Wasathiyah Mengikis Fanatisme Sekte

Oleh: Najih Baihaqi*

Beberapa hari yang lalu kalangan akademisi Univ. Al Ahgaff dikejutkan dengan tersebarnya video dari cannel IQRA yang menayangkan aktivitas Muslimin yang berziarah di makam Zambal, Tarim-Hadhramaut-Yaman. Dalam video yang berdurasi sekitar satu jam itu, pembawa acara menayangkan berbagai kegiatan yang menurutnya adalah perbuatan bid'ah dan syirik, semisal ziarah kubur, membaca Al Quran di sampingnya, tawassul dan bahkan menuduh mereka menyembah kubur.


Mencoba mengorek kesalahan saudara semuslim yang menurutnya patut diberantas. Tak lama pula di tempat yang kini saya tempati, Tarim, terjadi pengeroyokan terhadap sebagian pelajar yang sedang mengadakan kajian kitab di salah satu masjid, yang diklaim bahwa masjid itu adalah milik sekte para pengeroyok. Saat tinggal di Indonesia, tak jarang pula saya menjumpai saudara semuslim yang menganggap bahwa Muslim yang tidak dari golonganya itu najis, sehingga ada larangan untuk memasuki masjid miliknya. Ada pula yang menuduh saudaranya celaka gara-gara tidak pernah mengadakan maulid. Tak sedikit pula teman mahasiswa di Indonesia yang curhat, kalau di kampus mereka, ada sebagian mahasiswa yang sering mengadakan kajian Islam di masjid kampus, namun isinya lebih sering membid'ahkan dan menyesatkan Muslim lainya, sehingga mengusik hati sebagian mahasiswa yang tak segenre dengan mereka. Paradigma fenomena yang saya paparkan di atas tak lain adalah imbas dari fanatisme sekte yang terkadang tidak disadari oleh umat Muslim, dimana hal tersebut dapat menimbulkan rasa benci yang berujung pertikaian fisik antar sesama Muslim.
Fanatisme oleh pepatah Arab dianalogikan seperti kobaran api yang dapat menghanguskan ukhuwah. Fanatisme adalah virus berbahaya karena tembok pertahanan Muslim bisa roboh karenanya. Seseorang yang terjangkit virus ini suka sibuk mencari aib saudaranya semuslim dan akhirnya melupakan dakwah pada Islam sendiri. Ia adalah virus yang terkadang tampak elok di pelupuk mata. Dikatakan virus elok, karena Muslim yang terjangkit fanatisme sekte akan merasa cuma sektenyalah penegak agama Allah dan menafikan lainya. Fakta yang kami paparkan di atas mungkin terjadi karena benci dan menganggap musuh saudara Muslim yang tidak segenre denganya. Berangkat dari sini, hati saya terdorong untuk memaparkan manhaj moderat berdakwah dan menawarkan pada umat Islam.

Memahami Manhaj Dakwah Moderat
Siapa yang tidak mengenal cendekia sekaligus da'i kondang internasional, Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz Tarim-Hadhramaut. Ulama' besar yang kerap keliling dunia untuk mengemban amanah dakwah, hingga muridnya berdatangan dari pelbagai benua: Eropa, Afrika, Asia bahkan sampai Amerika. Kunci kesuksesan beliau dalam berdakwah adalah mengimplementasikan manhaj wasathiyah atau moderat. Dalam berdakwah tak pernah sekalipun beliau membeberkan aib dari sekte lain, sampai itu Syiah sekalipun. Beliau dalam berdakwah, berusaha mencari titik temu yang menyatukan setiap sekte di dalamnya. Titik temu itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Tiga dogma (rukun) inilah yang mempertemukan semua sekte dalam setiap segmen tubuh Islam, baik itu Salafy, Sunni, Khawarij ataupun Syiah. Dengan metode itu, Muslim dari sekte apapun bisa menerima dengan lapang dada dakwah beliau. Beliau ingin semua Muslim kembali pada Allah dengan tiga rukun tadi karena itulah inti dari agama Allah dan itulah hakikat dakwah yang dicontohkan oleh Rasululllah. Itulah Habib Umar dengan manhaj wasathiyahnya. Jadi, manhaj moderat dalam berdakwah yang saya maksud adalah mengajak manusia kembali pada Allah dengan orisinalitas tiga dogma yakni, Iman, Islam, Ihsan dan menjauhkan dakwahnya dari tudingan atau celaan terhadap Muslim dari sekte apapun. Sebab, seperti inilah dakwah Muhammad khairul basyar. Karena Muhammad tidak pernah menghina sesama ahli la ilaha illa Allah.
Rektor Universitas Al Ahgaff, Prof. Habib Abdullah Baharun kerap berpesan bahwa umat Muslim dari sekte apapun, adalah umat lailaha illa Allah, oleh karena itu interaksi kita dengan mereka juga yang sesuai dengan ajaran la ilaha illa Allah. Jadi kita mesti paham bahwa variatif sekte yang ada dalam Islam itu semua adalah ahli la ilaha illa Allah. Mereka semua mengesakan Allah. Allah membelai mereka dengan belaian Islam. Allah mencintai mereka karena hurmat atau kemulyaan kalimah tauhid ini. Dalam satu kisah diceritakan bahwa Rasul SAW marah ketika salah seorang sahabat membunuh orang kafir yang telah mengucapkan la ilaha illa Allah dalam satu peperangan. "Wahai Rasul, dia mengucapkan la ilaha illa Allah supaya aku tidak membunuhnya," kata sahabat itu. "Apa kamu telah membelah dadanya hingga kau tahu bahwa dia mengucapkan la ilaha illa Allah karena takut dibunuh..???!!!" jawab Rasul berulang kali. Beginilah Rasul SAW. mengajari para sahabat agar mereka juga memahami betapa mulianya kalimat tauhid ini disisi Allah, sehingga mereka tidak boleh sembarangan ketika berinteraksi dengan sesama umat islam, apalagi sampai menuduh mereka kafir hingga membunuhnya.
Fenomena yang terjadi, baik itu di Timur Tengah atau negara kita adalah saling olok antar satu sekte dengan yang lain. Misalnya orang Salafy tidak suka kalau ada orang NU yang mengadakan tahlil lantas mengolok di halaqahnya, dengan mengatakan itu bid'ah, haram, syirik kita harus memberantasnya. Orang NU dalam ceramah-ceramah terkadang juga mengolok Salafy dungu, dangkal, sok pintar. Itu semua akibat fanatisme sekte yang telah membelenggu di otaknya. Dalam hal ini seorang pemikir Islam terkemuka, Hasan Al Banna mengatakan bahwa tak seharusnya kita kini memperdebatkan perbedaan klasik ini karena para ulama dulu sudah berusaha untuk menemukan titik temu dalam masalah khilafiyah (ziarah kubur, tawassul, dll.) ini, namun hasilnya tetap saja terjadi perbedaan di antara mereka, oleh karena itu ada baiknya kita tanggalkan perdebatan klasik ini. Bahkan di negara Somalia, sampai kini, masih terjadi pertumpahan darah gara-gara ada sekte yang suka mengkafir-kafirkan (Jama'ah Takfir), ini yang saya takutkan kalau sampai terjadi di Indonesia . Oleh sebab itu ada baiknya kita juga mengaplikasikan apa yang pernah diucapkan oleh Habib Abu Bakar Al Adny, da'i sekaligus pemikir Islam asal kota Aden, dalam satu lawatannya di Univ. Al Ahgaff, beliau berkata bahwa da'wah, itu yang bermanfaat bagi umat bukan malah memecah belah umat. Menuduh kafir, pertikaian, perdebatan yang berlandaskan hawa nafsu itu adalah dakwah yang memicu perpecahan dan itu yang mesti kita tanggalkan kini.
Sahabat Abu Dzar pernah memanggil Bilal, "Hai si hitam." Rasul pun mendengar dan berkata, "Hai, apakah orang putih itu lebih mulia dari mereka yang hitam. Tidak, tidak ada keutamaan dalam diri seseorang kecuali taqwa." Lantas Abu Dzar sadar dan berkata pada Bilal, "Aku telah mengolokmu dan aku mengaku salah." "Aku telah memaafkanmu," kata Bilal. "Tidak, belum, ini wajahku kutaruh di tanah dan injaklah hingga keluar virus kesombongan dariku," kata Abu Dzar. "Aku telah mengampunimu," kata Bilal. "Tidak demi Allah hatiku takkan tenang hingga kau menaruh kaki di wajahku ini, hingga penyakit ini hilang," kata Abu Dzar. Beginilah Rasul mendidik umat la ilaha illa Allah agar saling menghormati, toleran, tidak menyakiti dan sikap inilah yang mesti kita implementasikan ketika bertemu dengan sesama umat la ilaha Illa Allah, dari sekte apapun. Agar dakwah untuk mengajak umat kembali pada Allah terus langgeng dan tidak mandeg gara-gara disibukkan dengan saling jegal antar sekte.

Memahami Hadis Iftiroqul Ummah
Terdapat banyak redaksi mengenai hadis iftiroqul ummah ini sehingga memicu multitafsir di dalamnya. Hal ini sangatlah lumrah dalam wacana khazanah Islam. Ada baiknya kalau kita mengikuti para yuris Islam yang moderat. Mereka, dari banyaknya redaksi hadis tersebut, menyimpulkan bahwa umat Muhammad itu terbagi menjadi dua: umat yang masuk Islam, (ummatul ijabah) dan umat yang belum masuk Islam (ummatud dakwah). Lha, apabila terjadi perpecahan dari dua golongan tersebut (umat ijabah dan umat dakwah) maka yang diinginkan dari hadis tersebut adalah orientasinya, siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka?, maka jawabanya yang mendeklarasikan keesaan Allahlah yang masuk surga dan yang tidak alias menyekutukan Allah, maka ia masuk neraka.
Dengan memahami hadis ifiroqul ummah seperti para yuris moderat, maka konsekwensinya adalah semua sekte yang ada dalam tubuh Islam akan tetap selamat dan masuk surga. Kita bisa menyayangi para umat la ilaha illa Allah sebagaimana Allah menyayangi mereka. Kita juga bisa menghindarkan umat Islam dari fanatisme dan klaim cuma sektenya saja yang selamat. Sebab kalau tidak demikian, klaim egois itu akan terus berlanjut lantas berimbas pada pertikaian, perpecahan umat, dan pertumpahan darah. Lantas siapa yang akan mengemban estafet dakwah untuk mengislamisasikan orang kafir?. Bahkan DR. Muhammad Sa'id Ramadhan Al Bouthi, ketika ditanya apakah orang Amerika di jauh sana, yang tidak pernah mendapatkan dakwah Islam itu masuk neraka atau surga? Beliau malah menjawab, justru yang saya khawatirkan adalah diri kita yang melupakan dakwah kepada orang kafir di Barat dan lainya, apakah kita akan selamat dari jilatan api neraka?. Oleh sebab itu, memahami hadis ini secara moderat adalah sangat perlu hingga kita akur dan damai dengan saudara semuslim hingga tidak melupakan umat (baik ijabah atau dakwah) untuk kembali pada Allah.
Dakwah moderat inilah yang kini terus diperjuangkan oleh para cendekia Muslim Hadhramaut semisal Habib Umar bin Hafidz, Habib Abu Bakar Al Adny dan Prof.Habib Abdullah bin Muhammad Baharun. Mereka mengajak umat la ilaha illa Allah untuk kembali pada Allah dengan mengajarkan esensi dari inti agama, yaitu Islam, Iman dan Ihsan, tanpa mengajak umat untuk saling tuduh, jegal, menyesatkan yang rawan pertumpahan darah. Dan dakwah model inilah yang tampaknya cocok untuk kita implementasikan di bumi pertiwi yang ditemukan berbagai genre atau sekte islam didalamnya. Allahum waffiqna wa aqim bainana ta'awun 'ala ma yurdhik.

*Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat dua, fakultas Syariah dan Hukum.



Selengkapnya....

LURUSKAN PEMAHAMAN YANG MELENCENG

Oleh: Abdullah Ahid*

(Dan di antara manusia itu ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir." Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang yang beriman). QS. 02:08.

Kalau paham liberal kian mendarah daging dalam otak generasi penerus Islam, dan berkelanjutan hingga menyumsum bercampur jadi satu dengan pengetahuan luas yang dimiliki oleh mereka yang cukup mempunyai kemampuan unggul dalam memahami syari'at, maka bagaimana nasib masyarakat awam yang tidak mengerti keunikan serta kerahmatan agama yang mulia ini?

