Syaikh Salim bin Fadal (581 H.)


Oleh: El Faqir*
Kita mengenal bahwa Imam Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali adalah wali Allah yang diutamakan di pemakaman zambal. Artinya jika kita tidak mempunyai banyak waktu untuk berziarah kepada semua aulia' yang berada di zambal maka cukup berziarah ke makam Faqih Muqaddam. Namun apakah kita mengenal wali Allah yang diutamakan di pemakaman Furaid dari sekian banyaknya aulia' Allah yang dimakamkan di sana?. Dialah Syaikh Salim bin Fadal Bafadal yang biasanya diziarahi Habib Ali bin Hafizd setiap akhir Jum'at bulan hijriah.

(Makam Syaikh Salim bin Fadal (kanan) dan saudaranya Syaikh Muhammad bin Fadal (kiri) yang berada di turbah Furaid bagian barat.)

Nasab keluarga Bafadal ini adalah dari keturunan Sa'id Al Qusyairah Al Dzahzi dengan adanya khilaf bahwa siapa Sa'id Al Qusyairah Al Dzahzi itu. Ada yang berpendapat, beliau adalah salah satu sahabat Nabi SAW. Dan ada pula yang berpendapat, beliau adalah salah satu keturunan Ya'rub bin Qahtan bin Nabi Hud As. Dan pendapat yang lain mengatakan, beliau adalah anak dari Madzhaj yang merupakan qabilah terbanyak nantinya di dalam surga (sebagaimana hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Aisyah radiyallahu'anha: أكثر القبائل في الجنة مذحج ).

Kelahiran dan Pengembaraan Intelektual
Beliau dilahirkan dan tumbuh besar di kota Tarim dengan berkepribadian akhlak yang mulia. Adapun tanggal kelahiran beliau tidak diketahui secara pasti. Tetapi Al Alim Al Amil Abdullah bin Alawi bin Zain Al Habsyi berkata: "Syaikh Salim Bafadal dilahirkan pada masa Syaikh Ghazali pengarang kitab Ihya 'Ulumuddin yang wafat pada tahun 505 H." wallahu a'lam.
Beliau menimba ilmu pengetahuan dari orang tuanya Fadal bin Muhammad, Sayyid Muhammad Shahibulmirbath dan orang-orang alim yang semasa dengannya, sehingga bersinar teranglah cahaya kewalian dari rahasia mukanya. Kemudian untuk menyempurnakan rukun Islam, beliau pergi dari kampung halamannya ke Baitulharam untuk menunaikan ibadah haji dan ziarah ke Sayyidilanam melalui jalan darat, jalan Sya'ab Khilah Tarim. Berkata Sayyid Al Fadil Syaikh bin Abdurrahman Al Kaff rahimahullah: "Syaikh Salim Bafadal bersafar untuk haji dari Tarim dengan melalui jalan darat dan telah kami dengar bahwasanya beliau berbekal sedikit dakik (tepung) dan sedikit kurma. Beliau melalui semua jalan sehingga sampai ke gunung Arafat dengan tidak memakan sedikitpun dari bekal yang dia bawa. Karena dalam perjalanan, beliau selalu melalui pemukiman yang didiami oleh penduduknya."
Dalam menuntut ilmu, beliau juga pergi ke Iraq dan memasuki beberapa daerah yang ada di sana dengan waktu yang begitu lama, yaitu sekitar 40 tahun. Dengan dasar mencari ridla' Allah, maka Beliau menuntut ilmu yang begitu banyak sehingga menempati martabat yang tinggi di sisi Allah Ta'ala. Beliau juga merupakan salah satu dari muridnya Qutburrabbani Sayyid Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan hal itu dikarenakan beliau masuk kota Iraq pada masa dan waktu terkenalnya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Demikian juga beliau belajar dengan Syaikhulislam As-Sayyid Muhammad bin Ali Shahibul Mirbath yang dikenal dengan zafarulqadimah (pemimpin yang beruntung) dalam waktu yang cukup lama. Dan beliau mempunyai hubungan dengan Al Muhadist Dzafar dan Al Alim Muhammad bin Ali Al Qal'i (seorang 'alim yang banyak mengarang kitab diantaranya kitab Syarh Muhadzab).

Pulang dan Mengajar di Kampung Halaman
Dengan waktu yang begitu lama dalam menuntut ilmu, yaitu selama 40 tahun, maka keluarganya pun mengira bahwa beliau sudah wafat. Kemudian setelah itu, sebagian Saadah melihatnya di dalam mimpi datang ke kampung halamannya bersama unta yang membawa emas. Maka tidak lama kemudian datanglah beliau dengan membawa kitab-kitab ilmu hadits, fiqih dan lain-lain yang tidak dimiliki oleh para ulama yang ada di Hadramaut pada masa itu.
Setelah berada di kampung halaman, beliau membangun beberapa tempat pendidikan dalam bidang keagamaan untuk membentuk para Muslimin yang memiliki pondasi yang kuat dan kokoh dalam ilmu agama, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh adanya kelompok-kelompok bid'ah, seperti Ibadliyah dan Mu'tazilah. Dua kelompok ini pada waktu itu sudah tersebar di beberapa tempat di Hadramaut. Dan beliau merupakan penentang keras kelompok yang menyimpang itu dengan hujjah dan dalil-dalil yang tidak bisa dibantah akan kebenarannya, sehingga dengan demikian padam dan terbenamlah nyala api yang berkobar dari pengaruh dua kelompok yang menyimpang tersebut. Berkata Syaikh Ahmad bin Abdullah Al Khatib: "Telah berkata sebagian Salaful'arifin: 'Tiga orang yang mempunyai keutamaan yang besar atas penduduk Hadramaut, yaitu: Sayyid Al Muahajir Ahmad bin Isa dengan hijrah dari kota Basrah bersama keturunannya, Syaikh Salim Bafadal di dalam menyebarkan ilmu dan meredakan bid'ah, dan Sayyid Faqih Muqaddam di dalam kasrissilah(1) dan memilih jalan tasawuf ."
Dengan keberadaan beliau di Hadramaut (khususnya di Tarim), maka banyaklah para penuntut ilmu yang datang dari berbagai daerah ke tempatnya untuk mendapatkan ilmu dari tangan beliau sehingga pada waktu itu telah terkumpul di Tarim sebanyak 300 mufti. Demikian juga bermunculan banyak para pengarang kitab seperti Imam Ali bin Ahmad Bamarwan, Imam Abdullah bin Abdurrahman bin Abi Ubaid Zakariya, Qadi Ahmad Baisa, Imam Muhammad bin Ahmad bin Abihub dan lain-lain yang tidak diragukan hasil karya mereka dan menjadi ibarat di dalam hakikat ilmu agama dan ilmu sunnah.

Wafat
Beliau radliallahuanhu wafat pada malam Jum'at, tanggal 8 Jumadil Akhir tahun 581 H. dan beliau, keturunannya serta anak pamannya dikuburkan di bawah gunung yang dikenal dengan sebutan Furaith Ahmar. Dengan meninggalkan satu orang anak, yaitu Al Faqih Yahya dan beberapa karangan yang berfaidah dalam bidang ilmu tafsir dan mempunyai kalam atau pendapat yang luar biasa dalam bentuk qasidah yang bersifat intelektual dan lain sebagainya.

Beberapa Komentar Ulama Terhadap Beliau
Dan salah satu anugerah Allah kepada beliau adalah apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Jauhar Al Syafaf dari kakeknya yang berkata: "Aku bertanya kepada guruku Al Faqih Salim bin Fadal radiallahu'anhu, 'apakah engkau meminta sesuatu kepada Allah Ta'ala kemudian mengabulkannya untukmu?.' Beliau menjawab: 'Ya, aku meminta kepada Allah agar memberi syafaat kepadaku setiap hari kepada 70 orang yang diadzab, maka Allah mengabulkan permintaanku".
Sayyid Fadil Ali bin Abdurrahman Al Masyhur berkata: "Aku mendengar ayahku Abdurrahman berkata: 'Bahwasanya Allah memberi syafaat kepadanya untuk 70 orang yang diadzab setiap hari sampai pada hari kiamat".
Imam Muhaddist Muhammad bin Ali Khirid berkata di dalam kitabnya Al Ghurar: ”Sayyid Jalil Muhammad bin Abdurrahman Al Asqa' berkata: 'Aku mendengar kakekku Al Mu'allim Al Wali Husein bin Muhammad bin Ali berkata: 'Barang siapa mempunyai hajat (keinginan) dan ingin agar dikabulkan maka hendaklah keluar berziarah ke Al Faqih Muhammad bin Ali Alawi dan Al Faqih Al Wali Salim bin Fadal, kemudian naik ke masjid Bani Alawi dan shalat di dalam qiblatnya dua rakaat, maka akan dikabulkan hajatnya itu".
Dan berkata sebagian orang-orang 'arif: "Syaikh Abdurrahman Assegaff membasahi mukanya yang mulia di sekitar makam Syaikh Salim bin Fadal dan berkata: 'Aku menyaksikan bahwasanya engkau mempunyai taman dari taman-tamannya surga".
Dan diriwayatkan bahwasanya Imam Ahmad bin Muahammad Bafadal berkata: "Antara kuburku dan kubur pamanku yaitu Syaikh Salim adalah taman dari taman-tamannya surga".

