yang dibawanya. Hal ini banyak terjadi pada produk-produk hukum yang dihasilkan dari sebuah ijtihad, maka dari itu, dalam fiqh Islam dikenal kaidah taghoyyur al fatwa bi taghoyyuri al zamaan wa al makaan. Pada abad 13 muncul seorang faqih dari madzhab Hanafi, Ibnu Abidin, menulis risalah tentang hal ini . Bahkan Imam Al Qurofi Al Maliky menyatakan bahwa pemberlakuan ketentuan hukum yang berdasar atas realitas sosial yang telah mengalami perubahan merupakan bentuk kebodohan terhadap agama .
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal ini tidak berarti nash yang telah mengalami dialektika panjang dengan realitas akan kehilangan relevansinya secara mutlak dalam menyorot realitas saat ini, sebagaimana pendapat Prof. Mohammad Shahroer yang disambut gembira oleh rekan-rekan dari JIL. Ia mengatakan nash-nash agama hanya sebuah metodologi Rosulullah untuk merespon realitas sosial saat itu saja. Dari pendapat ini timbul ide dekonstruksi besar-besaran terhadap hukum Islam dengan hanya mempertimbangkan gagasan universalnya, karena menganggap teks-teks agama yang membentuknya tidak lagi punya otoritas.
Kemudian bagaimana sikap yang proporsional dalam menanggapi hal ini?

Al Muwafaqoot fii ushuul Al Syari'ah II/215
Al Muwafaqot Fii Ushuk Al Syari'ah II/47
Ushul Al Tasyri' 84-85
Baca Nasyr Al Urf Fii binaa'i ba'dli Al Ahkaam Alaa Al Urf
Al Furuuq I/176
Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II

Selengkapnya....