Kisah Seekor Anak Singa*

Oleh: Cakiconk*

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.

Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, si bayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu.
Hari berganti hari, anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik, bukan mengaum!. la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas datang memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala:
”Kamu singa!, cepat hadapi serigala itu!, cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!.” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
Tapi, anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan, sama seperti kambing yang lain, bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah.
”Seharusnya kamu bisa membela kami!, seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu!, seharusnya kamu bisa mengusir serigala yang jahat itu!”.
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya, serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan!, nyalinya habis!. Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!. Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, ”Emmbeeek!” Lalu ia mundur ke belakang, mengambil ancang-ancang untuk menyeruduk lagi. Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu atau singa bermental kambing itu. Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?. Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun. Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat!. Semua kambing ketakutan dan merapat!. Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing?. Ia mengejar anak singa itu dan berkata:
”Hai kamu jangan lari!, kamu anak singa, bukan kambing!, aku tak akan memangsa anak singa!.”
Namun anak singa itu terus berlari dan berlari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan:
”Jangan bunuh aku, ammpuun!.”
”Kau anak singa, bukan anak kambing!, aku tidak membunuh anak singa!.”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, ”Tidak!!, aku anak kambing!, tolong lepaskan aku!”. Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri, lalu membandingkan dirinya dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut:
”Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu, sama dengan singa, si raja hutan!.”
”Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!”. Tegas singa dewasa.
”Jadi aku bukan kambing?, aku adalah seekor singa!.”
”Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan!. Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!.” Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya, mengaum, menggetarkan seantero hutan.
Tak jauh dari situ serigala ganas tadi lari semakin kencang. Ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan:
”Aku adalah seekor singa!, raja hutan yang gagah perkasa!”.
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
Penulis tersentak oleh kisah anak singa di atas. Jangan-jangan kondisi kita (umat islam secara umum, bangsa Indonesia secara khusus dan warga FORMIL lebih khususnya lagi) mirip dengan anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya, biasa-biasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh "siapa dirinya sebenarnya". Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Kalau kita amati orang-orang di sekitar kita. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif. Sangat faham "untuk apa ia hidup" dan "bagaimana ia harus hidup". Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan optimis serta penuh tujuan pasti. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadang, semakin besar pula semangatnya untuk menaklukkannya.
Namun, tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak faham "untuk apa dia hidup", dan "bagaimana ia harus hidup". Kita sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya:
”Bagaimana Anda menjalani hidup Anda?,” atau ”Apa prinsip hidup Anda?,” mereka menjawab dengan jawaban yang filosofis:
”Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air, santai saja.”
Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi "mengalir bagaikan air". Mereka memahami hidup mengalir bagaikan air itu, ya hidup santai. Sebenarnya, jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang berkualitas. Sebab, mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka?, potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah "seekor singa" tapi tidak tahu kalau dirinya "seekor singa". Mereka menganggap dirinya adalah "seekor kambing", sebab selama ini, mereka hidup dalam kawanan kambing. Entah, mungkin kita termasuk di dalamnya.
Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang prototipe; gaya hidup sebagian besar kita di kuliah syariah khususnya (yang tidak mau muroja`ah kalau tidak dekat ujian, ikut muhadloroh yang penting hadir meski tidur atau chating-an, ujian yang penting tidak rosib meski nilai cuma maqbul, dst.) dan di Indonesia umumnya. Bahkan, bisa jadi itu adalah gaya hidup sebagian besar masyarakat dunia Islam saat ini.