Murid-murid Beliau
Adapun orang-orang yang mengambil ilmu dari beliau sangatlah banyak dan kesemuanya adalah Imam-imam yang mursyid. Maka diantara mereka adalah Imam Kabir Al Muhaddist Al Musnid Ali bin Muhammad bin Jadid, Imam Alwi bin Muhammad Shahibulmirbath, Imam Ali bin Muhammad Shahibulmirbath, Sayyid Imam Ahmad Salim bin Basri, Syaikh Ali bin Muhammad Al Khatib Shahibulwa'al dan lain-lain.
Dan kata pengarang kitab Al Gurar bahwa Ustadz A'dzam Imam Faqih Muqaddam termasuk murid dari Syaikh Salim Bafadal. Tetapi Imam Faqih Muqaddam tidak menemui masa Syaikh Salim Bafadal kecuali hanya 7 tahun, karena Imam Faqih Muqadam dilahirkan pada tahun 574 H. dan Syaikh Salim wafat pada tahun 581 H. Kemudian dijelaskan oleh Habib Abu Bakar bin Abdullah Khirid bahwa Imam Faqih Muqaddam membaca surat Al Fatihah atas Syaikh Salim di zawiyah Syaikh Salim ridliallahu'anhum.
Berkata Syaikh Ahmad bin Abdullah bin Abi Bakar Al Khatib Al Ansari rahimahullah: "Telah keluar (telah belajar) dengan Syaikh Salim 1000 thalib (pelajar).

Karamah Beliau
Diantara karamah beliau setelah meninggal, bahwa beberapa orang dzalim memusuhi dan menguasai rumah milik keturunan Syaikh Salim, kemudian keluarlah pemilik rumah ke makam Syaikh Salim untuk minta tolong kepada Allah Ta'ala dengan bertawasul kepada Syaikh Salim. Maka tidak lama kemudian orang yang dzalim itu keluar dari rumahnya. Kemudian setelah dicari akan sebab keluarnya orang dzalim tersebut, ternyata istri dan anaknya memaksanya untuk keluar disebabkan tidak tahan duduk di dalam rumah itu karena seakan-akan rumah itu berputar dengan mereka.
Dan diantara karamah beliau, bahwasanya antara beliau dan istrinya ada sebuah janji untuk tidak menikah apabila salah satu dari mereka lebih dahulu wafat. Kemudian wafatlah Syaikh Salim mendahului istrinya dan melamarlah beberapa orang kepada istrinya, namun ditolak dengan berbagai cara sehingga akhirnya ada yang meminta dengan mendesak sampai istrinya setuju. Maka manakala malam pesta perkawinan sebagian orang-orang shaleh melihat Syaikh Salim mendatangi suami istrinya tersebut dan memberikan salam kepadanya seraya berkata: "Apakah pendapat engkau kepada ini (istrinya) yang engkau tipu dengan janji Allah sehingga dia berkhianat?".
Dan karamah Beliau yang lain, bahwa telah datang orang asing ke kota Tarim dan menginginkan bantuan dari penduduk setempat. Maka meminta tolonglah dia di depan pintu-pintu masjid seraya berkata: "Aku meminta kepada Allah dan hak Allah sebesar 75 Reyal dan sedikit dari pakaian." Maka tinggallah dia di kota itu selama beberapa bulan atas keadaan seperti itu dan tidak ada seorangpun yang mengabulkan permintaannya. Kemudian dia memegang tangan seorang laki-laki dari keturunan Bafadal yang berada di dekatnya dan berkata: "Aku ingin ziarah Syaikh Salim dan engkau bersamaku maka selagi akan dikabulkan hajatku dari sisinya." Maka keduanya keluar bersama-sama untuk ziarah ke makam Syaikh Salim. Kemudian pada malam harinya salah satu penduduk Tarim memanggilnya dan memberikan uang sebesar yang dia butuhkan dengan tidak memintanya. Sehingga besok harinya dia pun musafir meninggalkan kota Tarim. Dan masih banyak lagi karamah Beliau yang tidak kami sebutkan di sini.

(1) Dalam arti tidak mempergunakan pedang lagi. Karena pada waktu itu setiap orang selalu membawa pedang apabila keluar dari rumah (termasuk para penuntut ilmu).

*Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

Fiqh Da'wah (Bag. 1):

Maratib Al Dakwah
Oleh: Gali*

Dakwah dalam Islam adalah sebuah kewajiban, fardlu 'ain bagi orang yang berilmu dan dalam satu daerah tidak ada seorangpun yang berilmu kecuali dia, fardlu kifayah bagi orang yang berilmu jika di tempatnya masih ada orang-orang alim selain dia.
Apapun hukumnya dakwah merupakan sesuatu yang sudah "tersyariatkan" di dalam agama Islam. Nabi Muhammad adalah seorang da'i yang berdakwah mengajak kaumnya untuk masuk ke agama Islam, beliau muncul sebagai seorang da'i bukan seorang alim faqih yang muncul langsung mengajari umatnya hukum-hukum Islam, beliau adalah seorang da'i yang muncul kepada kaumnya untuk meninggalkan berhala. Beliau adalah seorang da'i yang menanamkam kepercayaan, rasa tentram dan aman kepada pengikutnya. Setelah tertanam kepercayaan pengikutnya kepadanya barulah beliau mengajarkan hukum-hukum Islam secara bertahap.


Sebagai seorang da'i yang tahu bahwa dakwah dalam Islam sudah tersyariatkan sejak masa "bi'tsatunNabi" maka menjadi kewajiban bagi seorang da'i untuk meneladani dan mengikuti semua uslub atau tata cara dakwah sohibul millah.
Di dalam Al Quran Allah telah memberikan petunjuk dan tartib tata cara berdakwah yang ditunjukkan kepada Nabi Muhammad untuk diikuti umatnya. Ada 3 marhalah (tahapan) dalam berdakwah yang harus diikuti seorang da'i dalam memulai dakwahnya seperti telah tersebutkan di dalam Al Quran. Ayat-ayat tersebut secara jelas menunjukkan bagaimana seorang da'i harus memulai dakwahnya sebagaimana tartib dakwah yang ditunjukkan Allah kepada Rasul-Nya.

1. Dakwah untuk Diri Sendiri:
Ada 2 tahapan untuk berdakwah pada masa ini:
a. Belajar
قال تعالى: اقرأ باسم ربك الذي خلق ( العلق : 1)

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan Nabi untuk membaca, membaca adalah pintu untuk masuknya ilmu pengetahuan, dengan perintah membaca Allah pertama kali menyuruh Nabi-Nya untuk meng-islah-kan dirinya sendiri, memperbaiki diri sendiri sebelum nantinya memperbaiki (meng-islah-kan) orang lain. Memperbaiki diri sendiri dengan cara belajar untuk membuka cakrawala dan ilmu pengetahuan, belajar untuk menghilangkan kebodohan yang pada masa itu umat manusia benar-benar dikuasai oleh kebodohan.
Seperti halnya Nabi, begitu juga halnya dengan para da'i sekarang ini, sebelum mereka mulai terjun berdakwah ke masyarakat, yang pertama kali harus dilakukan adalah berdakwah pada dirinya sendiri dahulu. Mereka harus mengislahkan (memperbaiki) diri sendiri dahulu sebelum mengislahkan diri orang lain. Cara awal untuk mengislahkan diri adalah belajar, menuntut ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekal berdakwah di masyarakat. Sungguh disayangkan sekali jika seorang da'i berdakwah di masyarakat tanpa bekal ilmu, apakah bisa mereka disebut penerus dakwah Rasul jika mereka tidak mengikuti apa yang dilakukan Rasul? Bagaimanakah jadinya masyarakat jika da'inya adalah seorang yang bodoh tidak berpengetahuan? bukannya islahul mujtama' yang terjadi akan tetapi ifsadul mujtama'. Masyarakat akan terhancurkan akidahnya dengan dakwah yang dia sampaikan.

b. Pendekatan Diri kepada Allah
قال تعالى : يا أيها المزمل* قم الليل إلا قليلا* نصفه أو انقص منه قليلا* أو زد عليه و رتل القرآن ترتيلا* ( المزمل : 1-4)

Di dalam ayat tersebut Allah menunjukkan kepada Rasulnya cara mengislahkan diri dengan melaksanakan shalat malam dan membaca Al Quran. Setelah diperintahkan untuk membaca yang maknanya adalah belajar, bagi seorang da'i cara yang harus dilakukan selanjutnya untuk mengislahkan diri adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat malam dan memperbanyak membaca Al Quran. Hal ini penting dilakukan karena shalat adalah penghubung antara hamba dan Tuhannya, seperti disebutkan dalam ungkapan bahasa arab:
لا يسمى الصلاة إلا لصلة بين الرب و عبده.