Sementara mereka tidak mengerti kewajiban apa yang harus ditempuh, dengan pengetahuan yang sangat minim disertai rasa terkekang oleh nidzam syari' (peraturan Sang Pemilik syari'at).
Masuknya bangsa Kompeni disertai dengan sambutan hangat masyarakat pribumi yang tak sedikitpun memililki kecurigaan bahwa nantinya akan menjadi tuan bagi mereka dan menjadikan mereka jongos yang martabatnya bisa lebih buruk dari pada budak. Maka tak ayal jika anak buah Israel yang sedari dulu memiliki dendam batin terhadap pengikut ajaran agama Allah lebih akan menganggap mereka sebagai hewan yang tak layak dipiara dan diternak. Digiring menuju jurang kesesatan sehingga nantinya akan terjatuh ke dasar jurang kehinaan.
Zaman modern yang serba dipandu dan dikuasai oleh bangsa Yahudi kini semakin memberikan peluang luas bagi kaum yang memiliki keraguan dalam hati, kering akan akhlaq dan nuraninya telah mati, untuk menghujat agamanya dan saudara intern agamanya sendiri. Mereka yang selalu ragu, tak mengindahkan ijtihad dan jasa ulama terdahulu. Bahkan dengan kurang ajarnya berani menentang atau mengkritiki serta mengkaji ulang fatwa-fatwa mereka, diganti dengan usaha yang tiada valid argumennya bilamana diteliti dan dicocokkan dengan realita yang terjadi, sebab kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Inilah yang sekarang kian marak di kalangan Muslim KTP yang sebetulnya orang munafik.
Berbagai usaha yang mereka lakukan tak lain adalah membawa visi pemurtadan kaum Muslimin. Entah melalui penularan pemikiran yang bersifat liberal, wawasan yang luas, atau apapun caranya agar bagaimana syari'at ini bisa tenggelam ditangan pemeluk agama itu sendiri. Sebab mereka merasa kewalahan untuk menyebarkan paham dan ajaran mereka. Dan cara ini adalah yang paling praktis dan kondusif. Adu domba memang sebuah program yang ditata dengan cemerlang dan efisien meraih kemenangan. Sementara momok yang paling ditakuti oleh semua golongan adalah juga pengkhianatan bangsa sendiri. Dan apabila generasi penerus ulama', cendekiawan Muslim yang semestinya membela dan mempertahankan Islam itu telah berpaling dari kewajibannya dan bisa dikatakan munafik nantinya, maka sedikit demi sedikit agama ini akan terkikis oleh ulah mereka.
Artikel ilmu teoritis yang disajikan oleh Ulil Abshar cukup indah dan menawan. Generalisasi perkara yang spesifik merupakan hujjah yang begitu mematikan, karena bisa jadi disertai unsur penipuan yang tak tampak dan pasti diterima dikalangan publik. Mengatakan bahwa dini hari para intelektual Muslim telah terpikat pemikiran filosof Barat, menyamakan potensi yang dimiliki ulama' salaf yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah dengan ilmuwan non-Muslim tanpa bukti yang jelas. Apalagi terdapat tambahan kata-kata intelektual Muslim yang berlatar belakang NU kerap merujuk permasalahan filsafat pada ahlinya yang terdiri dari ilmuwan modern bangsa Barat. Dan apakah benar demikian? Namun, jikalau lebih kita teliti maka tampaklah kebodohan yang menyelimuti mereka yang berani menetralkan golongan dan mengolok-olok saudara seagamanya sendiri yang sudah tentu dibela dan dijaga oleh-Nya. Karena satu contoh tidak mungkin bisa dimasukkan dalam komunitas, artinya barangkali orang seperti dialah yang selalu mengandalkan dan memuja-muja ilmuwan non-Muslim. Dan imbas perlakuan itu ditujukan pada Muslimin yang muslihin dan muhsinin. Ini namanya ta'mim al-khos ghoiru muthobiq lil waqi'.
Sedangkan agama Islam adalah agama rahmah yang penuh dengan pertimbangan. Prakteknya bertolak belakang dengan agama lain. Ia berjalan gradual secara kontinyu sehingga para pemeluknya merasakan ketentraman yang luar biasa, yaitu orang-orang yang pasrah dan tunduk diri pada Allah dan menyerahkan segala urusan pada-Nya. Sebagai contoh kecil kerahmatan itu adalah perbudakan yang terjadi di masa jahiliah, Islam datang dengan menepisnya setitik demi setitik, tidak langsung menekankan pengharaman, sehingga dengan cara minimalisir ini ia digubris dan dihormati mereka yang hatinya terbuka. Tidakkah hal ini menjadi sebuah contoh bagi kita umat Muslim untuk berfikir? Sementara sebelum kedatangan Islam corak kehidupan yang mewarnai bangsa Yahudi dan Nasrani sangatlah tidak berperikemanusiaan. Jadi, mana mungkin pemikiran mereka disamakan? Toh berangkat dari sumber yang bebeda.
Permasalahan tulisan Ulil lagi adalah kalau dikritik mengapa struktural forum-forum yang ada di bawah kekuasaan NU sekarang seakan tidak memperdulikan lagi ilmu teori? Jawabannya, bukan berarti tidak menghiraukan. Tetapi barangkali hal ini yang hendak diterapkan mereka, yakni menyuguhkan kepada masyarakat awam hukum-hukum agama yang tak mungkin bisa mereka raih dengan berijtihad karena minimnya pengetahuan juga sibuknya pekerjaan yang menumpuk, sehingga dengan instant mereka dapat melahap dan mengamalkannya dengan praktis. Lalu, apakah hal itu tidak mematikan pikiran mereka yang mestinya wajib mengetahui sumber dan asal-usul perkara itu ditentukan? Kita logikakan perjalanan seorang mencari ilmu. Berangkat dari ilmu tauhid, ketuhanan, mengetahui Rasul, dan lain sebagainya, disusul dengan ilmu alat dalam bahasa Arab, karena pembawa agama Allah berasal dari Arab, lanjut dengan ilmu Fiqih tentang halal haram dalam Islam, barulah mencari sumber asal hukum tersebut itu ditentukan. Lha, kalau orang sudah tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan asal muasal sebuah perkara ditentuikan, bukankah lebih baik ia mengetahui perkara tersebut. Dan kalau bukan karena perkara itu diketahui terlebih dahulu, apakah ia bisa berfikir menggali sumbernya? Permasalahan apa yang bisa ia bahas sedang tema saja tidak mengetahui. Contoh kecil, kewajiban shalat. Jikalau orang telah masuk Islam, apakah ia wajib untuk shalat atau mencari referensi yang mendetail dan peristiwa terjadinya kewajiban itu? Kalau yang kedua diterapkan maka Islam adalah ad diin al masyaqah.
Sebagai umat Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlaq seharusnya kita intropeksi diri. Apakah kita sudah terhitung orang pandai dengan membodohkan program orang lain yang status keilmuannya di atas kita. Mereka lebih banyak makan garam, dan mempunyai pertimbangan yang lebih adil dan kuat sebab pengalaman yang mengungguli kita.
Menjadi seorang ulama' itu tidaklah fardlu 'ain, dan pemahaman mencari akar yang terlalu dalam itu saya kira adalah hanya keinginan musuh Islam yang memfilsafati perkara sehingga bisa dijadikan alasan untuk berpaling darinya. Sebab wadah pencetak generasi penerus yang nantinya menumbuhkan para cendekiawan Muslim dan alim, sholeh serta revolusioner tidaklah kurang. Para ulama' telah berlomba-lomba menjadikan muda-mudi Muslim bermanfaat di kemudian hari dengan sarana pendidikan yang dikondisikan dengan zaman dan tetap berpegang teguh pada Al Qur'an. Lagipula Allah sudah adil, kalau semua orang dicekoki pemikiran sepertinya dan mereka semua mempunyai kapasitas kecerdasan yang sama rata, siapa yang akan menjadi pimpinan bagi mereka, yang mengajak ke agama Allah? Lagipula kalau setiap orang hanya mencari akar suatu pesoalan secara mendetail, ia akan lupa dengan tujuannya, yaitu mengetahui dan mengamalkan kewajiban dari undang-undang hukum atau ending permasalahan yang ia tekuni tersebut. Jadi, bukan berarti jajaran kepengurusan NU mengabaikan ilmu Ushul.
Memang benar jika teori tak mampu pisah dari praktek, karena praktek tanpa teori hasilnya nol. Begitu juga sebaliknya. Tapi untuk merealisasikan perkara tersebut apakah harus mengambil sampel dari kejadian-kejadian yang kurang ia pahami tujuan dan akibatnya dan diolah menjadi terlihat buruk di mata umum. Padahal obyeknya juga ikhwanuhu fiddin. Tidak ingatkah kalau sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Tapi Ulil seakan mendoktrin keunggulan teori dan lupa atas kejadian masa lampau untuk dijadikan pelajaran, yaitu ajaran Siti Jenar tentang tauhid yang kurang bisa dipahami oleh khalayak umum dan bisa memurtadkan mereka yang bukan sederajat dengannya, itulah segi negatif inti artikel karyanya. Dan bila orang yang dangkal pikirannya dan lemah imannya, pasti akan mudah terpengaruhi sedikit demi sedikit untuk berfikir sepertinya dan ujungnya tiada lagi kepercayaan yang tertancap dalam hatinya untuk i'tikad bahwa agama yang dipeluk adalah yang paling benar.
Kembali mengenai persesuaian pendapat antara ulama' Islam dengan pemikir Yunani dan Barat itu sangat tidak mengenakkan untuk dikombinasikan, karena berangkat dari ajaran yang berbeda. Lagi pula bukankah telah jelas di mata kaum Muslimin bahwa bangsa Barat dengan kejam merebut ilmu pengetahuan yang diciptakan ahli ilmu Timur Tengah. Mereka mengadopsinya dan mengatakan bahwa hal itu adalah darinya. Sebagai seorang Muslim, seharusnya kita mendalami agama tanpa menganggapnya sama rata, karena yang paling benar adalah memang Islam. Ingin bukti kongkret? Perhatikan saja seorang muallaf adalah yang mendapatkan petunjuk dan terbuka hatinya, sedangkan yang murtad adalah karena faktor ekonomi, sosial atau konflik lain yang sama sekali tak berlandaskan kesadaran, melainkan melencengnya pikiran yang dipaksa-paksakan.
Selayaknya kita bangga mempunyai ulama' yang selalu andil dalam berbagai masalah kehidupan. Mencurahkan tenaga dan pikirannya, memecahkan segala bentuk problematika. Bukannya menjunjung pembesar agama lain dan mencampur-adukkan pemikiran mereka yang tidak sama serta menimbulkan kerancauan dan kesulitan berfikir dalam benak orang yang tidak begitu memahami aqidah dan syari'ah.
Demikianlah cara berpikir kaum liberal. Ulil Abshor telah mengelabuhi pembaca artikelnya yang begitu mempesona dan berbobot dan sangat tinggi nilainya. Namun ia tidak sadar telah menampakkan kecerobohan dirinya dengan tergesa-gesa menyajikan pendapat yang terkesan memprioritaskan teori dan mengesampingkan praktek. Meskipun di sebagian katanya ia tulis bahwa teori harus imbang dengan praktek. Bukankah hal ini seperti orang yang ingin mengetahui pembentukan undang-undang untuk alasan agar bisa mencari kelemahannya dan menghindar darinya? Tak cocok dengan kritiknya yang memojokkan terhadap Nahdlatul Ulama' yang belum ia ketahui seluk-beluk dan tata-cara mereka memahami agama. Satu bentuk kelemahan prioritas teori Bean.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Al Ahgaff tingkat 1, fakultas Syari'ah dan Hukum.


Selengkapnya....

Semaumu

Oleh: H2O Wangi*

Dalam hatiku…
Muncul sesuatu tabu
Dalam pikiranku…
Tiada kebebasan yang membelenggu


Dalam jalanku…
Aku tak mau ragu
Dalam hidupku…
Aku terbebani rasa malu

Dalam cintaku…
Tak kutemukan hati yang menentu
Dalam pertemananku…
Semuanya KURANG AJAR padaku

Dalam kuliahku…
Tiada sesuatu yang baru
Dalam kelasku…
Tidur bukanlah sesuatu yang pilu

Dalam keseharianku…
Mata-mata selalu menemaniku
Dalam keteledoranku…
Si mata-mata menjadi si Abu J.

Dalam sunyiku…
Kau selalu membuatku terganggu
Dalam tawaku…
Lirikan sinis membanjiriku

Dalam duniaku…
Tak boleh ada yang mengganggu
Dalam bayangku…
Aku bukanlah kamu, wahai pembenciku…!

Dalam kesalahanku…
Janganlah kaubuat tambah malu
Dalam kebebasanku…
Jangan coba-coba memasuki hidupku

*Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu

Selengkapnya....

LURUSKAN PEMAHAMAN YANG MELENCENG

Oleh: Abdullah Ahid*

(Dan di antara manusia itu ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir." Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang yang beriman). QS. 02:08.

Kalau paham liberal kian mendarah daging dalam otak generasi penerus Islam, dan berkelanjutan hingga menyumsum bercampur jadi satu dengan pengetahuan luas yang dimiliki oleh mereka yang cukup mempunyai kemampuan unggul dalam memahami syari'at, maka bagaimana nasib masyarakat awam yang tidak mengerti keunikan serta kerahmatan agama yang mulia ini?