Tidak jarang kita mendapatkan kondisi di sekitar kita yang dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan berarti. Cara berpikirnya masih sama. Cara hidupnya masih begitu-begitu saja. Bahkan mengalami penurunan. Si Anu yang saat awal kuliah belum mampu berbahasa arab, sekarang masih berada dalam kondisi yang sama. Atau sudah mampu, tapi orang yang mendengarkan masih harus berfikir untuk memahami maksudnya. Bahkan, tak jarang terjadi salah paham. Si Dia yang pada hari-hari pertama studinya, belajarnya giat dan rajin bangun malam; kini, kalau tidak ujian tidak mau belajar. Bahkan, malam ujian pun masih sempat main-main dengan hp, komputer dll; solat malamnya sudah libur, shalat Subuh tidak berjamaah dan lebih parah lagi; shalat Subuh sudah biasa dia jamak dengan shalat Dluha, dan segudang contoh lainnya. Kita yang dulu datang dengan kondisi "nol" ternyata sampai sekarang kita masih mendapat poin nol koma sekian atau poin satu saja. Sungguh perubahan yang tak berarti jika dibandingkan dengan lamanya kita berada disini. Tegasnya, kita belum berubah.
Kenapa tidak berubah?.
Jawabannya adalah karena kita tidak mau berubah.
Kenapa tidak mau berubah?.
Jawabannya adalah karena kita belum mengetahui bahwa kita harus berubah. Bahkan, kalaupun kita mengetahui keniscayaan sebuah perubahan, kita masih belum mengetahui bagaimana caranya mewujudkan perubahan itu. Sebab, kita telah terbiasa dengan kehidupan yang pasrah dan santai. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Hidup tanpa semangat hijrah. Dan cara hidup seperti inilah yang telah tertanam dan terus tumbuh dalam diri kita.
Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat kondisi bangsa yang sedemikian akut rasa ketidak berdayaanya sampai dia mengatakan, ”Aku malu jadi orang Indonesia!.”
Di mana-mana; di Indonesia atau lainnya, kita lebih banyak menemukan orang orang bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah. Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan oleh Allah kepadanya. Orang-orang yang rela ditindas dan dijajah oleh kesengsaraan, kesantaian dan kehinaan. Padahal sebenarnya; jika mau, pastilah mereka bisa hidup merdeka, maju, jaya, berwibawa dan sejahtera. Di Indonesia saja, tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri kita yang bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah singa!. Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti mindernya anak singa bermental kambing pada serigala dalam kisah di atas. Padahal sebenarnya, kita adalah bangsa besar!, kita adalah umat yang besar!, kita sebenarnya adalah singa dewasa yang sebenarnya memiliki kekuatan dahsyat. Bukan komunitas sekawanan kambing. Sekali rasa berdaya itu muncul dalam jiwa anak kita, maka ia akan menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah singa yang tidak boleh diremehkan sedikitpun.
Kita (umat Islam di Indonesia), sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa menguasai Nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang digjaya dan adikuasa. Lebih dari itu, kita sebenarnya, -dan ini tidak mungkin disangkal- adalah umat Islam terbesar di dunia. Ada sekitar 200.000.000 (dua ratus juta) umat Islam di negeri tercinta kita Indonesia. Banyak yang tidak menyadari apa makna dari "dua ratus juta" jumlah umat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar dan menganggapnya biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri sesungguhnya. Dua ratus juta umat Islam di Indonesia, maknanya adalah dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia; itulah yang sebenarnya. Sayang, dua ratus juta yang sebenarnya adalah singa, justru bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing, bukan layaknya singa. Baik saudara-saudara kita di sana maupun kita sendiri di sini. Lebih memprihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap menjadi kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing, maka ia malu menjadi singa!. Malu untuk maju dan berprestasi!. Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih tetap menjadi kambing itu menginginkan yang lain juga tetap menjadi kambing. Mereka ingin tetap jadi kambing sebab merasa tidak mampu jadi singa dan merasa nyaman jadi kambing. Yang menyedihkan, mereka tidak ingin orang lain jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi kambing yang lebih bodoh!.
Marilah!, kita sadari diri kita (sebagai umat Islam) sebagai seekor singa yang betul-betul singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai umat terbaik di muka bumi ini, ”Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh berbuat yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah!”.
Marilah kita bermental umat terbaik. Jangan bermental umat yang terbelakang. Kita mulai langkah maju dan perubahan itu dari diri kita sebagai warga FORMIL, untuk Indonesia kita khususnya dan Islam pada umumnya. Wallahu a'lam.