Terutama shalat malam, waktu yang mustajab untuk berdoa, waktu yang paling tepat untuk berhubungan dengan Sang Pencipta. Allah sendiri telah meyebutkan keutamaan shalat malam dalam Al Quran dengan firmannya :
و من الليل فتهجد به نافلة لك عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا (الإسراء : 79)

Sedangkan perintah membaca Al Quran, Allah sendiri telah berfirman di banyak tempat dalam Al Quran yang menyebutkan keutamaan membaca Al Quran, karena Al Quran adalah sebagai pengingat, obat, petunjuk, rahmat dan sebagai hukum dalam kehidupan umat manusia.
قال تعالى : يا أيها الناس قد جاءتكم موعظة من ربكم و شفاء لما في الصدور و هدى و رحمة للمؤمنين (يونس : 57 )
و قال تعالى : إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله....الآية ( النساء: 105 )

Para wali songopun dalam berdakwah di tanah Jawa telah memberitahukan keutamaan membaca Al Quran sebagai obat hati dengan salah satu syairnya yang terkenal yaitu: tombo ati iku limo awernane, moco Al Quran angen-angen sak maknane……..
Dengan shalat dan membaca Al Quran hati akan tentram dan tenang, dan inilah yang dibutuhkan seorang da'i ketika berdakwah di masyarakat.

2. Dakwah untuk Keluarga dan Kerabat
قال تعالى : و أنذر عشيرتك الأقربين ( الشعراء : 26 )
قال تعالى : و أمر أهلك بالصلاة و اصطبر عليها......الأية ( طه: 132 )

Allah memerintahkan Nabi untuk berdakwah kepada keluarga dan kerabatnya dahulu untuk masuk Islam dan mendirikan sholat sebagai kewajibannya sebelum beliau berdakwah kepada orang lain. Sebagai seorang da'i yang meneruskan dakwah Rasulnya, wajib baginya untuk berdakwah kepada keluarganya dahulu sebelum dakwah disebarkan kepada masyarakat. Hal ini harus dilakukan karena dakwah tidak akan berhasil di masyarakat jika keluarganya sendiri tidak/belum ter-islah-kan oleh dakwahnya. Kepercayaan masyarakat akan hilang sebelum dakwah tersampaikan.

3. Dakwah kepada Masyarakat
قال تعالى : يا أيها المدثر* قم فأنذر* ( المدثر : 1-2)
و قال تعالى : فاصدع بما تؤمر و أعرض عن المشركين ( الحجر : 94 )

Allah memerintahkan kepada Rasulnya setelah melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi untuk secara terang-terangan dalam dakwahnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi diutus untuk menyampaikan apa yang dia dapat dari Allah kepada umatnya, bukan hanya dikhusukan untuk dirinya sendiri dan keluarganya saja.
Begitu juga halnya dengan seorang da'i yang meneruskan dakwah Rasulnya, setelah menempuh tahapan-tahapan di atas, hal terakhir yang harus dilakukannya adalah berdakwah untuk masyarakat. Dia harus menyampaikan apa yang dia ketahui tentang agama kepada masyarakat, dia dilarang untuk menyembunyikan apa yang dia ketahui sebagaimana Rasul dilarang utnuk menyembunyikan apa yang diwahyukan Allah kepadanya.
قال تعالى : يا أيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك و إن لم تفعل فما بلغت رسالته.....الآية ( المائدة : 67 )

Terdapat berbagai cara untuk berdakwah kepada masyarakat. Sesuai dengan bidangnya, seorang guru berdakwah dengan mengajar para muridnya, seorang pemimpin berdakwah dengan memberi contoh dan teladan kepada bawahannya, seorang hakim berdakwah dengan cara menghakimi seadil-adilnya dan begitu juga yang lainnya. Begitulah seterusnya sehingga andaikata semua umat Islam seperti halnya di atas, Islam akan kembali pada kejayaannya seperti saat Rasulullah masih hidup. Dan seorang da'i yang mengikuti sunnah Rasulullah dia merupakan khalifah beliau, penerus perjuangan dan dakwah beliau dalam menjadikan Islam sebagai diinul 'izz wassalaamah. Wallahu a'lam.

* Mahasiswa univ.Al Ahgaff tingkat III

Selengkapnya....

What's Wrong with Muslim Countries??

Oleh: H2O Wangi*

Wacana sekaligus fakta yang terjadi selama ini, kira-kira selama 14 abad. Pikiran kita telah terhegomoni oleh pikiran yang subyektif dan cenderung egois terhadap apa yang ada pada diri kita yang disebut umat Islam. Setiap kita melihat fakta kejadian yang terjadi dalam tubuh umat Islam, dalam negara-negara Islam, dalam kerusuhan dan kemunduran Islam, acapkali mindset langsung terkungkung dan secara otomatis mengalahkan atau menganggap bahwa semua itu atas adanya intervensi negara-negara Barat. Bukannya cenderung menyalahkan umat Islam atau lebih mendukung Barat dan antek-anteknya, namun apakah dengan anggapan seperti itu bukan malah menjadikan dan menumbuhkan benih-benih kebencian yang seharusnya dan harus kita hilangkan demi terwujudnya kedamaian dan keamanan serta keseimbangan dalam kehidupan ini?. Bukankah kita juga tidak bisa memungkiri kalau kita sebagai manusia butuh terhadap sesama lainnya. Begitu juga negara satu dengan lainnya walaupun negara itu negara kafir menurut kita.




Setelah disebutkan wacana dan fakta tadi, penulis berharap agar mindset pembaca yang selama ini terbatas dalam lumpur yang pekat, terbuka menjadi umat yang elastis, toleran dan tidak serta-merta menyalahkan orang atau kelompok lain dalam memandang kemunduran dalam tubuh kita. Mari kita bangun sifat self introspection demi menuju ke hal yang lebih baik.

Munculnya fakta kerusuhan antara Islam dan Barat yang terjadi selama ini dan menggelembung lagi akhir-akhir ini, seringkali dalih yang keluar dari umat Islam adalah karena adanya intervensi Barat atas Islam. Mengapa harus seperti itu?. Lagi lagi karena mindset kita telah jatuh dalam kubangan egoisme.

Kemajuan peradaban Islam yang pernah berjaya dan dihormati oleh negara negara lain, agaknya sulit untuk terlahir kembali seperti sedia kala, seperti yang terjadi di kawasan Timur-tengah. Demokrasi memang telah diupayakan di sebagian kawasan ini, namun sistem baru yang telah diupayakan ini sepertinya tidak membawa perubahan yang progresif. Setelah mengamati dinamika yang terjadi, dinamika politik, sosial dan keagamaan di kawasan ini umat Islam rupanya tidak bisa mengambil 'ibrah atas kejadian-kejadian sebelumnya. Padahal kita paham akan kata-kata bermakna ini: experience is the best teacher, tapi mengapa hal yang sama harus terjadi lagi?

Konflik politik yang selama ini terjadi campur-aduk dengan agama, sepertinya teori-teori modern dan perangkat-perangkat politik tak berdaya menyelesaikan masalah ini. Budaya dan karakteristik yang ada dalam umat Islamlah yang harus merubah semua ini, jika kita tetap mempertahankan Arabisme yang cenderung ta'assub maka konflik itu sulit untuk dihilangkan.