Sementara mereka tidak mengerti kewajiban apa yang harus ditempuh, dengan pengetahuan yang sangat minim disertai rasa terkekang oleh nidzam syari' (peraturan Sang Pemilik syari'at).
Masuknya bangsa Kompeni disertai dengan sambutan hangat masyarakat pribumi yang tak sedikitpun memililki kecurigaan bahwa nantinya akan menjadi tuan bagi mereka dan menjadikan mereka jongos yang martabatnya bisa lebih buruk dari pada budak. Maka tak ayal jika anak buah Israel yang sedari dulu memiliki dendam batin terhadap pengikut ajaran agama Allah lebih akan menganggap mereka sebagai hewan yang tak layak dipiara dan diternak. Digiring menuju jurang kesesatan sehingga nantinya akan terjatuh ke dasar jurang kehinaan.
Zaman modern yang serba dipandu dan dikuasai oleh bangsa Yahudi kini semakin memberikan peluang luas bagi kaum yang memiliki keraguan dalam hati, kering akan akhlaq dan nuraninya telah mati, untuk menghujat agamanya dan saudara intern agamanya sendiri. Mereka yang selalu ragu, tak mengindahkan ijtihad dan jasa ulama terdahulu. Bahkan dengan kurang ajarnya berani menentang atau mengkritiki serta mengkaji ulang fatwa-fatwa mereka, diganti dengan usaha yang tiada valid argumennya bilamana diteliti dan dicocokkan dengan realita yang terjadi, sebab kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Inilah yang sekarang kian marak di kalangan Muslim KTP yang sebetulnya orang munafik.
Berbagai usaha yang mereka lakukan tak lain adalah membawa visi pemurtadan kaum Muslimin. Entah melalui penularan pemikiran yang bersifat liberal, wawasan yang luas, atau apapun caranya agar bagaimana syari'at ini bisa tenggelam ditangan pemeluk agama itu sendiri. Sebab mereka merasa kewalahan untuk menyebarkan paham dan ajaran mereka. Dan cara ini adalah yang paling praktis dan kondusif. Adu domba memang sebuah program yang ditata dengan cemerlang dan efisien meraih kemenangan. Sementara momok yang paling ditakuti oleh semua golongan adalah juga pengkhianatan bangsa sendiri. Dan apabila generasi penerus ulama', cendekiawan Muslim yang semestinya membela dan mempertahankan Islam itu telah berpaling dari kewajibannya dan bisa dikatakan munafik nantinya, maka sedikit demi sedikit agama ini akan terkikis oleh ulah mereka.
Artikel ilmu teoritis yang disajikan oleh Ulil Abshar cukup indah dan menawan. Generalisasi perkara yang spesifik merupakan hujjah yang begitu mematikan, karena bisa jadi disertai unsur penipuan yang tak tampak dan pasti diterima dikalangan publik. Mengatakan bahwa dini hari para intelektual Muslim telah terpikat pemikiran filosof Barat, menyamakan potensi yang dimiliki ulama' salaf yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah dengan ilmuwan non-Muslim tanpa bukti yang jelas. Apalagi terdapat tambahan kata-kata intelektual Muslim yang berlatar belakang NU kerap merujuk permasalahan filsafat pada ahlinya yang terdiri dari ilmuwan modern bangsa Barat. Dan apakah benar demikian? Namun, jikalau lebih kita teliti maka tampaklah kebodohan yang menyelimuti mereka yang berani menetralkan golongan dan mengolok-olok saudara seagamanya sendiri yang sudah tentu dibela dan dijaga oleh-Nya. Karena satu contoh tidak mungkin bisa dimasukkan dalam komunitas, artinya barangkali orang seperti dialah yang selalu mengandalkan dan memuja-muja ilmuwan non-Muslim. Dan imbas perlakuan itu ditujukan pada Muslimin yang muslihin dan muhsinin. Ini namanya ta'mim al-khos ghoiru muthobiq lil waqi'.
Sedangkan agama Islam adalah agama rahmah yang penuh dengan pertimbangan. Prakteknya bertolak belakang dengan agama lain. Ia berjalan gradual secara kontinyu sehingga para pemeluknya merasakan ketentraman yang luar biasa, yaitu orang-orang yang pasrah dan tunduk diri pada Allah dan menyerahkan segala urusan pada-Nya. Sebagai contoh kecil kerahmatan itu adalah perbudakan yang terjadi di masa jahiliah, Islam datang dengan menepisnya setitik demi setitik, tidak langsung menekankan pengharaman, sehingga dengan cara minimalisir ini ia digubris dan dihormati mereka yang hatinya terbuka. Tidakkah hal ini menjadi sebuah contoh bagi kita umat Muslim untuk berfikir? Sementara sebelum kedatangan Islam corak kehidupan yang mewarnai bangsa Yahudi dan Nasrani sangatlah tidak berperikemanusiaan. Jadi, mana mungkin pemikiran mereka disamakan? Toh berangkat dari sumber yang bebeda.
Permasalahan tulisan Ulil lagi adalah kalau dikritik mengapa struktural forum-forum yang ada di bawah kekuasaan NU sekarang seakan tidak memperdulikan lagi ilmu teori? Jawabannya, bukan berarti tidak menghiraukan. Tetapi barangkali hal ini yang hendak diterapkan mereka, yakni menyuguhkan kepada masyarakat awam hukum-hukum agama yang tak mungkin bisa mereka raih dengan berijtihad karena minimnya pengetahuan juga sibuknya pekerjaan yang menumpuk, sehingga dengan instant mereka dapat melahap dan mengamalkannya dengan praktis. Lalu, apakah hal itu tidak mematikan pikiran mereka yang mestinya wajib mengetahui sumber dan asal-usul perkara itu ditentukan? Kita logikakan perjalanan seorang mencari ilmu. Berangkat dari ilmu tauhid, ketuhanan, mengetahui Rasul, dan lain sebagainya, disusul dengan ilmu alat dalam bahasa Arab, karena pembawa agama Allah berasal dari Arab, lanjut dengan ilmu Fiqih tentang halal haram dalam Islam, barulah mencari sumber asal hukum tersebut itu ditentukan. Lha, kalau orang sudah tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan asal muasal sebuah perkara ditentuikan, bukankah lebih baik ia mengetahui perkara tersebut. Dan kalau bukan karena perkara itu diketahui terlebih dahulu, apakah ia bisa berfikir menggali sumbernya? Permasalahan apa yang bisa ia bahas sedang tema saja tidak mengetahui. Contoh kecil, kewajiban shalat. Jikalau orang telah masuk Islam, apakah ia wajib untuk shalat atau mencari referensi yang mendetail dan peristiwa terjadinya kewajiban itu? Kalau yang kedua diterapkan maka Islam adalah ad diin al masyaqah.
Sebagai umat Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlaq seharusnya kita intropeksi diri. Apakah kita sudah terhitung orang pandai dengan membodohkan program orang lain yang status keilmuannya di atas kita. Mereka lebih banyak makan garam, dan mempunyai pertimbangan yang lebih adil dan kuat sebab pengalaman yang mengungguli kita.
Menjadi seorang ulama' itu tidaklah fardlu 'ain, dan pemahaman mencari akar yang terlalu dalam itu saya kira adalah hanya keinginan musuh Islam yang memfilsafati perkara sehingga bisa dijadikan alasan untuk berpaling darinya. Sebab wadah pencetak generasi penerus yang nantinya menumbuhkan para cendekiawan Muslim dan alim, sholeh serta revolusioner tidaklah kurang. Para ulama' telah berlomba-lomba menjadikan muda-mudi Muslim bermanfaat di kemudian hari dengan sarana pendidikan yang dikondisikan dengan zaman dan tetap berpegang teguh pada Al Qur'an. Lagipula Allah sudah adil, kalau semua orang dicekoki pemikiran sepertinya dan mereka semua mempunyai kapasitas kecerdasan yang sama rata, siapa yang akan menjadi pimpinan bagi mereka, yang mengajak ke agama Allah? Lagipula kalau setiap orang hanya mencari akar suatu pesoalan secara mendetail, ia akan lupa dengan tujuannya, yaitu mengetahui dan mengamalkan kewajiban dari undang-undang hukum atau ending permasalahan yang ia tekuni tersebut. Jadi, bukan berarti jajaran kepengurusan NU mengabaikan ilmu Ushul.
Memang benar jika teori tak mampu pisah dari praktek, karena praktek tanpa teori hasilnya nol. Begitu juga sebaliknya. Tapi untuk merealisasikan perkara tersebut apakah harus mengambil sampel dari kejadian-kejadian yang kurang ia pahami tujuan dan akibatnya dan diolah menjadi terlihat buruk di mata umum. Padahal obyeknya juga ikhwanuhu fiddin. Tidak ingatkah kalau sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Tapi Ulil seakan mendoktrin keunggulan teori dan lupa atas kejadian masa lampau untuk dijadikan pelajaran, yaitu ajaran Siti Jenar tentang tauhid yang kurang bisa dipahami oleh khalayak umum dan bisa memurtadkan mereka yang bukan sederajat dengannya, itulah segi negatif inti artikel karyanya. Dan bila orang yang dangkal pikirannya dan lemah imannya, pasti akan mudah terpengaruhi sedikit demi sedikit untuk berfikir sepertinya dan ujungnya tiada lagi kepercayaan yang tertancap dalam hatinya untuk i'tikad bahwa agama yang dipeluk adalah yang paling benar.
Kembali mengenai persesuaian pendapat antara ulama' Islam dengan pemikir Yunani dan Barat itu sangat tidak mengenakkan untuk dikombinasikan, karena berangkat dari ajaran yang berbeda. Lagi pula bukankah telah jelas di mata kaum Muslimin bahwa bangsa Barat dengan kejam merebut ilmu pengetahuan yang diciptakan ahli ilmu Timur Tengah. Mereka mengadopsinya dan mengatakan bahwa hal itu adalah darinya. Sebagai seorang Muslim, seharusnya kita mendalami agama tanpa menganggapnya sama rata, karena yang paling benar adalah memang Islam. Ingin bukti kongkret? Perhatikan saja seorang muallaf adalah yang mendapatkan petunjuk dan terbuka hatinya, sedangkan yang murtad adalah karena faktor ekonomi, sosial atau konflik lain yang sama sekali tak berlandaskan kesadaran, melainkan melencengnya pikiran yang dipaksa-paksakan.
Selayaknya kita bangga mempunyai ulama' yang selalu andil dalam berbagai masalah kehidupan. Mencurahkan tenaga dan pikirannya, memecahkan segala bentuk problematika. Bukannya menjunjung pembesar agama lain dan mencampur-adukkan pemikiran mereka yang tidak sama serta menimbulkan kerancauan dan kesulitan berfikir dalam benak orang yang tidak begitu memahami aqidah dan syari'ah.
Demikianlah cara berpikir kaum liberal. Ulil Abshor telah mengelabuhi pembaca artikelnya yang begitu mempesona dan berbobot dan sangat tinggi nilainya. Namun ia tidak sadar telah menampakkan kecerobohan dirinya dengan tergesa-gesa menyajikan pendapat yang terkesan memprioritaskan teori dan mengesampingkan praktek. Meskipun di sebagian katanya ia tulis bahwa teori harus imbang dengan praktek. Bukankah hal ini seperti orang yang ingin mengetahui pembentukan undang-undang untuk alasan agar bisa mencari kelemahannya dan menghindar darinya? Tak cocok dengan kritiknya yang memojokkan terhadap Nahdlatul Ulama' yang belum ia ketahui seluk-beluk dan tata-cara mereka memahami agama. Satu bentuk kelemahan prioritas teori Bean.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Al Ahgaff tingkat 1, fakultas Syari'ah dan Hukum.

Selengkapnya....

ABDURRAHMAN AD DIBA`I




Sang Penyair yang Rendah Hati
(866 H. – 944 H.)
Oleh: Abu Yahya*

يا بدر تم حاز كل كمال # ماذا يعبر عن علاك مقالي
Wahai purnama yang memiliki segala kesempurnaan
Dengan ucapan apa bisa kuungkapkan kemuliaanmu

Maqbarah Syeikh Isma'il Jabarti (Zabid) yang di dalamnya terdapat maqam Abdurrahman Ad Diba'i

Pelantun syair pujian atas Nabi Muhammad SAW. yang lebih dikenal dengan Maulid Diba` ini, bernama lengkap Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Ahmad bin Umar Ad Diba`i Asy Syaibaniy, beliau juga dikenal dengan julukan Ibn Diba`. Sebenarnya kata "Diba`" adalah julukan (laqob) kakeknya yang bernama Ali bin Yusuf Diba` yang dalam bahasa Sudan berarti putih. Dalam kitabnya yang berjudul Bughyatul Mustafid, beliau menuliskan di bagaian akhir kitab tersebut tentang sekilas riwayat hidupnya. Disebutkan bahwa beliau dilahirkan di kota Zabid (salah satu kota di Yaman utara) pada sore hari Kamis, 4 Muharram, 866 H.