* Di kutip dari Novel "Ketika Cinta Bertasbih 2" disertai beberapa perubahan
** Penuis adalah mahasiswa tingkat II Univ. Al-Ahgaff


Selengkapnya....

ular goblok

Suatu hari ada dua ekor ular sedang menyusuri sawah mencari mangsa.
Ular A: hei.. kita ini ular jenis apa yach?
Ular B: Manaketehe'..

Ular A: kita ini termasuk jenis ular berbisa ngga'?"
Ular B: "emangnya kenapa, kok pake Tanya-tanya berbisa atau ngga'nya?"
Ular A: "nggak.. soalnya tadi tak sengaja bibir saya tergigit".
Ular B: "hahaha.. awas loeh.. bisa-bisa kita ini ular berbisa".
Ular A: Ha…#@_*&$#!!



Selengkapnya....

sahabat setia

Indahnya, saat bersama
Ku tersenyum, kaupun tertawa
Sahabat setia, pelipur lara
Dimanakah dia?

Meski telah tiada
Kau tetap abadi dalam jiwa
Hanya maaf yang akan terucap
Ketika ada kata tersilap
Hanya senyum bahagia saat bersama
Canda tawa dalam cerita
Kan abadi selamanya

Tarim, 02 okt 2009
By: The Hunter


Selengkapnya....

IDEALISME KRITIK DEMOKRATIK

Oleh : Amir Faqih Ahgaffy*
“Aku Cinta Demokrasi-Q”. Pernyataan ini mungkin sudah cukup untuk mewakili warga Ahgaff sebagai rasa kecintaan kepada demokrasinya. Bahwa mereka cinta terhadap FORMIL. Meskipun cinta itu tidak cukup hanya dengan kata-kata, namun juga perlu bukti nyata. Dan bukti nyata itu sudah kami buktikan dengan memberikan masukan saran dan kritik yang -Insya Allah- konstruktif, legal, dan prosedural melalui media yang tersedia.