Beberapa negeri yang telah menggunakan demokrasi seperti Irak, Palestina dan Lebanon malah terjebak dalam konflik saudara. Konflik intern yang terjadi sering kali tidak diakui secara terbuka oleh umat Islam, malah mereka selalu menyalahkan negara-negara Barat dan menuding Baratlah kambing hitam selama ini. Padahal kita tahu kebijakan Barat dalam menyikapi masalah yang terjadi di Timur-tengah selalu beragam. Alangkah naifnya kita, jika masalah-masalah internal selalu dikaitkan dengan konspirasi Barat. Pemikiran yang seperti ini hanya akan menjadikan kita tambah jahil dan terkungkung dalam kemunduran.

Kita juga tidak menutup mata bahwa konflik yang terjadi di kawasan Timur-tengah bukan semuanya dengan negara Barat, namun malah terjadi di internal dengan saudaranya sendiri, seperti Syiah dan Sunni, Arab dengan Persia, Hamas dan Fatah yang jelas-jelas mereka saudara sesama muslim. Dan sebenarnya ini hanya mengulang sejarah umat Islam masa lalu. Seperti apa yang dikatakan oleh Abu Fatah Al Syahrastani dalam kitabnya Al Milal wa Nihal, bahwa adamul khilaf bainal ummah khilaful imamah (politik adalah sengketa terbesar dalam tubuh umat Islam). Bisa diambil maksud, konflik yang terjadi dalam Islam lebih banyak terjadi antara umat Islam sendiri dari pada dengan kelompok lain. Konflik tersebut seringkali bertopeng atas nama agama padahal politiklah sesungguhnya. Nah, kita bisa mengambil arti dari kata-kata Al Syahrastani, bahwa peperangan dan pertumpahan darah yang selama ini terjadi dalam umat Islam tak sebanding dengan konflik yang terjadi, karena politik yang ada intervensinya oleh kelompok-kelompok lain.

Hematnya, ranah inilah sebenarnya yang harus lebih difokuskan oleh umat Islam ketimbang selalu mengkambinghitamkan negara-negara Barat. Karena mindset yang seperti itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, malah menjerumuskan ke dalam benang merah yang tidak akan terkuak dan berakhir.

Jika kita berkaca pada masa silam, sebab-sebab jatuhnya dinasti Islam. Maka akan kita temukan hal-hal yang bisa membuka cakrawala kita, seperti yang kita ketahui dinasti itu adalah agama Islam. Artinya satu kepercayaan, namun dicerai-beraikan oleh perbedaan etnis dan orientasi teologis yang memang cenderung memunculkan interpretasi yang berbeda. Misalnya di Damaskus, yaitu antara dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Dinasti Umayyah runtuh bukan karena serangan imperium Romawi, namun karena perbedaan atau kesalahpahaman antara dinasti Umayyah dengan dinasti Abasiyyah. Begitu juga dinasti umayyah di Andalusia, runtuhnya bukan karena musuh-musuh lain, tapi karena dinasti Amiriyyah yang keruntuhannya diratapi sebagai al firdaus al mafqud, yaitu firdaus yang hilang.

Selanjutnya, seperti apa yang dikatakan sejarah, dinasti Abasiyyah memang ditaklukkan oleh tentara-tentara Mongol pada tahun 1258 M. Namun tentara Mongol menyerang sebuah kekuasaan yang memang telah lemah dikarenakan adanya perselisihan intern dalam dinasti itu. Dan perlu diketahui juga, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib wafat dibunuh oleh orang Islam sendiri yang mana setelah kejadiaan itu memunculkan dua golongan besar sampai saat ini, yaitu Syiah dan Sunni. Wal akhir, hal inilah yang perlu dipahami oleh orang-orang Islam, konflik yang terjadi bukanlah karena golongan lain, namun antara umat Islam sendiri.
"No one perfect, but we have to do how to be perfect."

*Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat pertama

Selengkapnya....

What's Wrong with Muslim Countries??

Oleh: H2O Wangi*

Wacana sekaligus fakta yang terjadi selama ini, kira-kira selama 14 abad. Pikiran kita telah terhegomoni oleh pikiran yang subyektif dan cenderung egois terhadap apa yang ada pada diri kita yang disebut umat Islam. Setiap kita melihat fakta kejadian yang terjadi dalam tubuh umat Islam, dalam negara-negara Islam, dalam kerusuhan dan kemunduran Islam, acapkali mindset langsung terkungkung dan secara otomatis mengalahkan atau menganggap bahwa semua itu atas adanya intervensi negara-negara Barat. Bukannya cenderung menyalahkan umat Islam atau lebih mendukung Barat dan antek-anteknya, namun apakah dengan anggapan seperti itu bukan malah menjadikan dan menumbuhkan benih-benih kebencian yang seharusnya dan harus kita hilangkan demi terwujudnya kedamaian dan keamanan serta keseimbangan dalam kehidupan ini?. Bukankah kita juga tidak bisa memungkiri kalau kita sebagai manusia butuh terhadap sesama lainnya. Begitu juga negara satu dengan lainnya walaupun negara itu negara kafir menurut kita.




Setelah disebutkan wacana dan fakta tadi, penulis berharap agar mindset pembaca yang selama ini terbatas dalam lumpur yang pekat, terbuka menjadi umat yang elastis, toleran dan tidak serta-merta menyalahkan orang atau kelompok lain dalam memandang kemunduran dalam tubuh kita. Mari kita bangun sifat self introspection demi menuju ke hal yang lebih baik.

Munculnya fakta kerusuhan antara Islam dan Barat yang terjadi selama ini dan menggelembung lagi akhir-akhir ini, seringkali dalih yang keluar dari umat Islam adalah karena adanya intervensi Barat atas Islam. Mengapa harus seperti itu?. Lagi lagi karena mindset kita telah jatuh dalam kubangan egoisme.

Kemajuan peradaban Islam yang pernah berjaya dan dihormati oleh negara negara lain, agaknya sulit untuk terlahir kembali seperti sedia kala, seperti yang terjadi di kawasan Timur-tengah. Demokrasi memang telah diupayakan di sebagian kawasan ini, namun sistem baru yang telah diupayakan ini sepertinya tidak membawa perubahan yang progresif. Setelah mengamati dinamika yang terjadi, dinamika politik, sosial dan keagamaan di kawasan ini umat Islam rupanya tidak bisa mengambil 'ibrah atas kejadian-kejadian sebelumnya. Padahal kita paham akan kata-kata bermakna ini: experience is the best teacher, tapi mengapa hal yang sama harus terjadi lagi?

Konflik politik yang selama ini terjadi campur-aduk dengan agama, sepertinya teori-teori modern dan perangkat-perangkat politik tak berdaya menyelesaikan masalah ini. Budaya dan karakteristik yang ada dalam umat Islamlah yang harus merubah semua ini, jika kita tetap mempertahankan Arabisme yang cenderung ta'assub maka konflik itu sulit untuk dihilangkan.

Beberapa negeri yang telah menggunakan demokrasi seperti Irak, Palestina dan Lebanon malah terjebak dalam konflik saudara. Konflik intern yang terjadi sering kali tidak diakui secara terbuka oleh umat Islam, malah mereka selalu menyalahkan negara-negara Barat dan menuding Baratlah kambing hitam selama ini. Padahal kita tahu kebijakan Barat dalam menyikapi masalah yang terjadi di Timur-tengah selalu beragam. Alangkah naifnya kita, jika masalah-masalah internal selalu dikaitkan dengan konspirasi Barat. Pemikiran yang seperti ini hanya akan menjadikan kita tambah jahil dan terkungkung dalam kemunduran.

Kita juga tidak menutup mata bahwa konflik yang terjadi di kawasan Timur-tengah bukan semuanya dengan negara Barat, namun malah terjadi di internal dengan saudaranya sendiri, seperti Syiah dan Sunni, Arab dengan Persia, Hamas dan Fatah yang jelas-jelas mereka saudara sesama muslim. Dan sebenarnya ini hanya mengulang sejarah umat Islam masa lalu. Seperti apa yang dikatakan oleh Abu Fatah Al Syahrastani dalam kitabnya Al Milal wa Nihal, bahwa adamul khilaf bainal ummah khilaful imamah (politik adalah sengketa terbesar dalam tubuh umat Islam). Bisa diambil maksud, konflik yang terjadi dalam Islam lebih banyak terjadi antara umat Islam sendiri dari pada dengan kelompok lain. Konflik tersebut seringkali bertopeng atas nama agama padahal politiklah sesungguhnya. Nah, kita bisa mengambil arti dari kata-kata Al Syahrastani, bahwa peperangan dan pertumpahan darah yang selama ini terjadi dalam umat Islam tak sebanding dengan konflik yang terjadi, karena politik yang ada intervensinya oleh kelompok-kelompok lain.