Sekilas Geografis Zabid
Zabid adalah salah satu kota tua yang terletak di Yaman utara. Sekarang kota Zabid termasuk dalam kawasan propinsi Hudaidah. Letak geografisnya berada di tengah-tengah lembah Zabid, yang berjarak 40 kilometer dari laut merah. Dahulu kota Zabid dikenal juga dengan nama "Hushoib".
Zabid merupakan salah satu kota pusat keilmuan di Yaman, di mana sejarah mencatat banyak ulama-ulama dari berbagai penjuru belahan dunia yang datang untuk menuntut ilmu atau sekedar mencari sanad hadis di kota ini. Bahkan tak jarang dari mereka yang akhirnya enggan kembali ke daerah asalnya dan memilih untuk tinggal di kota Zabid sampai akhir hayatnya.
Kota ini sudah dikenal sejak masa hidupnya Nabi Muhammad SAW, tepatnya pada tahun ke-8 Hijriyah. Di mana saat itu datanglah rombongan suku Asy`ariah (di antaranya adalah Abu Musa Al Asy`ari) yang berasal dari Zabid ke Madinah Al Munawwaroh untuk memeluk agama Islam dan mempelajari ajaran-ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka, Nabi Muhammad SAW. berdoa memohon semoga Allah SWT. memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al Baihaqi). Dan berkat barokah doa Nabi, hingga saat ini, nuansa tradisi keilmuan di Zabid masih bisa dirasakan. Hal ini karena generasi ulama di kota ini sangat gigih menjaga tradisi khazanah keilmuan Islam.
Di Zabid terdapat masjid Asya`ir yang dibangun sejak tahun ke-8 Hijriyah, masjid yang dibangun oleh Abu Musa Al Asy`ari ini merupakan salah satu dari ketiga masjid yang dibangun oleh sahabat Nabi di Negeri Saba' (Yaman).

Masa Kecil Ibn Diba`
Pengarang Maulid Diba`i ini lahir ketika ayahnya sedang bepergian, dan sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syeikh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu. Meskipun demikian, ketiadaan sosok ayah tidak menjadi penghalang bagi Ibn Diba` untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama besar Zabid.
Semenjak kecil, Ibn Diba` sudah sangat giat dalam menimba ilmu kepada para ulama. Beliau belajar membaca Al Quran dibawah bimbingan Syeikh Nuruddin Ali bin Abu Bakar lalu berpindah kepada mufti Zabid Syeikh Jamaluddin Muhammad Atthoyyib yang masih terhitung pamannya sendiri. Setelah gurunya melihat bakat kecerdasan istimewa yang dimiliki Ibn Diba`, maka sang Mufti menyuruhnya untuk membaca Al Quran dari awal hingga akhir. Berkat kecerdasan dan ketekunan, beliau sudah bisa menghafal Al Quran saat masih berusia sepuluh tahun.
Tak lama setelah beliau berhasil menghatamkan Al Quran, Ibn Diba' mendengar berita duka bahwa ayahnya telah meninggal dunia di salah satu daerah di daratan India. Beliau mendapatkan harta warisan sebanyak 8 Dinar. Meninggalnya ayah beliau tak memadamkan motivasi Ibn Diba` dalam menuntut ilmu, malah sebaliknya beliau makin semangat. Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk belajar ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih, dengan masih di bawah bimbingan pamannya. Atas arahan pamannya, beliau disuruh untuk mengaji kitab Zubad (nadlom Fiqh madzhab Syafi`i) kepada Syeikh Umar bin Muhammad Al Fata Al Asy`ari.

Ibn Diba' Menimba llmu
Kemudian setelah menghatamkan kitab Zubad, dengan bermodal uang harta warisan yang didapat dari ayahnya, Ibn Diba` menempuh perjalanan jauh menuju tanah Haram Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, beliau disambut dengan berita duka bahwa kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal kakeknya, Ibn Diba` tinggal bersama pamannya sambil tetap mengkaji beberapa ilmu di bawah bimbingan pamannya.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah lagi untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah, Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al Muwattho` di bawah bimbingan Syeikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad Asy Syarjiy. Di tengah-tengah sibuknya belajar Hadis, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat Muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Tak puas dengan hanya belajar Hadis, Ibn Diba` lalu belajar Fikih dengan membaca kitab Minhajuttholibin dan Haawi Shoghir kepada Syeikh Jamaluddin bin Ahmad bin Jaghman dan membaca kitab-kitab hadis kepada Syeikh Burhanuddin bin Jaghman.
Pada tahun 896 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya. Beliau berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Setelah itu kembali lagi ke Makkah untuk menuntut ilmu Hadis kepada para ulama tanah Haram, di antara gurunya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Assyakhowi, seorang ulama Hadis yang tersohor kala itu.
Sepulang dari Makkah beliau mengarang kitab Kasyfu Al Kirbah dan Bughyat Al Mustafid. Karena kehebatan karangannya, beliau mendapat pujian dari Sultan Dzofir `Amir bin Abdul Wahab, dan memintanya untuk hadir ke istananya. Sulthan Dzofir lalu memberikan usulan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ada di kitabnya. Sebelum pulang ke Zabid beliau diberi hadiah sebuah rumah dan sepetak kebun kurma di kota Zabid. Dan Sultan tadi memintanya untuk mengajar ilmu Hadis di masjid Jami` Zabid.

Kebiasaan dan Karya-karya Ibn Diba'
Beliau adalah salah seorang ulama ahli Hadis yang terkemuka pada abad ke-9 H. kehebatannya dalam bidang Hadis telah diakui oleh para ulama, sehingga banyak yang datang kepadanya untuk meminta sanad Hadis dan mendalami ilmu Hadis. Meskipun demikian, Hal itu tak membuatnya berbesar hati, tapi sebaliknya dia makin tawaddlu` (rendah hati).
Ibn Diba' mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al Fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al Fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang. Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi, bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara, “ Wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah.” Lalu orang-orang bertanya, “Kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” Kemudian dijawab, "karena mereka sering membaca surat Al Fatihah".
Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik di bidang Hadis ataupun Sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i, Meskipun ada yang menisbatkan Maulid ini kepada Ibn Jauzi, hanya saja pendapat ini sangat lemah.
Di antara buah karyanya yang lain: Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Beliau mengabdikan dirinya hinga akhir hayatnya sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba'i wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat, tanggal 26 Rajab, 944 H.

*mahasiswa univ. Al Alhgaff tingkat dua
















Selengkapnya....

Takut '66 Vs Takut '09

Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada Dekan
Dekan takut pada Rektor
Rektor takut pada Assesor



Assesor takut pada departemen
Departemen takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
Dan
Mahasiswa takut pada dosen kala '66

Tarim, 24/04/2009
By: Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu.

Selengkapnya....

Dialog Bencana

Berita baru di koran pagi: kecelakaan pesawat, gempa bumi, angin puting-beliung dan banjir bandang. Seorang hamba mengadu pada Tuhannya mengharap keadilan.




Hamba : Tuhan, kemarin banjir, hari ini gempa. Besok ada...?
Tuhan : Besok ada...! ada..!
Hamba : Tuhan, apa?
Tuhan : Apa? Tu korupsi, suap, pemalsuan dan kekuasaan.
Hamba : Tuhan, kalau tsunami, lumpur lafindo, gempa bumi dan
longsor?
Tuhan : Oh itu..! itu nanti lagi, bulan depan.
Hamba : Tuhan, di mana?
Tuhan : Di mana? Di rumah-rumah kalian, pinggiran-pinggiran
kota, desa-desa permai dan kampung-kampung nun
jauh dari kota praja.
Hamba : Tuhan, kok tidak di gedung DPR yang merupakan ajang
KKN atau meja suap hijau pengadilan?
Tuhan : Di situ? Oh, tidak...!
Hamba : Tuhan, mengapa?
Tuhan : Mengapa? Karena kalian yang memilih mereka!!!

Tarim, 24/04/2009
By: Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu.


Selengkapnya....

Di Balik Perempuan Berkalung Sorban

Oleh: Chaery W.*
Agaknya sudah terlambat untuk ikut nimbrung mengkritisi alur film Perempuan Berkalung Sorban (PBS), produksi Starvision yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Sebenarnya, sebelum film ini berhasil di-download oleh teman-teman, saya sudah lama mendengar kontroversi seputar film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Abidah el-Khalieqy, penulis kelahiran Jombang, 1 Maret 1965.

Karena penasaran, saya membuka banyak blog yang memuat sinopsis PBS yang masih ramai dibicarakan orang kala itu di berbagai media, sampai-sampai Republika merasa perlu mengangkat topik ini tiga hari berturut-turut di halaman paling belakang. Setelah tahu ringkasan film ini, saya merasa biasa-biasa saja dan tak ingin berkomentar, tapi sehabis nonton sendiri filmnya saya tidak bisa menahan emosi. Ternyata film ini lebih dari apa yang saya bayangkan. Secara pribadi, saya tidak menolak PBS sepenuhnya. Malahan, saya agak condong pada perjuangan emansipan Annisah (Revalina S. Temat) yang senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita dan mencoba mengeluarkan mereka dari kungkungan lelaki. Annisahlah pemilik ide untuk membangun perpustakaan pondok guna menampung buku-buku umum, berusaha melepaskan ekonomi pesantren dari ketergantungan berhutang dll. Mungkin di situlah letak kelihaian sutradara yang berhasil menjadikan filmnya penuh kontroversi dan menarik untuk diikuti. Bagi mereka yang melihat sisi kegigihan Annisah yang begitu positif, tentu mereka akan pro dan memperjuangkan peredaran film ini, seperti Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Titie Said, staf ahli Departemen Agama Siti Musdah Mulia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta. Dan bagi mereka yang melihat pendiskreditan pesantren dan Islam dalam film tersebut, jelas akan menolak.
Hal ini masih dalam kerangka "war on ideas" (perang pemikiran), yaitu usaha untuk mendapatkan hati dan pikiran masyarakat Muslim khususnya, guna mengaburkan pemahaman mereka terhadap agamanya sendiri. Di saat para Islamist berusaha memperkenalkan pemahaman Islam Idiologis, yakni pemahaman Islam sebagai idiologi yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Para pelaku perang berbalik memperkenalkan Islam sebagai agama yang sadis, kolot, tidak manusiawi kepada masyarakat melalui berbagai sarana, dan dalam hal ini sastra dan budaya. Saya sendiri tidak bisa membayangkan apa tindakan orang Muslim abangan/awam setelah menonton film ini? Barangkali mereka akan semakin menjaga jarak dari pesantren dan menjauhkan anak-anak mereka dari lembaga sekaligus sistem pendidikan yang pertama kali diterapkan di Indonesia ini.
Bukan suatu yang aneh kalau PBS dalam versi novelnya yang pertama terbit pada 2001 ini diterbitkan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), LSM milik Nahdlatul Ulama Jogjakarta dan Ford Foundation (FF) yang keberadaannya di Indonesia sudah terlanjur menyandang image yang kurang bagus. LSM Barat semacam FF sudah seringkali mensupport LSM dan organisasi Indonesia yang terkesan nyleneh** . Abidah sendiri ketika diwawancarai juga berterus-terang, "Novel Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya lebih keras kritiknya (dari pada Geni Jora, novelku terdahulu, pen.) terhadap kitab kuning dan para kyai yang mereka adalah 'para penguasa' yang menciptakan pola pikir dan budaya."
Di sini saya tidak akan panjang lebar menceritakan sinopsis film yang mulai rilis di bioskop-bioskop tanggal 15 Januari 2009 ini, melainkan hanya ingin menyoroti potongan-potongan adegan yang merugikan pihak kita:
 Hukum Islam Tidak Relevan. Sang sutradara, Hanung Bramantyo, rupanya ingin menggugat salah satu produk ijtihad Imam Syafi'i yang madzhabnya menjadi simbol hukum Islam di Indonesia, lebih-lebih di kalangan pesantren salaf. Hanung ingin mengungkapkan, kawin paksa yang dilegalkan Islam tidak relevan untuk diterapkan di zaman modern ini, bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang ujung-ujungnya akan memusnahkan kebahagiaan wanita dalam rumah tangga. Seperti Annisa yang digambarkan sangat menderita dan sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, yang tidak luput dari kritikan adalah hukum poligami yang juga dilegalkan Islam. Kalau dalam filmnya terdahulu, Ayat Ayat Cinta (AAC), Hanung hanya mengkritik poligami secara halus. Kini, dalam PBS Hanung mempertegas kembali ketidakadilan gender itu dan lebih menampakkan bias negatif dari poligami. "Oleh karena itu saya membuat film ini untuk meletakkan kembali bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar," ujar ayah satu anak ini. Untuk lebih menampilkan keangkeran Islam, dalam PBS dibahas juga hukum pidana "rajam". Saya tidak tahu pasti, apakah praktik rajam dalam film tersebut dibuat secara sengaja seperti itu, atau karena faktor minimnya pengetahuan si pembuat film tentang Islam. Sudah maklum bahwa syarat-syarat untuk mempraktikkan hukum rajam sangat ketat sekali, tidak asal lempar batu. Di antaranya harus ada empat saksi laki-laki yang melihat langsung masuknya dzakar pezinah dalam farji. E.., di PBS ternyata ada kalangan pesantren yang menerapkan hukum rajam hanya dengan barang bukti: kurudung Annisah yang terlepas waktu berduaan dengan Khudlori (Oka Antara). Mungkin, adegan ini untuk menambah citra "ngeri" dalam hukum Islam, yang suka merajam pemeluknya.
 Kolotnya Pesantren. Di awal durasi, kita disuguhi sebuah adegan yang menggambarkan ketidakadilan perlakuan seorang kyai (Kyai Hanan yang diperankan Joshua Pandelaky) terhadap anak putrinya, Annisah. Misalnya, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi hanya ia berikan kepada dua putranya, dan tidak pada putrinya. Jelas hal ini merupakan warisan budaya Jahiliyyah yang Islam sendiri melarangnya. Yang lebih menyolok dalam memojokkan pesantren, pada adegan pembakaran buku-buku umum. Di situ, sutradara dengan apik menggambarkan kekonservativan pesantren era 80-an hingga 90-an. Para santri dilarang membaca buku-buku modern, kemudian dicekal dan dibakar bukunya bila ketahuan dewan pengurus. Sampai-sampai ada sekelompok santriwati (Ulfa dkk.) yang kabur ke Jogja menyusul Annisah untuk mencari kebebasan berpikir dan takut "kuper" kalau terus-terusan di pesantren. Belum lagi percakapan-percakapan dalam adegan tersebut, seperti kata Annisah, "Penjara lebih buruk dari pesantren." Yang semua itu memberikan konotasi yang tidak sehat terhadap lingkungan pesantren. Pada adegan lain, pemirsa akan dicekoki kesan buruk yang dialamatkan pada "gawagis" (single: gus). Gawagis di masa itu digambarkan sebagai pemuda urak-urakan, pemabuk, suka nonton BF dan bahkan menghamili anak tetangga di luar nikah, seperti Gus Syamsudin (Reza Rahardian). Atau digambarkan sebagai pemuda yang kolot, materialistis seperti kedua kakaknya Annisah. Bahkan diberi kesan seolah-olah mereka memimpin pesantren karena faktor ekonomi belaka, seperti sibuk bersaing gede-gedean komplek pondok guna berebut santri dengan pesantren lain.
Walaupun untuk penulisan novelnya, Abidah mengaku telah melakukan riset tentang hak-hak reproduksi wanita selama hampir dua tahun, kemudian riset lapangan selama tiga bulan di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang. Sesudahnya, mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian menuliskannya dalam novel selama sembilan bulan sehingga data dan fakta dalam karyanya tersebut dibilang otentik, saya masih kurang percaya bahwa di era 80-an terdapat pesantren dan gawagis seperti pesantren dan gawagis Al Huda yang diangkat sebagai topik utama dalam novel tersebut. Atau mungkin diskripsi pesantren salafiyah Al Huda yang dibuat menyimpang dari ajaran Islam itu muncul dari khayalannya belaka?!
Tak khayal, kalau PBS ujung-ujungnya menuai kritik dari berbagai pihak. Pengurus MUI yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub menyarankan agar PBS ditarik dari peredaran untuk diubah sejumlah adegannya. Hal senada juga diungkapkan oleh aktor senior Deddy Mizwar yang juga berstatus Kepala Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dan sineas senior Misbach Yusa Biran (suami aktris senior Nani Wijaya). Tak ketinggalan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring ikut menentang film tersebut. Namun, hemat saya, kecaman atau ancaman penarikan kembali PBS dari peredaran bukanlah solusi yang tepat. Karena bagaimanapun novel dan film PBS terlanjur beredar luas dan dikonsumsi masyarakat luas. Versi novelnya saja, awalnya dicetak 3000 eksemplar dan dibagikan gratis ke pondok pesantren dan organisasi Islam. Jadi selain mengecam, orang-orang kita setidaknya juga memunculkan novel atau film tandingan sebagai solusi riil untuk meluruskan kebenaran yang terplintir dan segera menyebarluaskannya ke khalayak umum. Mungkinkah?!