Kalau ada yang tidak cinta terhadap FORMIL, maka mereka adalah orang-orang yang tidak tahu diuntung karena FORMIL tempat deking yang mengasuh dan mengayomi kita selama ini.
Tulisan ini kami buat sesederhana mungkin, dekralatif, kategoris, taktis cerdas tapi lugas, tepat sasaran, mengena, tanpa harus melupakan substansi. Dan bukan berarti penulis tidak mampu untuk membuat tulisan ini selebar mungkin, Insya Allah sangat mungkin melihat fenomena-fenomena dan problem sosial yang mengembang, kami berharap tulisan ini dapatabel admisibel di tengah gejolak para aktor.
Kami menyambut baik tanggapan tulisan Kakak kelas tanpa mengurangi rasa hormat dan kewibaannya sebagai panutan yang harus digugu dan ditiru. Namun demikian, tulisan ini bukan pembangkangan dari kami yang berujung ke hostilitas. Alhamdulillah, dengan adanya tanggapan dari tulisan kami, berarti kita sudah saling mengoreksi plus intropeksi yang berbuah kepada kesadaran. Dan kami akan tetap mandiri independen serta kritis terhadap problem, namun sikap kritis itu akan disertai dengan solusi alternatif bagi kebijakan-kebijakan yang diambil. Inilah yang dinamakan kritik akuntabel dengan idealisme kritik.
Apa yang kami lakukan ini adalah sebuah konfigurasi rasa filantropi sesama, lebih-lebih kepada organisasi yang mengayomi pelajar Indonesia. Kausa finansial ini muncul dari kausalitas yang terjadi. Ini bukan gerakan separatis konspirasi yang ingin memperpecah integritas apalagi mengklaim sentimen kapiran. Dalam demokrasi, sepatutnya rakyat juga ikut mengawasi langsung demokrasinya. Dengan begitu, rakyat sudah mulai beranjak memahami paradigma yang berkembang. Rakyat mulai memahami demokrasinya sendiri dan ini merupakan bagian dari pelajaran politik.
Kritikan tidak harus membuat kita paranoid. Hemat kami, tindakan yang kami lakukan konstruktif dengan tetap menjaga integritas. Walaupun disana-sini masih terjadi perdebatan yang sangat alot. Wrong mekanisme seharusnya ada teguran dari pihak-pihak tertentu. Ini untuk meminimalisasi kita agar lebih berhati-hati untuk yang kedua kalinya. Dengan begitu, roda demokrasi akan lebih efektif. Bagi kami, kritikan adalah sebuah wadah yang harus ditampung, dijaga, dan dijamin haknya. Kritikan adalah sebuah motivator untuk menuju tangga keberhasilan. Muhaimin Iskandar , Mentri KIB jilid II, pernah berkata, "silahkan kritisi kami kalau itu awal dari sebuah prestasi". Kalau kritikan itu merupakan awal dari prestasi, kenapa kita harus ciut ? Sangat salah jika kami mengajak untuk berdebat ataupun mengungkit masa lalu kembali. Kita hanya belajar dari sejarah dengan mengambil hikmahnya. Ini yang kami wanti-wanti dari tulisan yang pertama. Orang yang tidak mau belajar dari sejarah kemungkinan besar sejarah yang pahit akan menerpa kembali. Demokrasi mengajarkan kita untuk berproses. Dan proses adalah sesuatu yang alamiah, tidak statis dan stagnan. Dari proses dan perubahan ini, kita berharap lebih baik dari sebelumnya.
Dalam demokrasi ada beberapa kebebasan yang dilindungi oleh payung hukum karena merupakan hak setiap warga. Yang diantaranya adalah kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan. Sekarang zaman demokrasi, Reformasi telah bergulir dan Rezim Otoriter anti-demokrasi telah tumbang. Pada zaman ORBA, segala tulisan yang berbau kritikan dan nasionalisme dibredel, bahkan penulisnya dijebloskan ke penjara. Kalau kita lihat koran-koran Indonesia seperti Jawa Pos, Republika, kompas, dan lain-lain. Di ruang Opini Artikel atau Berita, kita akan menemukan beberapa tekanan kata yang mengandung unsur disilusi, kecaman, makian dan cacian. Seperti Ketua KPU dan antek-anteknya yang dinilai tidak becus, acuh tak acuh dalam menyelenggarakan pemilu. Kecaman pun datang dari berbagai arah, DPR, Pengamat dan Pakar untuk segera melengserkan KPU dan antik-aktiknya. Dan akhir-akhir ini yang menjadi sorotan media diulang-ulang oleh stasiun TV, bahkan di facebook Ketua MPR RI, Taufik Kiemas dikatakan “baru keluar SD” lantaran dalam pelantikan Presiden & Wakil Presiden banyak kesalahan lek lak lik luk, tidak ada penghormatan kepada JK yang masih berstatus Wapres, penyebutan gelar SBY yang salah dari “Doktor menjadi Dokter”. Dan masih banyak yang lain. Kecaman, cacian, makian ,dan pujian datang dari berbagai penjuru membanjiri media massa. Dan itu harus ditampung sebagai check and balance biar mereka lebih berhati-hati sebagai Wakil Rakyat bahwa segala tingkah laku maupun ucapan mereka, tidak akan dapat lari dari kejelian tangan para jurnalis.