Hematnya, ranah inilah sebenarnya yang harus lebih difokuskan oleh umat Islam ketimbang selalu mengkambinghitamkan negara-negara Barat. Karena mindset yang seperti itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, malah menjerumuskan ke dalam benang merah yang tidak akan terkuak dan berakhir.

Jika kita berkaca pada masa silam, sebab-sebab jatuhnya dinasti Islam. Maka akan kita temukan hal-hal yang bisa membuka cakrawala kita, seperti yang kita ketahui dinasti itu adalah agama Islam. Artinya satu kepercayaan, namun dicerai-beraikan oleh perbedaan etnis dan orientasi teologis yang memang cenderung memunculkan interpretasi yang berbeda. Misalnya di Damaskus, yaitu antara dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Dinasti Umayyah runtuh bukan karena serangan imperium Romawi, namun karena perbedaan atau kesalahpahaman antara dinasti Umayyah dengan dinasti Abasiyyah. Begitu juga dinasti umayyah di Andalusia, runtuhnya bukan karena musuh-musuh lain, tapi karena dinasti Amiriyyah yang keruntuhannya diratapi sebagai al firdaus al mafqud, yaitu firdaus yang hilang.

Selanjutnya, seperti apa yang dikatakan sejarah, dinasti Abasiyyah memang ditaklukkan oleh tentara-tentara Mongol pada tahun 1258 M. Namun tentara Mongol menyerang sebuah kekuasaan yang memang telah lemah dikarenakan adanya perselisihan intern dalam dinasti itu. Dan perlu diketahui juga, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib wafat dibunuh oleh orang Islam sendiri yang mana setelah kejadiaan itu memunculkan dua golongan besar sampai saat ini, yaitu Syiah dan Sunni. Wal akhir, hal inilah yang perlu dipahami oleh orang-orang Islam, konflik yang terjadi bukanlah karena golongan lain, namun antara umat Islam sendiri.
"No one perfect, but we have to do how to be perfect."

Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat pertama

Selengkapnya....

Titian berkenang

By: Madahus Shobah*

Langkahnya tak surut
Meniti jarak yang makin susut
Quran di embanan menemani
Silir bayu mengiringi
Arakan mega-mega yang peduli

Matahari saja yang tak ramah
Semakin galak saja dia
Anginpun malah membela
Namun tiada apa
Jika yang di ujung jalan
Lebih bermakna




Esok …
Jalan ini kan bicara
Tiap jengkalnya kan bersaksi
Atas tapak-tapak yang menepas
Mengayun perkasa
Menantang matahari

Jalan ini akan mengenang
Jalan ini akan terkenang
Jalan ini adalah titian
Titian yang berkenang

Aidid, Duatiga-tiga-duaribusembilan.

* Mahasiswa mustawa II Ahgaff University

Selengkapnya....

Titian berkenang

By: Madahus Shobah*

Langkahnya tak surut
Meniti jarak yang makin susut
Quran di embanan menemani
Silir bayu mengiringi
Arakan mega-mega yang peduli

Matahari saja yang tak ramah
Semakin galak saja dia
Anginpun malah membela
Namun tiada apa
Jika yang di ujung jalan
Lebih bermakna




Esok …
Jalan ini kan bicara
Tiap jengkalnya kan bersaksi
Atas tapak-tapak yang menepas
Mengayun perkasa
Menantang matahari

Jalan ini akan mengenang
Jalan ini akan terkenang
Jalan ini adalah titian
Titian yang berkenang

Aidid, Duatiga-tiga-duaribusembilan.

* Mahasiswa mustawa II Ahgaff University

Selengkapnya....

Nafas Cinta Organisatoris

Oleh: al-Zaitun Putra ***

Dua edisi terakhir, opini aqwaMMedia mentemakan organisasi, mencari jati diri dan menggedor para organisatoris-organisatoris muda al-Ahgaff. Tulisan yang diwacanakan al-Masyriqi dan el-mafada merupakan luapan emosi positif dan asa yang naïf bertepuk sebelah tangan. Tulisan-tulisan serupa juga sering kali dimuat aqwammedia. Namun ajakan dan seruan itu masih belum bisa menyayat nurani pembaca sehingga mampu membangkitkan kembali gairah keorganisasiannya. Kami sebagai simpatisan juga ikut tersentak dan pengen nimbrung sambil bercuap dengan harapan semoga bisa menjadi perubahan ke arah positif praktis dan bisa menggugah untuk bersama-sama membangun organisasi yang telah lama berdiri.