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.
** Sebelumnya FF pernah bekerjasama menerbitkan buku yang aslinya hasil disertasi Greg Barton tahun 1995 yang berjudul "Gagasan Islam Liberal di Indonesia", FF pula yang menyumbang uang sebesar 1 juta dollar kepada International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Selengkapnya tentang FF lihat: www.fordfound.org/regions/indonesia/fields/id

Selengkapnya....

Pada?

Yang aku takut… neraka?
Yang aku khawatir… siksa?
Yang aku cemas… mara?
Yang aku cinta… jelita?



Yang aku rindu… surga?
Yang aku mau… cinta?
Yang aku cari… cita ?
Yang aku cita… bahagia?
Yang aku tunggu… mana?
Yang aku emis… harta ?
Yang aku lupa… kurnia ?
Yang aku ingat… siapa ?
Yang aku malu… pada ?
Pada… Engkau !!!
Tarim, 24/04/2009
Oleh: Tholib Mustawa Awal D

Selengkapnya....

Integritas Dalam Berukhuwah

Oleh: Ibnu R.*

Sejarah telah mencatat, bahwa kaum muslimin berhasil tegak di panggung kehidupan memimpin dan membimbing umat manusia sekaligus pula menentukan perputaran arah jarum sejarah. Di bawah naungan sistem Islam, umat manusia hidup dalam suasana damai dan penuh rahmat untuk masa yang cukup panjang dan mampu menghimpun dan mengintegritasikan kekuatan dan langkah sehingga sanggup tampil terdepan memimpin umat yang lain.

Hal ini bisa terjadi karena ada dua elemen penting yang menjadi landasan kekuatan kaum muslimin, yaitu ukhuwah. Namun ukhuwah juga harus dilandasi dangan aqidah yang menjadi ideologi dan faktor pemersatu. Aqidah dan ukhuwah ini tidak dapat dipisahkan atau diceraiberaikan. Diantara keduanya terdapat ikatan kuat yang tanpa adanya yang satu maka tidak ada pula yang lain, karena ukhuwah antara dua orang yang saling berbeda aqidah dan pemikiran adalah mimpi dan khurafat, apalagi jika aqidah dan pemikiran tersebut akan melahirkan perilaku tertentu dalam kehidupan nyata. Bukan ukhuwah namanya bila tidak bersandarkan tehadap aqidah, begitu aqidah juga tidak ada artinya apabila tidak bisa menciptakan dan melahirkan ukhuwah. Aqidah dan ukhuwah adalah dua sejoli yang harus seiring, senada, dan sejalan seperti yang difirmankan oleh Allah:
إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم.
Nah, penyajian dua faktor sekaligus keterangan Al Quran serta fakta sejarah membuktikan akan universalitas ukhuwah islamiyah, seperti juga aqidah merupakan tali pengikat yang bersifat menyeluruh, integral dan abadi melampaui batasan primordial seperti: sukuisme, bangsaisme, kerabatisme, rasisme dan sebagainya. Karena itu, kalau ada pihak-pihak tertentu yang dengan terang-terangan melokalisir ukhuwah itu artinya sama dengan menentang Islam dan Al Qur'an, bahkan lebih parah lagi hal itu juga menghina Allah dan Rosul-Nya.
Jadi perlu ditegaskan di sini, bahwa dalil syariat dan sejarah telah menegaskan bahwa ukhuwah harus berlandasan aqidah, bukan yang lain. Karena itu tidak ada ukhuwah basyariyah, ukhuwah nisbiyah, ukhuwah wathoniyah dan lain sebagainya.
Tapi perlu di ketahui wahai orang yang sombong, dengan itu bukan berarti Islam menafikan persaudaraan antar suku, qobilah dan bangsa sebagaimana firman Allah:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم.
Jadi apapun sukunya, qobilahnya, bangsanya dan bahasanya selama mereka beraqidah islamiyah mereka tetap bersaudara. Hanya saja ada sebagian orang dan golongan yang tak mau menerima dan menganggap saudara karena berbagai alasan yang tak ada artinya. Misalnya karena berbeda kulit, berbeda cara omongnya, berbeda tempat tinggalnya dan lain sebagainya yang semua itu hanya dimiliki dan diungkapkan oleh orang yang sombong dan congkak. Coba kalau kita sedikit bertadabbur terhadap firman Allah yang berbunyi:
ومن آياته خلق السموات والأرض واختلاف ألسنتكم وألوانكم إن في ذلك لآيات للعالمين.

Loyalitas Berukhuwah
Setelah kita tahu bahwa berukhuwah itu harus berlandasan aqidah, bukan berarti setelah itu kita lepas dari tanggungjawab. Kita harus saling mengerti sikap dan keadaan saudara kita yang berlainan kulit, suku, ras dan bahasa. Tidak saling menyakiti, mencela apalagi menghina antara satu sama lain yang nantinya akan berdampak terhadap perpecahan, karena kita tidak tahu siapa sebenarnya yang lebih baik di antara kita.
يا أيها الذين أمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم.
Dan kita harus saling menjaga persatuan, jangan karena ada pemilu dan lain sebagainya yang bersifat sementara lalu kita mengorbankan dan memutuskan persaudaraan kita.

*mahasiswa univ.Al Ahgaff tingkat dua

Selengkapnya....

What Should We Do to Face the Social Complex?!

Oleh: H20 Wangi*
Dalam pandangan sosial, manusia bisa dibilang hidupnya bahagia ketika dalam hubungan sosial tidak ada kesenjangan. Setiap individu memang mempunyai tabiat, yang mana antara satu individu dengan lainnya sangat berbeda. Di lain sisi, manusia dituntut untuk mengorbankan keinginannya demi kebahagiaan orang lain atau demi menjaga keutuhan dan keseimbangan dalam hubungan social.

Apalagi dalam konteks negara kita, yang notabene sangat majemuk dalam setiap sisinya, tiap orang mempunyai kepentingan masing-masing, dan bagi kita pun dilarang intervensi dalam masalah atau kepentingan orang lain. Di sini jangan sampai disalahartikan, bukan berarti ketika semua orang mempunyai jalan yang berbeda dalam kehidupan lalu kita apatis dan tidak peduli dengan sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, namun lebih jauh lagi kita harus peduli dan tanggap terhadap kondisi social kita. Ketika di sekitar kita ada sesuatu yang kurang beres atau ada seseorang yang membutuhkan pertolongan sebisa mungkin sebelum kita diminta pertolongan kita bergerak lebih dulu, hal ini sesuai dengan firman Allah :
"وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان".
Nah, dari ayat ini bisa dipetik manfaat, walaupun kita diwajibkan saling tolong-menolong, toleransi dan tidak boleh acuh tak acuh, namun semua itu ada batasnya, yaitu selama hal itu baik dan tidak ada unsur prinsip dalam agama.
Di sini saya lebih terfokus pada pembahasan yang kedua, yakni bagaimana sikap kita seharusnya dalam menghadapi kepluralitasan dalam agama. Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang diakui secara formal oleh negara. Ada enam agama yang diakui secara formal oleh negara yang terakhir adalah Konghucu, yang mana menurut surat edaran tanggal 24 Februari 2006, agama ini resmi diakui oleh pemerintah dan mempunyai kebebasan untuk dilaksanakan oleh umatnya. Serta dilindungi oleh hukum sejak 1 April 2006. Dalam menyikapi kemajemukan ini, apakah kita, umat Islam harus memaksakan kehendak kita agar semua orang masuk Islam? Apakah dengan nama amar ma'ruf nahi mungkar lantas kita diperbolehkan berbuat semau kita untuk mendapatkan tujuan kita?. Tentunya tidak. Akhir-akhir ini banyak sekali kerusuhan dengan dalih atas nama agama, saya pribadi sangat tidak setuju ketika ada pertentangan antara kelompok dan menjurus ke arah destruktif lalu mereka dengan seenaknya menggunakan agama. Agama mana yang mengajarkan seperti itu? Dalam Islam memang dikenal amar ma'ruf nahi mungkar, namun semuanya itu ada regulasi-regulasi yang mengaturnya. Walau amar ma'ruf dalam agama adalah pilar pertama dan terpenting, karena tanpa itu agama akan sirna. Tapi kita juga tidak boleh dengan alasan itu lantas berbuat semena-mena dan mengenyampingkan sikap toleransi dalam agama. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu golongan umat yang menyeru pada kebajikan dan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung." (Qs: Ali imron: 104)
Dari ayat di atas, kita tahu bahwa amar ma'ruf itu wajib hukumnya. Sebab menurut dhohirnya, bentuk amar menunjukkan pada arti wajib. Hal ini sesuai dengan qoidah usul:
(الأمريقتضي الوجوب بوضع اللغة).walau di situ masih ada pertentangan ulama'.
Dalam amar ma'ruf harus melihat akibat yang ditimbulakan, maka dari itu amar ma'ruf yang hukum asalnya wajib bisa berubah menjadi tidak wajib bahkan haram jika hal itu mengakibatkan dampak yang negatif terhadap orang lain, hal ini sesuai dengan qoidah: "الضرر لا يزال بالضر".
Imam Al Ghozali di dalam kitabnya ihya' ulumuddin menjelaskan tentang sistematika amar ma'ruf nahi mungkar, yaitu:
1. Pemberitahuan, karena kadang-kadang orang melakukan kemungkaran mereka tidak tahu kalau hal itu mungkar. Dalam step ini dilakukan dengan pemberitahuan yang baik.
2. Memberi nasehat.
3. Memberi kecaman dan celaan.
Cara ini ditempuh ketika setelah diberi nasehat dengan baik namun tetap saja tidak mempan. Walaupun begitu yang dimaksud celaan ini bukanlah kata-kata yang sardonis dan mengandung kebohongan, namun sebatas ungkapan, seperti: wahai orang yang fasik dan lain sebagainya.
4. Mencegah secara paksa.
5. Mengecam dan memaksa dengan kekuatan fisik, namun perlu digaris bawahi, cara ini merupakan alternatif yang terakhir ketika tidak ada cara yang lain yang digunakan. Selama masih ada cara yang lain maka cara kekerasan ini sangat dilarang oleh Islam, dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menjelaskan bahwa amar ma'ruf itu seyogyanya dilakukan dengan ma'ruf, tidak dengan paksaan.
Kembali pada realitas di Indonesia. Indonesia bukanlah negara Islam, di dalamnya menggunakan hukum pancasila yang mana digunakan pedoman oleh masyarakat Indonesia, temasuk juga dalam hal kebebasan beragama. Maka di sana bagi warga negara Indonesia dilarang memaksakan agama dan mencela agama-agama yang lainnya. Allah memang menjadikan manusia di bumi ini berbagai kelompok, golongan dan agama. Namun Allah juga membebaskan manusia uintuk memilih agama dan keyakinan masing-masing dengan segala resiko atas pilihannya. Manusia bebas memilih masuk surga atau neraka dengan pilihannya sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam." (Qs. Al-baqoroh: 256). Juga dijelaskan dalam surat yunus ayat 99, At-taqobut: 12 dan As-syajadah.
Mengacu pada maksud ayat di atas, bahwa kewajiban umat Islam bahkan Rasul adalah menyampaikan ajaran. Dan ajaran Islam bukan memaksakan terhadap orang lain, karena hidayah itu kewenagan Allah. Jika kita sudah menyampaikan kebenaran dan amar ma'ruf, namun ternyata mereka menolak berarti mereka sudah siap akan segala resikonya.
Nah, dari semua paparan di atas saya simpulkan bahwa standar Islam adalah rahmatan lil alamin. Marilah kita tetap berdakwah namun dengan cara yang ma'ruf. Kita harus meyakini kalau keyakinan kita adalah paling benar, namun di samping itu jangan sampai kita mengolok-olok agama lain apalagi memaksakan kehendak kita. Wallahu a'lam.
"To say is easy, but to do is very-very difficult. So, we have to struggle to do what have we said."