Kami pun juga seperti itu. Kami harus meletakkan kata-kata yang menekan dengan tetap memberikan solusi. Sebenarnya, masih banyak kata-kata yang lebih sangar. Meski tak menutup diri memang ada etika jurnalistik. Kenapa kami memilih media massa? Karena media lebih ampuh, mengena dan tajam setajam silet. Seorang pemimpin seharusnya mempunyai transparansi dialogis sosialis kapabelis dengan jurus andalan komunikatif, jangan terkesan Redialogis/Rekomunikatif, berbaurlah sedikit dengan rakyatnya, dengarkan keluhan mereka. Jangan seperti Pribahasa “bagai menara gading” yang terpisah atau malah memisahkan diri dari rakyat. Adapun anggapan antipacasila itu sangat jauh meleset dari sasaran, meskipun sila keempat menerangkan Kerakyatan Yang Dipimpin …….. kami pun juga bisa balik bertanya. Adakah AD/ART di PLENOKAN atau di Amendemen? Tidak kan, Kalau begitu tetap jadi rujukan. Kalau kita memang pancasilais, kenapa kita harus keluar dari koridor konsessus.
Judul “Tanda Demokrai Masih Muda” muncul dari realita yang ada. Kami pun harus pintar-pintar menempatkan realita dalam teks. Kalau Gus Dur mengklaim DPR RI tak ubahnya taman Kanak-Kanak lantaran keributan dan pertengakaran, itu sangat pantas. Tapi sebaliknya, Adakah pertengkaran dalam PEMILU Formil ? tidak, berarti sesuai dengan realita. Demokrasi sangat berhubungan erat dengan Adab/Perilaku, Demokrasi adalah sebuah system Pemerintahan/birokrasi, sedangkan birokrasi dijalankan oleh Para Aktor/Pejabat, jika para aktor birokrat berakhlak mulia, InsyaAllah, demokrasi yang dibawa akan menuai keberhasilan tapi juga sebaliknya. Jika amoral, maka hanya akan mencemarkan lembaga yang bersangkutan. Contoh, tentu masih ingat Mantan Legislator Yahya Zeini yang tersandung sekandal Seks dengan Maria Eva, Al_Amin Nasution sang Koruptor dll. Kehadirannya pun akan jadi bomerang bagi lembaga itu. Makanya dalam alenia terakhir dari tulisan Mading yang pertama penulis menyinggung “mulailah dari aktor Demokrasi dan seterusnya”, kami pun juga akan mulai tanpa harus menunggu.
Dari tulisan mading yang pertama tertulis. ”Seharusnya kita tidak mengeluarkan statemen yang memperkeruh suasana dan memperpecah integritas, apalagi kita berasal dari ibu pertiwi yang sama "INDONESIA". Seharusnya kita berada dalam ikatan tali persatuan, boleh kita berbeda tapi tetap dalam Bhineka Tunggal Ika”, begitulah kira bunyinya. Tapi fakta bicara lain, What ever will be will be. Meskipun begitu, kami bersyukur dan berterimakasih atas keberaniannya menegur kami, itu merupakan Dobrakan yang patut diapresiasi. Dan bagi kami itu merupakan cobaan. Sesuai dengan Pribahasa “Pohon Yang Besar Akan Lebih Kencang Di Terpa Badai&Angin, semoga kami akan menjadi orang yang lebih berbiogenesis.
Inilah mungkin yang dinamakan dengan “Dunia Politik”, kalau tidak ramai, bukan politik namanya. Meskipun begitu bukan berarti kita menciptakan keramaian. Dan ini tidak harus membuat kita bermusuhan karena dalam politik sejatinya tidak ada musuh, yang ada hanyalah kompetitor, jika pun dianggap musuh, jelas tidak ada musuh yang abadi, mengabadikan musuh adalah tradisi dendam yang selayaknya dijauhkan dalam kehidupan demokrasi. Dari sini akan muncul suasana baru yang konstruktif, ini tentunya menjanjikan pola relasi baru yang lebih bersahabat untuk Membangun Kesepahaman dalam demokrasi.
Akhirnya, tulisan ini dapat di inferensialkan. Karakterbuilding plus vorming, kualifier, koperatif harus kita tanam demi terciptanya konsiliasi koeksistensif yang plural/multi komunitas. Dan bagi Kakak-kakak yang lebih banyak makan garam, kami tetap mengharapkan masukan dari kalian bagaimanapun caranya. Terimakasih atas teguran dan tanggapannya. Kami senang mempunyai Kakak yang peduli akan nasib adik-adiknya dan maaf jika ada yang kurang berkenan dari kami, baik Aqwal, Af’al & Ahwal. Salam Hormat. Sukses Semua and Go FORMIL.