Organisasi disamping memerlukan univikasi visi dan misi anggota, juga membutuhkan koor kerjasama antar pengurus dan peran aktif anggotanya. Untuk memcahkan kebuntuan problem bersama, penulis bertanya sejauh mana peran serta keaktifan anggota dalam mensukseskan organisasi? faktor apa yang menyebabkan kejumudan dan kemerosotan organisasi? Ada beberapa faktor yang berimplikasi pada kejumudan dan kemerosotan organisasi diantaranya:
a. Sikap individualis dan egoisme
Sikap ini banyak sekali meracuni organisatoris yang kecewa dengan asa agungnya atau merupakan karakter pribadi organisatoris sendiri atau sifat ambigu, cuek dan enggak mau peduli dengan sekitarnya, bahkan gengsi juga rawan ikut mempengaruhi lahirnya kemandulan organisasi. Faktor ini bersifat prediksi yang banyak sekali kemungkinan yang melatarbelakanginya. Sikap ini bisa kita lihat melalui ketimpangan kerja organisasi yang seringkali hanya diperankan oleh salah satu atau beberapa pengurus. Dalam tubuh anggota hal ini bisa tercermin dengan minimnya perhatian, kepedulian, aktifitas dan peran saerta anggota dalam mensukseskan organisasi secara esensial dan seremonial.
b. Fanatisme kasta, asal-muasal dan tingkatan
Kasta dan asal-muasal adalah hal yang sangat hassâs sehingga ketika organisasi mengenal istilah kasta dan asal maka akan stagnan secara spontan dan bisa keluar dari kode etik atau AD/ART organisasi. Para ulama sering kali menggunakan istilah al-khilâf lafdhiy, istilah ini sangat tepat menjadi analogi berorganisasi yakni derajat kita sama dalam berorganisasi, sama dalam tanggungjawab yang diemban sehingga seirama dalam menjalankan hak dan kewajiban berorganisasi. Ketua, wakil, anggota hanya sebuah istilah yang berdampak pada pembagian kinerja organisasi saja. Apalagi FORMIL adalah organisasi lillâh ta'âla yang tidak akan melahirkan kecemburuan sosial antar anggotanya.
c. Strata sosial
Strara sosial bisa disebabkan faktor ekonomi, tingkat kelas, tingkat organisasi atau usia. Hal ini bisa dilihat dari ketimpangan yang terjadi dalam organisasi ketika jabatan tertinggi dipimpin oleh yang lebih rendah sementara pengurus sebawahnya atau anggotanya adalah orang yang seatasnya. Strata sosial memang merupakan problem universal yang sering diistilahkan dengan tembok tebal nan kokoh yang sulit untuk dirobohkannya.
Semua faktor saling terpaut antar satu dengan lainnya, sehingga menurut penulis pendidikan regenerasi organisasi di FORMIL sangat tepat ketika dengan mempertahankan organisatoris yang ada dan mencari bibit-bibit unggul dengan menyeret langsung dalam ranah organisasi praktis tanpa melupakan aplikasi teoritis secara universalis. Organisasi yang tepat di aplikasikan disini adalah organisasi praktis, yang bisa mengarahkan pada kedewasaan dan kematangan berorganisasi secara teoritis dan praktis. Faktor kemunduran merupakan kontinyuitas dari efek sebelumnya. Dan bisa juga problem tersendiri yang dipengaruhi beberapa faktor diantaranya:
a. Menjamurnya praktek KKN
Orde lama dan orde baru telah berlalu, sekarang era reformasi yang terus mengusung anti korupsi dan kolusi. Sikap KKN seringkali diperankan dengan mengedepankan univikasi mustawâ atau angkatan tanpa melihat kemampuan, loyalitas atau pertimbangan lain seperti regenerasi. Seandainya organisasi hanya ditangani oleh satu mustawa atau angkatan maka, ketika terjadi reformasi memerlukan wacana organisasi baru dengan wajah-wajah baru. Pengurus baru akan berjalan dari nol dan hanya bisa membaca setumpuk arsip sebagai panduan berorganisasi. Organisasi bukan hanya arsip tebal tetapi loyalitas dan pemikiran yang bisa menggugah selera anggotanya. Kesinambungan program kerja adalah hal yang sangat harus diperhatikan, maka wajar dalam program kerja organisasi mencantumkan jangka pendek dan panjang sebagai impian para leluhur untuk kemajuan organisasi dan kelestarian organisasi yang telah dirintisnya.
b. Minimnya Regenerasi
Betapa pentingnya regenerasi dalam hidup sehingga manusia disunahkan untuk melestarikan spesiesnya sehingga menjadi generasi yang tangguh dan bertanggungjawab. Begitu juga berorganisasi, sehingga suatu saat kelak kita meninggalkan Yaman sudah menemukan generasi yang lebih baik dari kepemimpinan kita. Penulis yakin dari jumlah 109 mahasiswa baru dan 200an mahasiswa lama banyak yang berjiwa organisatoris sejati, namun kita lupa untuk bisa memanfaatkannya atau merekrutnya sehingga organisasi yang ada bisa tetap hidup dengan berbagai aneka warna, corak, rasa dan aroma. Regenerasi yang tangguh dan handal adalah impian para leluhur demi mempertahankan dan meneruskan cita-cita mereka. Disini firman Allah telah nyata bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi, sehingga Allah menghiasi manusia dengan pikiran, ilmu dan akhlak.
c. Berfikir picik
Picik dalam artian hanya memikirkan organisasi dalam kerangkeng masa periode kepengurusannya saja tanpa berfikir bagaimana kepengurusan kedepannya. Memang fastabiqû al-khairât adalah hal yang mathlûb syar'î namun, tidak berarti hanya berfikir bagaimana organisasi tahun kepemimpinannya jadi yang terbaik tanpa memikirkan kedepannya. Kita dituntut untuk berbuat dan menjadi yang terbaik dengan kepengurusan sebelumnya namun kepengurusan tahun depan juga harus lebih baik dari tahun sekarang. Ketika itu merupakan tuntutan, maka selayaknya kepengurusan yang sedang berjalan harus bisa mempertimbangan kebijakan dan ketetapan-ketetapannya tentunya dengan melihat kondisi yang ada baik sekarang atau tahun depan dengan tanpa melewati batas AD/ART yang telah ada.
Penulis berseru dan mengajak organisatoris-organisatoris aktif untuk tetap al-muhâfadhat 'alâ al-qadîm al-shâlih wa al-`akhdz bi al-jadîd al-ashlah, dengan mengedepankan emosi positif dan berfikir kreatif. Emosi positif merupakan pengejawentahan khittah yang harus mempertahankan FORMIL tetap ada dan berfungsi sebagai organisasi yang benar-benar mengayomi anggotanya, adapun berfikir kreatif adalah aplikasi fikrah yang terus bermunculan demi kemajuan dan masa depan organisasi yang independen dan penuh rasa berwibawa. Penulis juga berharap dan berdoa untuk kelangsungan dan kemandirian organisasi-organisasi yang ada di Yaman dan Hadramout khususnya dengan sama-sama bergandengan tangan dan menggalang kerjasama, kesatuan dan persatuan antar pengurus dan anggotanya.
Secara visi dan misi sebuah organisasi bisa dikatakan gagal ketika melihat minimnya jumlah prosentase peran serta dan keaktifan anggotanya. Namun, sukses dan gagalnya suatu organisasi tidak bisa diukur dari situ saja, karena secara seremonial ketika program terlaksana maka bisa dikategorikan sukses walau tidak sepenuhnya.
Namun sangat layak diucapkan terima kasih kepada warga FORMIL atau lainnya yang telah setia menjadi organisatoris aktif atau pasif. Mereka yang aktif semoga mendapatkan pahala yang setimpal dari Allah swt. atas keikhlasannya berkhidmat dan Jazâkum Allâh khair katsîr, dan ucapan serupa juga disampaikan kepada organisatoris-organisatoris pasif yang telah ikut berpartisipasi mendewasakan organisasi dan ikut mempertahankannya dengan tidak mengganggu aktifitas dan stabilitas organisasi sehingga berekses pada robohnya organisasi yang menaunginya.
Semoga sang organisatoris sejati tetap survive dan eksis di panggung lokal dan bisa bermain indah di panggung nasional dan internasional. Semoga.

***) Penulis adalah Thâlib Jâmi'ah al-Ahgâf Hadramout Yemen, Tingkat II.

Selengkapnya....

Keterbelakangan Agama Dalam memaknai jihad

By: Em. Istovarobbuhu*

Sementara orang banyak yang beranggapan bahwa perang yang dalam idiologi Islam dikenal dengan istilah jihad bertujuan untuk memperluas idiologi dan daerah kekuasaan Islam, sehingga mereka, termasuk sebagian dari saudara kita yang seakidahpun, menuduh bahwa Islam merupakan agama Barbar yang tidak mengenal istilah damai dalam ajarannya. Sungguh ironi memang, saya sendiri tidak tahu mengapa pemahaman seperti ini bisa muncul dalam benak mereka, bahkan pada saudara kita sendiri, namun yang pasti interpretasi seperti ini muncul karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keterbelakangan mereka akan hakikat Islam dan ajarannya (baca: al-Ummiyyah al-Diniyyah).



Suatu hari Syaikh Manna’ Kholil Al Qothon memberikan ceramahnya pada salah satu Universitas Islam, dalam kesempatan itu beliau sempat membacakan sebuah ayat yang diambil dari surat Al Hadid, di antara sekian mahasiswa yang hadir itu tiba-tiba ada satu yang berdiri menanyakan pada beliau, “Wahai Syaikh, surat Al Hadid atau Al Khosyab ??.” Pertama beliau menganggap bahwa pertanyaan tersebut hanya bersifat intermezo saja, namun setelah ditelusuri lebih lanjut oleh beliau, ternyata sang penanya memang benar-benar tidak pernah mengerti bahwa di dalam Al Qur’an ada sebuah surat yang bernama Al Hadid. Inilah kadar minimal bagi kita untuk menjustifikasi bahwa mayoritas dari sekian banyak umat Islam saat ini memang mengalami keterbelakangan akan hakikat Islam dan ajarannya.

Islam merupakan sebuah idiologi yang adil dan mengajarkan keadilan, tidak ada hukum yang adil selain hukum Islam. Salah satu paham yang diusung Islam yang menyiratkan keadilan adalah menyamakan kedudukan antara urusan duniawi dan ukhrowi(1). Falsafah ini merupakan dasar (baca: mabadi’) dalam merumuskan beberapa hukum islam, dan merupakan salah satu pondasi atas terbentuknya sebuah ajaran Islam. pandangan seperti ini tersirat dalam Al Qur’an :
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق.
“Katakanlah wahai Muhammad, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dari rizqi yang bagus.”
ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك.
“Dan janganlah kaulupakan bagianmu dari dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.”

Jelaslah bahwa Allah tidak membeda-bedakan antara urusan agama dan urusan dunia, kedua urusan ini sama-sama mendapat prioritas yang setara dalam Islam. Jika kita telusuri lebih jauh lagi dalam rumusan hukum-hukum fiqh, maka kita akan semakin memantapkan pemahaman dalam hal ini. Saya berikan satu contoh: bahwa, membuat lapangan pekerjaan merupakan sebuah pekerjaan yang fardlu kifayah hukumnya, kemudian sholat, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya juga merupakan kefardluan yang harus dijalankan oleh pemeluk agama Islam. Kedua hal ini sama-sama dikhithobkan oleh Allah kepada setiap yang beragama Islam. Tidak ada rumusan yang membeda-bedakan kedua hal ini, yakni membuat lapangan pekerjaan hukumnya tidak wajib dan yang wajib hanyalah sholat saja. Inilah yang saya maksudkan dengan kesetaraan dan keadilan dalam hukum Islam.