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu

Selengkapnya....

SIAPA YANG SALAH ?

Oleh: Em. Istova*

Setiap orang yang merasa dirugikan, kalah dan lain sebagainya pasti akan bertanya dan mencari-cari apa penyebab dari ini semua. Jika memang ada yang salah, siapa dan apa yang salah?. Dari sinilah Allah SWT. sering mengingatkan hamba-Nya dengan beragam bencana dan kesengsaraan bukan agar hamba itu binasa namun supaya hamba tersebut intropeksi diri tentang perbuatan yang telah telah dikerjakan.

Esensi dari beruntunnya ujian dan cobaan adalah intropeksi, muhasabah al-nafs untuk menuju sebuah kehidupan baru yang lebih baik, namun hal itu semua harus disikapi dengan bijak agar kita dapat menempatkan sesuatu pada porsinya masing-masing.

Saat ini, Islam dan umat Islam berada dalam keterpurukan dan keterbelakangan dalam segala bidang, baik dalam bidang ekonomi, social, politik, pendidikan, tekhnologi dan lain sebagainya. Islam dan umat Islam tidak mampu menyaingi hegemoni Barat yang merambah masuk dalam sendi-sendi Islam itu sendiri dan mencoba merongrong eksistensi Islam. Banyak sudah hal-hal buruk yang kita saksikan yang menimpa umat Islam saat ini, yang paling mencolok adalah ketidakmampuan umat Islam untuk menerapkan hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. di indonesia saja contohnya, banyak sekali hal yang sudah di-nash dalam al-Qur’an dan al-Hadits namun masih saja menjadi perdebatan dalam penerapannya, seperti RUU pornografi dan pornoaksi, terlebih lagi tentang UU zakat nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, disebutkan di sana bahwa pembayarannya hanya diserahkan atas dasar kesadaran dan tidak ada sanksi. Tentu kita tahu, apa dampak dari penerapan undang undang ini, mulai dari disahkannya undang-undang tersebut sampai saat ini pengelolaan zakat mulai dari pengumpulan dan pendistribusian menjadi tidak maksimal. Akibatnya kita tidak usah heran jika beberapa waktu lalu di Pasuruan ada orang yang mati akibat berdesak-desakan mendapatkan zakat. Andai saja dalam hal ini pemerintah benar-benar mengatur masalah zakat, saya yakin hal ini tidak akan terjadi. Ini merupakan salah satu kelemahan dan kekalahan kita sebagai umat Islam. Sudah jelas dalam kitab-kitab fikh yang kita pelajari, bahwa setiap ibadah yang mengandung nilai-nilai sosial-masyarakat tentu penerapannya tidak akan bisa maksimal kecuali dengan adanya intervensi dari pemerintah sehingga kita perlu adanya apa itu fikh daulah, namun agaknya hal ini selalu ditentang oleh kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang demokrasi dan pembela hak-hak rakyat kecil yang selalu berdalih agar urusan agama biarlah menjadi hak dan privasi individu tanpa ada paksaan dan campur tangan Negara. Padahal sahabat Abu Bakar Al Shiddieq RA. sewaktu menjabat sebagai khalifah saja memerangi orang yang tidak mau membayar zakat lantas mengapa pemerintah tidak menerapkan hal yang sama? Kira-kira di mana letak perbedaan yang substansial antara sekarang dan zaman dulu dalam hal ini? Mata hati mereka telah buta dan tertutup untuk melihat kebenaran yang benar-benar terang seterang matahari yang bersinar di siang bolong.
Di Indonesia sering kita dengar bahwa telah diterapkan syari’at Islam, buktinya memang tidak pernah ada peraturan yang melarang sholat, zakat, puasa dan haji, namun di Indonesia juga tidak ada tindakan tegas bagi orang yang melanggar norma-norma yang telah menjadi keyakinan mereka. Selama ini, kita tidak pernah melihat ada orang yang dihukum gara-gara tidak mau membayar zakat, padahal dengan hal ini, secara langsung negara telah menggugurkan hak-hak rakyat miskin yang mestinya mereka dapatkan. Namun kita tidak bisa berbuat lebih untuk memperjuangkan nasib mereka yang miskin karena masyarakat Indonesia memang memilih hal ini.
Inilah yang saya sebut sebagai bentuk kekalahan kita, Islam, sebagai sebuah potret buram umat Islam Indonesia khususnya. Dampak dari tidak adanya ”pedang” di negara kita, masyarakat kita setiap harinya selalu mendapatkan pemahaman liberal dan toleransi yang menjadikan mereka banci dan serba salah dalam mengambil sikap, yang menjadikan mereka tidak berdaya bahkan untuk menerapkan apa yang telah menjadi kewajiban mereka.
Dari sini Allah SWT. sedang mengajak berbicara pada masyarakat Indonesia tentang apa itu arti taat kepada Allah SWT, apa itu arti penghambaan diri dan apa itu arti Islam secara total (kaaffah).
Apa yang akan kita lakukan dalam mengatasi keterpurukan ini? Apakah kita akan mencari-cari kesalahan orang lain? Apa kita akan menuding kelompok non-Muslim sebagai penyebab keterpurukan kita? Dan apakah menuding tersebut memang diajarkan oleh Islam? Menurut saya jawabannya adalah langkah pasti dan tidak menyalahkan siapapun kecuali diri sendiri.
Siapapun yang hanya berandai-andai saja untuk keluar dari keterpurukan maka selamanya dia tidak akan pernah keluar dari keterpurukan itu, karena sesuatu itu didapat tidak hanya dengan berpangku tangan, langkah pasti kita sebagai umat Islam sangat fariatif menyesuaikan dengan kemampuan kita. Jika kita menjadi pedagang, maka kita bisa melakukan langkah pasti itu dengan menerapkan apa yang telah diajarkan Islam yang tertuang dalam fikh perdagangan, jika kita seorang negarawan atau politikus, maka kita bisa melakukan langkah pasti dengan mengupayakan diterapkannya apa yang telah menajdi ketentuan kita untuk menerapkannya dan begitulah seterusnya. Point yang paling penting yang saya tekankan di sini adalah bukan berpangku tangan menunggu keajaiban datang.
Islam dari dulu sampai sekarang tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk mengkambinghitamkan orang lain, baik itu Muslim maupun non-Muslim, siapa pun yang menuduh bahwa umat Islam dulu maupun sekarang sukanya menyalahkan orang lain atau non-Muslim maka hal ini adalah --meminjam istilahnya Habib Salim—"wahm". Sedangkan wahm bukan hakikat, berarti penuduh tersebut tidak mengetahui hakikat, tidak memahami sejarah yang terjadi dalam umat Islam dan tidak pernah paham dengan ajaran Islam. Dalam banyak kesempatan di al-Qur’an baik secara tegas maupun kiasan Allah SWT. telah menyinggung hal ini, seperti tidak diperbolehkannya menganggap baik pada diri sendiri dan lain-lain. Pada kesempatan ini saya kembali menegaskan bahwa salah itu adalah salah kita sendiri, mengapa hanya mlongo saja hak-hak kita dirampas, bahkan fatalnya lagi tidak sedikit dari kita yang malah mendukung hal ini baik secara langsung atau tidak langsung. Semoga Allah menyadarkan mereka sehingga kembali pada jalan yang lurus.
Jika kita kembali pada fakta sejarah perang Uhud, dalam perang ini kaum Muslimin melalui dua fase, fase pertama konsistennya kaum Muslimin dengan perintah Nabi SAW. yang membuahkan kemenangan, hal ini seperti yang diabadikan Allah SWT. dalam firmannya:
ولقد صدقكم الله إذ تحسونهم بإذنه. (آل عمران 3\152)

Fase kedua, yaitu insubordinasi kaum Muslimin terhadap apa yang telah ditetapkan dan diatur oleh Rasulullah SAW, hal inilah yang kemudian membuahkan kemunduran dan keterpurukan kaum Muslimin, tak terkecuali Nabi sekalipun ikut terkena dampak atas kelalaian ini sebagaimana yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an:
حتى إذا فشلتم وتنازعتم في الأمر, وعصيتم من بعد ما أراكم ما تحبون, منكم من يريد الدنيا ومنكم من يريد الآخرة ثم صرفكم عنهم ليبتليكم ولقد عفا عنكم. (آل عمران 3\152)

Kemunduran demi kemunduran akan dituai oleh kaum Muslimin sebagai efek atas pelanggaran terhadap kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT. melalui utusannya, dan kemenangan demi kemenangan akan diraih dengan kembali pada apa yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah SAW. dari Allah SWT. Wallahu a’lam bisshowab.

*Penikmat Syariah dan Qonun semester IV


Selengkapnya....

Jati Diri

Oleh: The Hunter
Sory…
Kuberkata dalam hati

Karena aku
Aku adalah pribadi sejati


Yang hidup bukan dengan mimpi
Bukan pula 'tuk bermimpi

Karena aku
Aku bukan sebatang lilin
Yang jalani hidup membakar diri
Bukan pula sebatang duri
Yang menusuk dan menyakiti
Karena aku
Aku adalah pengembara sejati
Yang mencari-cari
Mencari, ku dan mencari

Di manakah jati diri?!!
Insyaallah!!


Selengkapnya....

Jauh

By: Ashab Royatissuud*

Ketiadaanmu dalam waktu
Memaksa raga dan jiwanya menjauh, menyepi
Tenggelam di antara masa membentang


Seakan-akan mereka tak pernah ada kemarin
Hatinya nikmati kesendirian ini

Sayup-sayup senandung lagu menyayat, mengiang
Sadarnya tiba-tiba dikembalikan pada sebuah ruang
Saat rasa membangun angan-angan
Saat asa menunggumu datang
Di sebuah ruang
Saat pagi sendu mencengkeram

Ruang ini lengang…!
Tak ada yang berubah seperti kala itu
Ingatannya coba menangkap bayang-bayang
Lama ia paksa… tak ia dapat
Hanya sebuah nama tanpa rupa
Remang mulai terlihat
Engkau impian terbaiknya

Keriduan memuncak menambah keringnya angan
Semakin meluap membalut kalut
Matanya gamang memandang
Menatap bedakan kenang dan siang

*mahasiswa univ. Al Ahgaff tingkat dua

Selengkapnya....