* Penulis adalah aktivis sekaligus jurnalis dan sudah tingkat II di Universitas Al-Ahgaff

Selengkapnya....

IDEALISME KRITIK DEMOKRATIK

Oleh : Amir Faqih Ahgaffy*
“Aku Cinta Demokrasi-Q”. Pernyataan ini mungkin sudah cukup untuk mewakili warga Ahgaff sebagai rasa kecintaan kepada demokrasinya. Bahwa mereka cinta terhadap FORMIL. Meskipun cinta itu tidak cukup hanya dengan kata-kata, namun juga perlu bukti nyata. Dan bukti nyata itu sudah kami buktikan dengan memberikan masukan saran dan kritik yang -Insya Allah- konstruktif, legal, dan prosedural melalui media yang tersedia.


Kalau ada yang tidak cinta terhadap FORMIL, maka mereka adalah orang-orang yang tidak tahu diuntung karena FORMIL tempat deking yang mengasuh dan mengayomi kita selama ini.
Tulisan ini kami buat sesederhana mungkin, dekralatif, kategoris, taktis cerdas tapi lugas, tepat sasaran, mengena, tanpa harus melupakan substansi. Dan bukan berarti penulis tidak mampu untuk membuat tulisan ini selebar mungkin, Insya Allah sangat mungkin melihat fenomena-fenomena dan problem sosial yang mengembang, kami berharap tulisan ini dapatabel admisibel di tengah gejolak para aktor.
Kami menyambut baik tanggapan tulisan Kakak kelas tanpa mengurangi rasa hormat dan kewibaannya sebagai panutan yang harus digugu dan ditiru. Namun demikian, tulisan ini bukan pembangkangan dari kami yang berujung ke hostilitas. Alhamdulillah, dengan adanya tanggapan dari tulisan kami, berarti kita sudah saling mengoreksi plus intropeksi yang berbuah kepada kesadaran. Dan kami akan tetap mandiri independen serta kritis terhadap problem, namun sikap kritis itu akan disertai dengan solusi alternatif bagi kebijakan-kebijakan yang diambil. Inilah yang dinamakan kritik akuntabel dengan idealisme kritik.
Apa yang kami lakukan ini adalah sebuah konfigurasi rasa filantropi sesama, lebih-lebih kepada organisasi yang mengayomi pelajar Indonesia. Kausa finansial ini muncul dari kausalitas yang terjadi. Ini bukan gerakan separatis konspirasi yang ingin memperpecah integritas apalagi mengklaim sentimen kapiran. Dalam demokrasi, sepatutnya rakyat juga ikut mengawasi langsung demokrasinya. Dengan begitu, rakyat sudah mulai beranjak memahami paradigma yang berkembang. Rakyat mulai memahami demokrasinya sendiri dan ini merupakan bagian dari pelajaran politik.
Kritikan tidak harus membuat kita paranoid. Hemat kami, tindakan yang kami lakukan konstruktif dengan tetap menjaga integritas. Walaupun disana-sini masih terjadi perdebatan yang sangat alot. Wrong mekanisme seharusnya ada teguran dari pihak-pihak tertentu. Ini untuk meminimalisasi kita agar lebih berhati-hati untuk yang kedua kalinya. Dengan begitu, roda demokrasi akan lebih efektif. Bagi kami, kritikan adalah sebuah wadah yang harus ditampung, dijaga, dan dijamin haknya. Kritikan adalah sebuah motivator untuk menuju tangga keberhasilan. Muhaimin Iskandar , Mentri KIB jilid II, pernah berkata, "silahkan kritisi kami kalau itu awal dari sebuah prestasi". Kalau kritikan itu merupakan awal dari prestasi, kenapa kita harus ciut ? Sangat salah jika kami mengajak untuk berdebat ataupun mengungkit masa lalu kembali. Kita hanya belajar dari sejarah dengan mengambil hikmahnya. Ini yang kami wanti-wanti dari tulisan yang pertama. Orang yang tidak mau belajar dari sejarah kemungkinan besar sejarah yang pahit akan menerpa kembali. Demokrasi mengajarkan kita untuk berproses. Dan proses adalah sesuatu yang alamiah, tidak statis dan stagnan. Dari proses dan perubahan ini, kita berharap lebih baik dari sebelumnya.
Dalam demokrasi ada beberapa kebebasan yang dilindungi oleh payung hukum karena merupakan hak setiap warga. Yang diantaranya adalah kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan. Sekarang zaman demokrasi, Reformasi telah bergulir dan Rezim Otoriter anti-demokrasi telah tumbang. Pada zaman ORBA, segala tulisan yang berbau kritikan dan nasionalisme dibredel, bahkan penulisnya dijebloskan ke penjara. Kalau kita lihat koran-koran Indonesia seperti Jawa Pos, Republika, kompas, dan lain-lain. Di ruang Opini Artikel atau Berita, kita akan menemukan beberapa tekanan kata yang mengandung unsur disilusi, kecaman, makian dan cacian. Seperti Ketua KPU dan antek-anteknya yang dinilai tidak becus, acuh tak acuh dalam menyelenggarakan pemilu. Kecaman pun datang dari berbagai arah, DPR, Pengamat dan Pakar untuk segera melengserkan KPU dan antik-aktiknya. Dan akhir-akhir ini yang menjadi sorotan media diulang-ulang oleh stasiun TV, bahkan di facebook Ketua MPR RI, Taufik Kiemas dikatakan “baru keluar SD” lantaran dalam pelantikan Presiden & Wakil Presiden banyak kesalahan lek lak lik luk, tidak ada penghormatan kepada JK yang masih berstatus Wapres, penyebutan gelar SBY yang salah dari “Doktor menjadi Dokter”. Dan masih banyak yang lain. Kecaman, cacian, makian ,dan pujian datang dari berbagai penjuru membanjiri media massa. Dan itu harus ditampung sebagai check and balance biar mereka lebih berhati-hati sebagai Wakil Rakyat bahwa segala tingkah laku maupun ucapan mereka, tidak akan dapat lari dari kejelian tangan para jurnalis.