Selanjutnya, bahwa untuk mewujudkan kesamaan tersebut, Islam menggunakan cara yang sangat adil pula. Pertama, Islam melakukan pendekatan yang sangat lunak dan fleksibel, bersifat moderat, tidak dengan cara kekarasan. Baru kemudian bila dirasa tidak menemukan jalan lain kecuali alternatif perang, maka Islam akan menggunakan pendekatan ini, tentunya dengan mematuhi beberapa hukum perang yang telah diatur dalam Islam seperti tidak membunuh anak-anak, kaum perempuan dan orang tua serta orang yang lemah (baca: al-dlu’afa).

Perlu diketahui bahwa perang dan pertikaian bukanlah tujuan utama, namun perang hanyalah sebagai perantara (baca: washilah) saja untuk menegakkan hukum dan keadilan Islam. Jika penegakkan hukum dan keadilan tersebut bisa dicapai tanpa perang, niscaya jalur itulah yang lebih bagus dan harus ditempuh.

Kita mungkin akan tercengang, ternyata latar belakang perang Badar Al Kubro bukanlah untuk memperluas kekuasaan atau bahkan memaksakan seseorang untuk masuk ke sebuah idiologi Islam. Perang Badar Al Kubro sebagai perang pertama kali yang tumpah antara muslimin dan musyrikin sekaligus sebagai biang tumpahnya peperangan selanjutnya. Yang melatar belakangi berkecamuknya perang ini bukan karena permaslahan idiologi yang disebarkan oleh Nabi, namun justru disebabkan masalah duniawi, yaitu untuk merebut kembali harta orang muslim yang tidak sempat dibawa bersama waktu hijrah ke Madinah, kebetulan waktu itu harta tersebut dibawa serombongan unta pimpinan Abu sufyan bin Harb sekembalinya dari Syam. Namun kaum musyrikin justru menolak untuk mengembalikan harta tersebut dan memberikannya pada yang berhak. Saya yakin, bahwa penolakan untuk megembalikan harta orang yang berhak merupakan bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan.

Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa perang bukanlah bertujuan untuk menciptakan keonaran dan suasana neraka dalam daerah target, bukan juga bertujuan untuk memaksakan idologi seseorang. Tak lain tujuan jihad adalah untuk menegakkan keadilan baik keadilan ukhrowi maupun keadilan duniawi. Wallahu a’lam.

(1).Yang saya maksud dengan urusan duniawi adalah setiap sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan Allah, dan urusan ukhrowi adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan Allah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dll.

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

Keterbelakangan Agama
Dalam Memaknai Jihad
By: Em. Istovarobbuhu*

Sementara orang banyak yang beranggapan bahwa perang yang dalam idiologi Islam dikenal dengan istilah jihad bertujuan untuk memperluas idiologi dan daerah kekuasaan Islam, sehingga mereka, termasuk sebagian dari saudara kita yang seakidahpun, menuduh bahwa Islam merupakan agama Barbar yang tidak mengenal istilah damai dalam ajarannya. Sungguh ironi memang, saya sendiri tidak tahu mengapa pemahaman seperti ini bisa muncul dalam benak mereka, bahkan pada saudara kita sendiri, namun yang pasti interpretasi seperti ini muncul karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keterbelakangan mereka akan hakikat Islam dan ajarannya (baca: al-Ummiyyah al-Diniyyah).



Suatu hari Syaikh Manna’ Kholil Al Qothon memberikan ceramahnya pada salah satu Universitas Islam, dalam kesempatan itu beliau sempat membacakan sebuah ayat yang diambil dari surat Al Hadid, di antara sekian mahasiswa yang hadir itu tiba-tiba ada satu yang berdiri menanyakan pada beliau, “Wahai Syaikh, surat Al Hadid atau Al Khosyab ??.” Pertama beliau menganggap bahwa pertanyaan tersebut hanya bersifat intermezo saja, namun setelah ditelusuri lebih lanjut oleh beliau, ternyata sang penanya memang benar-benar tidak pernah mengerti bahwa di dalam Al Qur’an ada sebuah surat yang bernama Al Hadid. Inilah kadar minimal bagi kita untuk menjustifikasi bahwa mayoritas dari sekian banyak umat Islam saat ini memang mengalami keterbelakangan akan hakikat Islam dan ajarannya.

Islam merupakan sebuah idiologi yang adil dan mengajarkan keadilan, tidak ada hukum yang adil selain hukum Islam. Salah satu paham yang diusung Islam yang menyiratkan keadilan adalah menyamakan kedudukan antara urusan duniawi dan ukhrowi(1). Falsafah ini merupakan dasar (baca: mabadi’) dalam merumuskan beberapa hukum islam, dan merupakan salah satu pondasi atas terbentuknya sebuah ajaran Islam. pandangan seperti ini tersirat dalam Al Qur’an :
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق.
“Katakanlah wahai Muhammad, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dari rizqi yang bagus.”
ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك.
“Dan janganlah kaulupakan bagianmu dari dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.”

Jelaslah bahwa Allah tidak membeda-bedakan antara urusan agama dan urusan dunia, kedua urusan ini sama-sama mendapat prioritas yang setara dalam Islam. Jika kita telusuri lebih jauh lagi dalam rumusan hukum-hukum fiqh, maka kita akan semakin memantapkan pemahaman dalam hal ini. Saya berikan satu contoh: bahwa, membuat lapangan pekerjaan merupakan sebuah pekerjaan yang fardlu kifayah hukumnya, kemudian sholat, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya juga merupakan kefardluan yang harus dijalankan oleh pemeluk agama Islam. Kedua hal ini sama-sama dikhithobkan oleh Allah kepada setiap yang beragama Islam. Tidak ada rumusan yang membeda-bedakan kedua hal ini, yakni membuat lapangan pekerjaan hukumnya tidak wajib dan yang wajib hanyalah sholat saja. Inilah yang saya maksudkan dengan kesetaraan dan keadilan dalam hukum Islam.

Selanjutnya, bahwa untuk mewujudkan kesamaan tersebut, Islam menggunakan cara yang sangat adil pula. Pertama, Islam melakukan pendekatan yang sangat lunak dan fleksibel, bersifat moderat, tidak dengan cara kekarasan. Baru kemudian bila dirasa tidak menemukan jalan lain kecuali alternatif perang, maka Islam akan menggunakan pendekatan ini, tentunya dengan mematuhi beberapa hukum perang yang telah diatur dalam Islam seperti tidak membunuh anak-anak, kaum perempuan dan orang tua serta orang yang lemah (baca: al-dlu’afa).

Perlu diketahui bahwa perang dan pertikaian bukanlah tujuan utama, namun perang hanyalah sebagai perantara (baca: washilah) saja untuk menegakkan hukum dan keadilan Islam. Jika penegakkan hukum dan keadilan tersebut bisa dicapai tanpa perang, niscaya jalur itulah yang lebih bagus dan harus ditempuh.

Kita mungkin akan tercengang, ternyata latar belakang perang Badar Al Kubro bukanlah untuk memperluas kekuasaan atau bahkan memaksakan seseorang untuk masuk ke sebuah idiologi Islam. Perang Badar Al Kubro sebagai perang pertama kali yang tumpah antara muslimin dan musyrikin sekaligus sebagai biang tumpahnya peperangan selanjutnya. Yang melatar belakangi berkecamuknya perang ini bukan karena permaslahan idiologi yang disebarkan oleh Nabi, namun justru disebabkan masalah duniawi, yaitu untuk merebut kembali harta orang muslim yang tidak sempat dibawa bersama waktu hijrah ke Madinah, kebetulan waktu itu harta tersebut dibawa serombongan unta pimpinan Abu sufyan bin Harb sekembalinya dari Syam. Namun kaum musyrikin justru menolak untuk mengembalikan harta tersebut dan memberikannya pada yang berhak. Saya yakin, bahwa penolakan untuk megembalikan harta orang yang berhak merupakan bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan.

Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa perang bukanlah bertujuan untuk menciptakan keonaran dan suasana neraka dalam daerah target, bukan juga bertujuan untuk memaksakan idologi seseorang. Tak lain tujuan jihad adalah untuk menegakkan keadilan baik keadilan ukhrowi maupun keadilan duniawi. Wallahu a’lam.

(1).Yang saya maksud dengan urusan duniawi adalah setiap sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan Allah, dan urusan ukhrowi adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan Allah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dll.

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

Selengkapnya....