Dosa

Oleh: Cohv*
Ini dosa
Cukup buatku putus asa
Ingin menggali kubur



Tidur tanpa bangun melebur
Andai saja hilang rasa
Dan tak peduli akan siksa

Tuhan; kuiman Engkau Esa…
Maka ampuni semua dosa
Benahi apa yang sisa
Sebelum aku direnggut masa

* mahasiswa univ. Al aAhgaff tingkat dua

Selengkapnya....

Rangkaian Kehidupan

Oleh: Makrufi Syuaib*
Teman…! kita seringkali menganggap dunai ini sebagai sesuatu yang sulit, dan kita merangkainya dengan hati penuh pilu. Dengan kata lain, dunia bagi kita bagaikan benang yang kusut yang penuh dengan keruwetan.




Namun, kalau kita melihat sisi lain dunia, ada banyak keindahan yang hadir di sana dan juga ada banyak kesenangan yang mampu diwujudkan asalkan kita mau melihat dengan tekun dan jeli. Begitu juga dengan kegagalan yang menimpa kita seringkali kita jadikan kegagalan tersebut sebagai alasan untuk berhenti melangkah, padahal kalau kita bersikap seperti itu, bisa jadi kita dikatakan orang yang keliru, sebab kegagalan adalah sebuah cara Allah SWT. dalam mengajarkan kepada kita tentang arti kesungguhan. Kegagalan adalah sebuah usaha yang tak akan pernah berakhir dan sebuah pelajaran tentang bagaimana meraih sebuah harapan yang sudah lewat.

Memang tak ada kesuksesan yang diraih dalam waktu semalam, oleh sebab itu, yakinlah dengan kesabaran yang kita jalani, kita akan meraih semua harapan dan impian kita. Karena setiap makhluk mempunyai keunikan masing-masing, Allah menitipkan sepasang sayap pada burung untuk terbang dan mengamanatkan sepasang sirip kepada ikan agar bisa berenang.
Begitupun dengan kita, Allah menitipkan kepada kita tubuh yang sempurna, pikiran yang cerdas dan beragam kemuliaan yang kita miliki. Tapi Alllah menyandingkan semua itu dengan cobaan, tantangan, hambatan dan dengan ujian buat kita.

Itu semua adalah bagian dari perjalanan kita dalam belajar dan berusaha serta merupakan rencana Allah untuk kita, agar memahaminya terhadap apa yang terjadi di sekitar lingkungan kita. Layakkah kita untuk berhenti? Pantaskah kita mudah mengeluh? Jawabannya ada pada hati kita sendiri. Dan saya yakin semua ujian itu adalah rahasia Allah agar kita makin sempurna, pemikiran kita semakin terbuka dan kemuliaan kita semakin nampak.

Jadi, rangkaian gambar dunia ini mana yang akan kita susun? Dunia yang penuh angkara atau dunia yang penuh cinta? Dunia yang penuh duri atau dunia yang penuh peduli? Kita sendirilah yang akan merangkai potongan-potongan gambaran itu.

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff mustawa awal

Selengkapnya....

Tanggapan…

Kamis, 23 April 2009
Oleh: H2O Wangi*

Makalah yang didiskusikan dalam kajian ilmiah pada hari Jum`at, 24 April 2009 yang disampaikan oleh M. Birrul Alim dengan judul Islam, Demokrasi dan Kesetaraan Manusia.




Pada dasarnya manusia adalah sama derajatnya di sisi Allah SWT. sama-sama makhluk Allah, sama-sama ciptaan-Nya yang lemah dan tak berdaya. Tidak mengetahui apa-apa dan yang jelas tidak berhak menjudge terhadap sesamanya bahwa dia lebih sempurna, lebih baik dan mengganggap yang lainnya rendah dan dalam jalan yang salah. Karena apa?, karena kita sama-sama makhluk-Nya. Yang membedakan adalah ketaqwaan kita terhadap Sang Pencipta.
Kita sebagai manusia tidak diperintahkan untuk benar, tetapi kita diperintahkan untuk selalu berbuat benar dengan berpegang teguh pada al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW.
Islam adalah agama rahmatan lil `alamin tiada paksaan untuk masuk Islam, La ikraaha fi ad-diin. Dan Islam pun juga tidak membiarkan orang terjerumus dalam kesesatan. Kita dianjurkan untuk mengajak kepada kebaikan, namun tentunya dengan cara-cara yang makruf pula. Islam tidak memperbolehkan kita berbuat seenaknya sendiri demi memperoleh tujuan; dalam hal agama pun seperti itu, apalagi dalam cabang-cabangnya?!. "Namun", dengan tanda kutip, selama kita masih bisa mengusahakan dengan cara-cara yang baik, maka selama itu pula kita tidak diperbolehkan berbuat seenaknya sendiri.
Islam juga agama yang warna-warni, dalam artian meskipun Islam satu adanya tapi masing-masing pemeluknya mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang Islam. Mungkin dikarenakan kadar ilmu dan pemahamannya yang berbeda, atau bisa juga karena kurangnya wawasan, karena Islam itu luas, tak sesempit apa yang kelihatan di depan mata kita. Maka dari itu, dalam pemahaman dan penerapan suatu hukum dalam Islam kita perlu memahami apa syarat-syarat yang ada di dalamnya dan tidak meninggalkan tinjauan sosiologi-antropologis suatu masyarakat. Seperti yang ditulis oleh M. Birrul Alim, sistem demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi yang "bobrok" dan dijustifikasi sebagai sistem "kafir" karena tidak sesuai dengan mabda` syuro yang ada dalam masa Nabi dan setelahnya pada masa silam. Lebih jauh lagi sistem demokrasi adalah over toleran antar umat beragama. Penanggap bingung, tendensi apakah yang beliau pakai, jangan-jangan karena kurang telitinya dalam memahami teks atau kurang pahamnya realita yang ada yang menuntut seseorang paham akan hal itu. Sebetulnya bicara masalah demokrasi dalam konteks kekinian tidak relevan lagi alias ketinggalan jaman atau "Miss tomorrow", toh seperti yang dikatakan oleh Asef Bayat, Direktur baru ISIM (Internasional Institute for the study of Islam in the Modern World) bahwa dunia Islam khususnya negara Arab dan Timur Tengah sedang "in the process of democracy". Kesimpulan ini bukan semata-mata pandangan tanpa patokan. Lebih jauh lagi, kesimpulan Bayat ini didasarkan pada riset tentang "Post Islamist" belum lama ini.
Yang pasti demokrasi adalah opsi terbaik yang ada saat ini, bila dihadapkan pada masyarakat yang plural dan berbeda-beda ini. Sistem ini didasarkan atas partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung tinggi kebebasan berpikir, sipil dan saling toleransi. Bukankah semua itu adalah anjuran agama Islam yang di dalamnya sangat menjunjung tinggi kebebasan?. Namun kita juga tidak tutup mata bahwa dalam kebebasan itu juga ada dhowabith-dhowabith yang tak boleh di terjang. Rasulullah SAW. adalah seorang yang sangat demokratis. Beliau adalah sebagai lambang demokratisasi Islam. Selain itu dalam al-Quran pun sudah disebutkan dalam surat as-Syuro: 38 yang artinya: "Sedang mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka"; surat al-Imran: 159, : "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"….dst. Nah, dari sini kita lihat dalam memutuskan setiap masalah sebaiknya kita dituntut bermusyawarah terlebih dahulu, sedangkan kita tahu mabda` syuro ini salah satu landasan demokrasi yang ada, walau saya tidak memungkiri dalam setiap sistem pasti ada kelemahannya atau kelebihannya; adakalanya dalam praktek atau dalam sisi-sisi yang lain. Namun, apakah dengan itu, lantas kita menjudge sistem- sistem itu bobrok?.
Bukankah inilah arti Islam itu elastis dan rahmatan li al-` alamin yang menjunjung tinggi sikap toleransi selama tidak dalam hal yang intim dalam hal agama. Misal kita diharuskan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen seperti pergi ke gereja di hari minggu. Hal in jelas bukan arti solidaritas atau toleransi antar umat beragama. Namun, yang dimaksud di sini adalah kita tidak mengganggu mereka dan tidak memaksakan apa yang kita anggap benar. Karena dalam Islam itu tidak ada paksaan. Lebih jauh lagi di situ ditulis: "Demokrasi menyetarakan kedudukan antara umat Islam dan umat selain Islam, yaitu mempunyai hak dan kewajiban yang sama……". Ingat! Kita berbicara dalam ranah "demokrasi" bukan dalam ranah ketuhanan… Bukankah kita memang harus tidak boleh membedakan antara hak dan kewajiban antara Islam dan bukan Islam atas nama negara dalam konteks "Indonesia". Masyarakat Indonesia sangat beracam-macam; ada Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dsb. Akan jadi apakah Indonesia jika setiap warganya yang berbeda-beda agama dibedakan juga hak dan kewajibannya?. Padahal kita hidup pada satu negara dan sekali lagi, ini bukan ranah "ketuhanan" tapi ini urusan duniawi. Sungguh pribadi saya terkesan banget sama makalah saudara M. Birrul Alim tapi terkesannya kok masih ada orang yang berpandangan seperti ini. Saya berharap selain punya konsep anda diharuskan juga mempunyai solusi yang tepat. Bukan memberi konsep saja namun tanpa solusi, karena semua orang bisa mengerjakan hal itu.
Akhirnya, kesempurnaan, kebenaran mutlak adalah hanya milik Allah semata dan kelemahan adalah milik kita….
"Don't think you are the best, but think we are the same and we have to do the best for all side".

*Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu.

Selengkapnya....

'PESANTREN' VS ARAB

Oleh: Muhammad bin Naufal*

Terkadang realita itu membuat kita terkecoh. Tak jarang seorang yang mulanya rajin ibadah, tersandung dengan realita akhirnya dia mengesampingkan ibadahnya dan diganti dengan bekerja. Tak sedikit pelajar yang rajin dan sering mendapatkan 'medali' penghargaan, harus berbalik setir untuk bekerja dikarenakan realita yang memaksa. Dan hal ini tidak dapat dipungkiri dengan mudah. Bisa dikatakan bahwa realita adalah 'si pemaksa ulung'.