Kami pun juga seperti itu. Kami harus meletakkan kata-kata yang menekan dengan tetap memberikan solusi. Sebenarnya, masih banyak kata-kata yang lebih sangar. Meski tak menutup diri memang ada etika jurnalistik. Kenapa kami memilih media massa? Karena media lebih ampuh, mengena dan tajam setajam silet. Seorang pemimpin seharusnya mempunyai transparansi dialogis sosialis kapabelis dengan jurus andalan komunikatif, jangan terkesan Redialogis/Rekomunikatif, berbaurlah sedikit dengan rakyatnya, dengarkan keluhan mereka. Jangan seperti Pribahasa “bagai menara gading” yang terpisah atau malah memisahkan diri dari rakyat. Adapun anggapan antipacasila itu sangat jauh meleset dari sasaran, meskipun sila keempat menerangkan Kerakyatan Yang Dipimpin …….. kami pun juga bisa balik bertanya. Adakah AD/ART di PLENOKAN atau di Amendemen? Tidak kan, Kalau begitu tetap jadi rujukan. Kalau kita memang pancasilais, kenapa kita harus keluar dari koridor konsessus.
Judul “Tanda Demokrai Masih Muda” muncul dari realita yang ada. Kami pun harus pintar-pintar menempatkan realita dalam teks. Kalau Gus Dur mengklaim DPR RI tak ubahnya taman Kanak-Kanak lantaran keributan dan pertengakaran, itu sangat pantas. Tapi sebaliknya, Adakah pertengkaran dalam PEMILU Formil ? tidak, berarti sesuai dengan realita. Demokrasi sangat berhubungan erat dengan Adab/Perilaku, Demokrasi adalah sebuah system Pemerintahan/birokrasi, sedangkan birokrasi dijalankan oleh Para Aktor/Pejabat, jika para aktor birokrat berakhlak mulia, InsyaAllah, demokrasi yang dibawa akan menuai keberhasilan tapi juga sebaliknya. Jika amoral, maka hanya akan mencemarkan lembaga yang bersangkutan. Contoh, tentu masih ingat Mantan Legislator Yahya Zeini yang tersandung sekandal Seks dengan Maria Eva, Al_Amin Nasution sang Koruptor dll. Kehadirannya pun akan jadi bomerang bagi lembaga itu. Makanya dalam alenia terakhir dari tulisan Mading yang pertama penulis menyinggung “mulailah dari aktor Demokrasi dan seterusnya”, kami pun juga akan mulai tanpa harus menunggu.
Dari tulisan mading yang pertama tertulis. ”Seharusnya kita tidak mengeluarkan statemen yang memperkeruh suasana dan memperpecah integritas, apalagi kita berasal dari ibu pertiwi yang sama "INDONESIA". Seharusnya kita berada dalam ikatan tali persatuan, boleh kita berbeda tapi tetap dalam Bhineka Tunggal Ika”, begitulah kira bunyinya. Tapi fakta bicara lain, What ever will be will be. Meskipun begitu, kami bersyukur dan berterimakasih atas keberaniannya menegur kami, itu merupakan Dobrakan yang patut diapresiasi. Dan bagi kami itu merupakan cobaan. Sesuai dengan Pribahasa “Pohon Yang Besar Akan Lebih Kencang Di Terpa Badai&Angin, semoga kami akan menjadi orang yang lebih berbiogenesis.
Inilah mungkin yang dinamakan dengan “Dunia Politik”, kalau tidak ramai, bukan politik namanya. Meskipun begitu bukan berarti kita menciptakan keramaian. Dan ini tidak harus membuat kita bermusuhan karena dalam politik sejatinya tidak ada musuh, yang ada hanyalah kompetitor, jika pun dianggap musuh, jelas tidak ada musuh yang abadi, mengabadikan musuh adalah tradisi dendam yang selayaknya dijauhkan dalam kehidupan demokrasi. Dari sini akan muncul suasana baru yang konstruktif, ini tentunya menjanjikan pola relasi baru yang lebih bersahabat untuk Membangun Kesepahaman dalam demokrasi.
Akhirnya, tulisan ini dapat di inferensialkan. Karakterbuilding plus vorming, kualifier, koperatif harus kita tanam demi terciptanya konsiliasi koeksistensif yang plural/multi komunitas. Dan bagi Kakak-kakak yang lebih banyak makan garam, kami tetap mengharapkan masukan dari kalian bagaimanapun caranya. Terimakasih atas teguran dan tanggapannya. Kami senang mempunyai Kakak yang peduli akan nasib adik-adiknya dan maaf jika ada yang kurang berkenan dari kami, baik Aqwal, Af’al & Ahwal. Salam Hormat. Sukses Semua and Go FORMIL.