SALAH FAHAM DALAM MENGARTIKAN WACANA SUFI

Oleh: M. Shofi Umar Faruq*

Diantara tudingan yang dilontarkan oleh mereka yang anti tasawwuf adalah kata-kata atau wacana yang muncul dari ulama sufi yang dianggap menyimpang dari alquran dan sunnah. Kadalaman hikmah yang muncul dari ucapan para sufi ternyata diartikan secara general dan tekstual beitu saja sehingga menimbulkan salah paham baik bagi para sufi pemula maupun mereka yang sejak awal mencari-cari kesalahan dan kelemahan tasawuf.


Syaikh Abdul Qadir Isa al-Halaby menulis secara khusus untuk menjawab mereka yang kontra dengan masalah ini dalam kitabnya Haqaiq 'an al-tasawwuf katanya: "Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab tasawuf ada beberapa hal yang tampak bertentangan dengan lahiriahnya nash syariat. Hal itu bisa disebabkan oleh latar belakang berikut:
Pertama: Wacana itu dipalsukan oleh mereka yang kontra kemudian disandarkan pada sufi tertentu. Para pemalsu itu muncul dari kaum zindiq dan mereka yang dengki dengan dunia sufi serta musuh-musuh islam.
Kedua: Memang, wacana itu benar adanya. Tetapi untuk memahaminya membutuhkan takwil, karena para sufi berbicara dengan bahasa isyarat, metafora atau peribahasa. Seperti misalnya dalam alquran ada ayat yang berbunyi: "Bertanyalah pada desa'. Maksudnya pada penduduk desa . "Dan apakah orang mati kami hidupkan." (Qs. Al-An`am:127), Maksudnya adalah matinya hati lalu Allah menghidupkannya. dan di ayat lain Allah menyebutkan: "Agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya". Maksudnya dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman, dan banyak ayat Al-quran yang membutuhkan takwil tidak dipahami saja menurut tekstualnya karena kebiasaan sastra arab yang menggunakan sastra metaphor. Jika kita pahami indikator dan makna dibalik ayat tersebut, baru kita menerima takwil yang sesungguhnya sehingga unsur kontradiktif bisa sirna seperti dalam ayat sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai(al-qishosh 56). Dan di ayat lain disebutkan dan sesungguhnya kamu menunjukkan kepada jalan yang lurus (assyuro 52). Bagi orang yang tidak memahami tafsir seakan-akan dua nas itu bertentangan karena ayat pertama menafikan rosul saw dari pemberi hidayah dan ayat kedua rosul saw berhak memberi petunjuk. Tetapi, kalau kita bertanya pada ahli dzikir pasti terjawab bahwa ayat pertama bermakna sebagai pencipta hidayah dan ayat kedua bermakna sebagai pemberi ajaran tentang hidayah. Sehingga kedua nash tersebut tidak bertentangan. Dan banyak pula kita jumpai dalam hadits-hadits nabi saw yang tidak bisa dipahami menurut tekstualnya, tetapi harus ditakwil sesuai dengan pemahaman yang selaras dengan syariat dan relevan dengan alquran. Dalam konteks inilah assya'roni menegaskan para ulama sepakat untuk mentakwil hadits-hadist sifat seperti hadits tuhan turun setiap malam ke langit dunia sampai tersisa sepertiga malam yang terakhir lalu berfirman siapa yang berdoa kepadaku niscaya akan kukabulkan….. siapa yang minta kepadaku niscaya aku beri ….. siapa yang memohon ampunan kepaku niscaya aku ampuni (HR Bukhori dan Muslim) .sementara mereka yang tersesat memaknai sesuai dengan teksnya dan berkata diatas podium sembari berkata kepada publik Tuhanmu turun dari kursinya ke langit seperti saya turun dari podiumku ini. Jelas pandangan seperti ini sagat bodoh dan menyesatkan (lihat al tasawwuf al islami wa sya'roni, thoha abdul baqi surur hal 105) misalnya pula dalam hadits nabi saw sesungguhnya Allah menjadikan adam menurut rupa-Nya (HR Muslim) menurut Ibnu hajar al Haitsami ra harus ditakwil benar bahwa dhomir (kata ganti) itu kembali kepada Allah sebagaimana lahiriah ayat dan hal itu harus ditegaskan, yang dimaksud dengan rupa adalah sifat dalam arti yang sesungguhnya allah swt menciptakan adam menurut sifat-sifat-Nya antara lain sifat ilmu, qudrat dll. Hal ini dikuatkan hadits oleh S Aisyah RA akhlak rasulullah saw adalah al-Quran (HR Muslim) dan hadits berakhlaklah dengan akhlak-akhlak Allah ta'ala. Indikasi hadits tersebut sepenuhnya adalah mensucikan akhlak dan sifat-sifat-Nya dari segala kekurangan agar bisa menjadi asas bagi persemaian akhlak tuhan-Nya, yakni sifat-sifatNya. Sebab kalau tidak ditakwil dengan sifat itu maka akan terjadi kontradiksi antara yang maha qodim dan hadits (baru). Dengan statemen ini ditegaskan bahwa hadits tersebut memberikan pujian pada nabi adam As dimana Allah memberikan sifat-=sifat pada adam seperti sifat-sifat allah swt karena itu sebagaiaman pandangan para ulama haruslah ditakwl pada hadits yang kata gantinya tersebut langsung pada Allah swt. berbeda dengan mereka yang sesat memahami hadits tsb, semoga Allah melindungi kita dari semua itu. Imam al manawi dalam syarah al jami'u al shogir menyatakan mengenai hadits nabi saw : sesungguhnya alllah berfirman di hari kiamat : wahai manusia aku sakit tetapi engkau tidak menjengukku kemudian manusia berkata bagaimana aku menjenguk –Mu sedangkan engkau adalah tuhan semesta alam? Allah menjawab ketahuilah jika hambaku si fulan sakit lalu mengapa tidak menjenguknya? Ketahuilah jika kamu menjenguk si fulan niscaya kamu menemuiku di sisi fulan itu. …. (sampai akhir hadits HR Muslim).
Jika hadits rasulullah saw perlu ditakwili padahal hadits tersebut telah mencapai tingkat sastra tertinggi bahkan paripurna sebagai kalimat untuk mengetahui makna terdalamnya agar dipahami umatnya, tentu saja setiap ilmu pengetahuan juga memiliki istilah-istilah (terminology) khusus yang membutuhkan uraian dan penafsiran. Apakah ahli fisika akan memahami istilah kedokteran? Apakah tukang jahit mengenal istilah otomotif??? Bagi kaum sufi memiliki istilah-istilah khusus yang perlu ulasan pula sehingga untuk memahaminya perlu berguru kepada mereka agar tidak salah memahami wacananya, agar pemahamnya tidak melenceng dari alquran dan sunah, tidak menyimpang dari syariat, karena para ulama sufi itulah yang tahu benar spirit terdalam dibalik hakikatnya.
قال الشيخ أبو القاسم الجنيد البغدادي (سيد الصوفية) قدس الله سره : مذهبنا هذا مقيد بأصول الكتاب والسنة .
وقال أيضا : الطرق كلها مسدودة إلا من اقتفى أثر الرسول صلى الله عليه وسلم .
وقال أيضا : من لم يحفظ القرآن ولم يكتب الحديث لا يقتدي به في هذا الأمر لأن علمنا مقيد بالكتاب والسنة .
Sebagai penutup saya akan menukil washiat syaikh ibnu athoilllah assakandari ra didalam karyanya lathoiful minan :
إياك أيها الأخ أن تصغي إلى الواقعيين في هذه الطائفة المستهزئين بهم ، لئلا تسقط من عين الله وتستوجب المقت من الله . فإن هؤلاء القوم جلسوا مع الله على حقيقة الصدق وإخلاص الوفاء ومراقبة الأنفاس مع الله، قد سلموا قياده إليه وألقوا أنفسهم سلما بين يديه تركوا الانتصار لأنفسهم وكان هو المحارب عنهم لمن حاربهم. والغالب لمن غالبهم. ولقد ابتلى الله هذه الطائفة بالخلق خصوصا أهل العلم الظاهر فقل أن تجد منهم من شرح الله صدره للتصديق بولي معين. بل يقول لك : نعم إن الأولياء موجودون ولكن أين هم ؟ فلا تذكر له أحدا إلا وأخذ يدفع خصوصية الله فيه طلق اللسان بالاحتجاج عاريا من وجود نور التصديق . فاحذر من هذا وصفه وفر من فرارك من الأسد جعلنا الله وإياك من المصدقين لأوليائه بمنه وكرمه
والله تعالى أعلم


* Mahasiswa tingkat II Fakultas Syari'ah Wa Al Qonun Al Ahgaff University

Selengkapnya....