Di saat zaman modern ini, banyak realita yang menuntut untuk instant. Sarana dan prasarana dicurahkan untuk menginstankan semua hal. Mulai diciptakan mi instant yang siap saji hanya dengan beberapa menit saja, ada kereta yang berkecepatan tinggi, tentunya ini akan menginstankan waktu. Instant dan efesien merupakan ukuran masa sekarang. Dan tak ketinggalan pula, kurikulum pendidikan diolah se-instan dan se-efesien mungkin. Kursus kilat, les-les dan tetek bengeknya dimunculkan dan tak lain alasannya agar instant dan efesien waktu.
Diantara lembaga pendidikan yang mulai "terkena polusi", yakni terpengaruh realita ini adalah pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga tertua di Indonesia yang menelorkan pejuang-pejuang saat masa peperangan, mencetak kader yang dapat mewarnai bangsa. Lembaga ini pun mulai banyak menuai kritik dikarenakan tidak sesuai dengan realita, dan tidak relevan. Tidak relevan disini ditujukan pada metode pendidikan, bukan ajaran. Metode atau manhaj ta'lim dan ta'allum dengan system makna gundul ini yang mendapat sorotan. Banyak kalangan yang menilai ngaji bandongan dengan makna gandul ini tidak relevan dan sudah saatnya ditanggalkan. Mereka mempunyai beberapa argumen yang sangat tajam, diantaranya :
1. kurang efesien
Manhaj ini tidak efesien, karena membuang waktu. Waktu yang semestinya dialokasikan cukup satu jam untuk menerangkan, akibatnya memakan waktu dua sampai tiga jam. Bahkan yang sering terjadi di lapangan adalah prioritas berlebih terhadap makna ketimbang pemahaman. padahal yang lebih vital adalah memahami isi kitab itu, sebab makna bukan kebutuhan primer.
2. Melahirkan Ketergantungan
Efek negatif lain dari manhaj ini adalah melahirkan rasa ketergantungan pada makna bagi santri. Seringkali kang santri (sebutan untuk anak yang belajar di kurikulum ini/pesantren, red) merasa sulit untuk membaca karena makna tidak tertera di kitabnya.
Tapi, pendapat ini tidak semua benar. Tentunya, dalam semua hal terdapat sisi baik disamping sisi buruk. Dua hal ini, baik-buruk, siang-malam, cantik-jelek dan sebagainya adalah fenomena umum yang selalu berhadapan.
Sisi positif dari metode "ngaji badongan" dengan dimaknai adalah membantu kang santri dalam masalah I'rob. Secara tidak langsung, kitab yang bermakna akan mengurangi kesulitan murid dalam ilmu gramatikanya. Contoh:
Kalimat ALHAMDULILLAHI ROBBIL 'ALAMIN.
Jika dimaknai akan menjadi: utawi sekabeani puji patang perkara iku tetep kagungane Allah kang mengerani wong alam kabeh.
Di sini sangat jelas. Dalam metode memberi makna atau bahasa lain maknani sangat membantu. Dalam perspektif gramatika arab alif lam yang tertera pada kata-kata AL HAMDU merupakan alif lam yang berfungsi istighroqul jinsi (mengandung arti menyeluruh dan luas serta memuat arti kull (setiap/seluruh) ). Maka layak kiranya jika al hamdu diartikan setiap pujian atau seluruh pujian yang bahasa makna jawanya adalah sekabehan puji patang perkara. Maksudnya adalah segala puji empat perkara. Kenapa harus empat? Karena pujian itu hanya berpusat pada empat hal. Yakni Sang Khaliq memuji makhluknya, atau sebaliknya yaitu makhluk memuji Sang Khaliq, atau Sang Khaliq memuji dzatNya sendiri dan yang terakhir adalah makhluk memuji sesama makhluk. Jadi tepatlah makna jawa yang diartikan utawi sekabehani puji patang perkara. Dan pada lafadz alamin itu merupakan bentuk plural dari kata alam. Maka tepat pula jika diartikan kang mengerani wong alam kabeh. Kata kabeh disini menunjukkan kata alamin adalah jama'.
Sekarang mari kita komparasikan dengan terjemahan Indonesia. Maka kata ALHAMDULILLAHIROBBIL 'ALAMIN memiliki arti "segala puji bagi Allah yang menjadi tuhan alam semesta. Tentunya kita sudah dapat melihat titik kelemahannya. Yakni kurang jelas dalam arti 'segala puji'. Karena kata segala itu lebih global dan belum tahshilul maqsud, belum tercapai maksud. Meskipun sudah mendekati. Dan kata 'alam semesta' itu hanya mengartikan 'alam. 'alam adalah ma siwallahi, semua hal selain Allah.
Jelas sudah sisi positif makna jawa. Dan sisi lain adalah melatih kesabaran dan membantu memahami. Dengan memaknai maka pemahaman kang santri akan terangsang sebelum ustadz menerangkannya. Bisa jadi rentang waktu untuk memaknai ini dijadikan even berharga bagi kang santri untuk meraba-raba maksud kata itu. Dan ketika ustadz menerangkan, kang santri hanya mengulangi memori pemahamannya. Dengan banyak mengulangi memahami, maka kang santri akan semakin lekat pemahamannya. Dengan tanpa memaksa kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya metode maknani itu lebih efesien. Kenapa? Karena makna jawa lebih membantu dalam gramatikalnya. Hal ini sangat mengurangi murid dalam menguras waktu untuk menilik lagi kitab gramatika (nahwu-shorof)
Dan sistem yang sangat menguntungkan adalah banyak fase untuk memahami pelajaran. Fase pertama kang santri disuruh menulis bahan yang akan dikaji, kedua ustadz memaknai jawa bahan yang sudah ditulis kang santri dan terakhir dijelaskan. Patrian tiga sistem ini tentunya sangat membantu. Pada fase pertama yakni tahapan menulis bahan yang akan disajikan. Santri dapat memahami sekilas dan melatih kemandirian dan ketelitian. Disamping tujuan yang lain yakni melatih menulis dengan baik. Dan fase-fase berikutnya juga dipusatkan agar murid dapat memahami kitab dengan sempurna.
Sekarang mari kita bandingkan dengan metode simposium, lokakarya, seminar atau yang lain. Dalam sistem seminar misalnya, hadirin akan disodorkan lembaran kertas yang sudah diketik dan ditulis oleh pemakalah. Kemudian hadirin akan dijadikan audiens atau mustami'in. benar ini merupakan metode efesien. Karena audiens hanya dipusatkan pada memahami makalah. Akan tetapi yang sering terjadi di lapangan adalah audiens sibuk (baik sibuk dengan hp, atau yang lain) dan tidak memahami makalah dengan benar, banyak pula yang tampak jenuh dan mengantuk. Daya serap tiap hadirin juga harus diperhitungkan. Apakah daya serap hadirin akan cepat seperti pemakalah menyampaikan lembaran makalahnya? Jawabnya adalah tidak semua bisa cepat memahami. Padahal waktu seminar ini terbatas. Maka efesiensi dalam memahami ini pun menjadi gugur.
Lantas setelah menjajaki dan membandingkan beberapa metode tadi, kita akan mencoba menemukan titik temu. Dengan manhaj tanpa makna jawa ( sebut saja metode ala arab) keunggulannya adalah efesiensi waktu dan relevan dengan situasi, metode jawa mempunyai kelebihan seperti tersebut di atas. Maka metode yang tepat adalah penggabungan. Metode makna jawa tidak ditinggal sepenuhnya, dan metode langsung memahami tidak diterapkan sepenuhnya. Maka the mind solution adalah metode langsung memahami dengan menyuruh murid menyelami gramatika tiap katanya dengan sedikit menanyakan I'rab dan posisi kalimat itu. Wallahu A'lam

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat dua.

Selengkapnya....

'PESANTREN' VS ARAB

Oleh: Muhammad bin Naufal*

Terkadang realita itu membuat kita terkecoh. Tak jarang seorang yang mulanya rajin ibadah, tersandung dengan realita akhirnya dia mengesampingkan ibadahnya dan diganti dengan bekerja. Tak sedikit pelajar yang rajin dan sering mendapatkan 'medali' penghargaan, harus berbalik setir untuk bekerja dikarenakan realita yang memaksa. Dan hal ini tidak dapat dipungkiri dengan mudah. Bisa dikatakan bahwa realita adalah 'si pemaksa ulung'.

Di saat zaman modern ini, banyak realita yang menuntut untuk instant. Sarana dan prasarana dicurahkan untuk menginstankan semua hal. Mulai diciptakan mi instant yang siap saji hanya dengan beberapa menit saja, ada kereta yang berkecepatan tinggi, tentunya ini akan menginstankan waktu. Instant dan efesien merupakan ukuran masa sekarang. Dan tak ketinggalan pula, kurikulum pendidikan diolah se-instan dan se-efesien mungkin. Kursus kilat, les-les dan tetek bengeknya dimunculkan dan tak lain alasannya agar instant dan efesien waktu.
Diantara lembaga pendidikan yang mulai "terkena polusi", yakni terpengaruh realita ini adalah pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga tertua di Indonesia yang menelorkan pejuang-pejuang saat masa peperangan, mencetak kader yang dapat mewarnai bangsa. Lembaga ini pun mulai banyak menuai kritik dikarenakan tidak sesuai dengan realita, dan tidak relevan. Tidak relevan disini ditujukan pada metode pendidikan, bukan ajaran. Metode atau manhaj ta'lim dan ta'allum dengan system makna gundul ini yang mendapat sorotan. Banyak kalangan yang menilai ngaji bandongan dengan makna gandul ini tidak relevan dan sudah saatnya ditanggalkan. Mereka mempunyai beberapa argumen yang sangat tajam, diantaranya :
1. kurang efesien
Manhaj ini tidak efesien, karena membuang waktu. Waktu yang semestinya dialokasikan cukup satu jam untuk menerangkan, akibatnya memakan waktu dua sampai tiga jam. Bahkan yang sering terjadi di lapangan adalah prioritas berlebih terhadap makna ketimbang pemahaman. padahal yang lebih vital adalah memahami isi kitab itu, sebab makna bukan kebutuhan primer.
2. Melahirkan Ketergantungan
Efek negatif lain dari manhaj ini adalah melahirkan rasa ketergantungan pada makna bagi santri. Seringkali kang santri (sebutan untuk anak yang belajar di kurikulum ini/pesantren, red) merasa sulit untuk membaca karena makna tidak tertera di kitabnya.
Tapi, pendapat ini tidak semua benar. Tentunya, dalam semua hal terdapat sisi baik disamping sisi buruk. Dua hal ini, baik-buruk, siang-malam, cantik-jelek dan sebagainya adalah fenomena umum yang selalu berhadapan.
Sisi positif dari metode "ngaji badongan" dengan dimaknai adalah membantu kang santri dalam masalah I'rob. Secara tidak langsung, kitab yang bermakna akan mengurangi kesulitan murid dalam ilmu gramatikanya. Contoh:
Kalimat ALHAMDULILLAHI ROBBIL 'ALAMIN.
Jika dimaknai akan menjadi: utawi sekabeani puji patang perkara iku tetep kagungane Allah kang mengerani wong alam kabeh.
Di sini sangat jelas. Dalam metode memberi makna atau bahasa lain maknani sangat membantu. Dalam perspektif gramatika arab alif lam yang tertera pada kata-kata AL HAMDU merupakan alif lam yang berfungsi istighroqul jinsi (mengandung arti menyeluruh dan luas serta memuat arti kull (setiap/seluruh) ). Maka layak kiranya jika al hamdu diartikan setiap pujian atau seluruh pujian yang bahasa makna jawanya adalah sekabehan puji patang perkara. Maksudnya adalah segala puji empat perkara. Kenapa harus empat? Karena pujian itu hanya berpusat pada empat hal. Yakni Sang Khaliq memuji makhluknya, atau sebaliknya yaitu makhluk memuji Sang Khaliq, atau Sang Khaliq memuji dzatNya sendiri dan yang terakhir adalah makhluk memuji sesama makhluk. Jadi tepatlah makna jawa yang diartikan utawi sekabehani puji patang perkara. Dan pada lafadz alamin itu merupakan bentuk plural dari kata alam. Maka tepat pula jika diartikan kang mengerani wong alam kabeh. Kata kabeh disini menunjukkan kata alamin adalah jama'.
Sekarang mari kita komparasikan dengan terjemahan Indonesia. Maka kata ALHAMDULILLAHIROBBIL 'ALAMIN memiliki arti "segala puji bagi Allah yang menjadi tuhan alam semesta. Tentunya kita sudah dapat melihat titik kelemahannya. Yakni kurang jelas dalam arti 'segala puji'. Karena kata segala itu lebih global dan belum tahshilul maqsud, belum tercapai maksud. Meskipun sudah mendekati. Dan kata 'alam semesta' itu hanya mengartikan 'alam. 'alam adalah ma siwallahi, semua hal selain Allah.
Jelas sudah sisi positif makna jawa. Dan sisi lain adalah melatih kesabaran dan membantu memahami. Dengan memaknai maka pemahaman kang santri akan terangsang sebelum ustadz menerangkannya. Bisa jadi rentang waktu untuk memaknai ini dijadikan even berharga bagi kang santri untuk meraba-raba maksud kata itu. Dan ketika ustadz menerangkan, kang santri hanya mengulangi memori pemahamannya. Dengan banyak mengulangi memahami, maka kang santri akan semakin lekat pemahamannya. Dengan tanpa memaksa kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya metode maknani itu lebih efesien. Kenapa? Karena makna jawa lebih membantu dalam gramatikalnya. Hal ini sangat mengurangi murid dalam menguras waktu untuk menilik lagi kitab gramatika (nahwu-shorof)
Dan sistem yang sangat menguntungkan adalah banyak fase untuk memahami pelajaran. Fase pertama kang santri disuruh menulis bahan yang akan dikaji, kedua ustadz memaknai jawa bahan yang sudah ditulis kang santri dan terakhir dijelaskan. Patrian tiga sistem ini tentunya sangat membantu. Pada fase pertama yakni tahapan menulis bahan yang akan disajikan. Santri dapat memahami sekilas dan melatih kemandirian dan ketelitian. Disamping tujuan yang lain yakni melatih menulis dengan baik. Dan fase-fase berikutnya juga dipusatkan agar murid dapat memahami kitab dengan sempurna.
Sekarang mari kita bandingkan dengan metode simposium, lokakarya, seminar atau yang lain. Dalam sistem seminar misalnya, hadirin akan disodorkan lembaran kertas yang sudah diketik dan ditulis oleh pemakalah. Kemudian hadirin akan dijadikan audiens atau mustami'in. benar ini merupakan metode efesien. Karena audiens hanya dipusatkan pada memahami makalah. Akan tetapi yang sering terjadi di lapangan adalah audiens sibuk (baik sibuk dengan hp, atau yang lain) dan tidak memahami makalah dengan benar, banyak pula yang tampak jenuh dan mengantuk. Daya serap tiap hadirin juga harus diperhitungkan. Apakah daya serap hadirin akan cepat seperti pemakalah menyampaikan lembaran makalahnya? Jawabnya adalah tidak semua bisa cepat memahami. Padahal waktu seminar ini terbatas. Maka efesiensi dalam memahami ini pun menjadi gugur.
Lantas setelah menjajaki dan membandingkan beberapa metode tadi, kita akan mencoba menemukan titik temu. Dengan manhaj tanpa makna jawa ( sebut saja metode ala arab) keunggulannya adalah efesiensi waktu dan relevan dengan situasi, metode jawa mempunyai kelebihan seperti tersebut di atas. Maka metode yang tepat adalah penggabungan. Metode makna jawa tidak ditinggal sepenuhnya, dan metode langsung memahami tidak diterapkan sepenuhnya. Maka the mind solution adalah metode langsung memahami dengan menyuruh murid menyelami gramatika tiap katanya dengan sedikit menanyakan I'rab dan posisi kalimat itu. Wallahu A'lam

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat dua.

Selengkapnya....