Penulis adalah aktivis sekaligus jurnalis dan sudah tingkat II di Universitas Al-Ahgaff

Selengkapnya....

MENGGAGAS FIQIH YANG AKOMODATIF

Oleh : abdolmoeez ***
Munculnya wajah Islam dalam kehidupan sosial yang berimplikasi pada sosialisasi fiqih, selalu menimbulkan pro-kontra para cendekiawan muslim dunia. Hal ini dipicu oleh kontrasnya panorama realitas sosial masyarakat muslim yang modern, plural dan heterogen dengan realitas sosial masyarakat muslim lainnya yang terkesan klasik, ortodok dan mu'tazil.
Pemandangan ini bisa ditelisik dari sejarah Islam yang pada jaman dahulu hanya berkembang di Jazirah Arab, Timur Tengah, dan sebagian Afrika. Namun setelah Islam berkembang pesat di Asia Tenggara, Eropa dan Amerika, sangat dirasakan adanya perbedaan realitas yang menuntut munculnya wacana fiqih baru yang bisa bersahabat dan mampu mengakomodir kemaslahatan seluruh umatnya yang tersebar di berbagai benua.
Khazanah fiqih adalah kawasan liberalis intelektual para mujtahid dalam mentafsirkan atau menggali hukum dari sumber-sumbernya, hanya saja dengan kode etik dan dlawâbit yang telah ditetapkan oleh para cendekiawan dalam ushûl al fiqhnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya hukum-hukum fiqih yang hanya bertendensikan 'urf atau adat, mashlahah al-mursalah, dlarurat, sadd al-dzarai' dan lain sebagainya yang termasuk dalam dalil-dalil yang mukhtalaf fîh, sehingga berimplikasi pada ketidakmenentuan dan fleksibelitas fatwa atau hukum fiqih. Perubahan itu didasarkan pada perubahan kondisi atau realitas yang terjadi dalam masyarakat sekitar sehingga menuntut terjadinya perubahan hukum yang oleh para ulama diistilahkan dengan taghayyurul hukm yang merupakan reaksi dari taghayyur al-zamân wa al-makân.
Bertolak dari prolog di atas, fiqih yang merupakan pengetahuan atau ilmu tentang hukum-hukum Islam yang dideduksi dari sumber-sumbernya yang partikular dan bersifat dzanni yang sudah barang tentu masih bisa diamandemen atau direkonstruksi sesuai dengan realitas masyarakat setempat -namun, bukan semua hukum bisa direkonstruksi dan tidak disesuaikan dengan keinginan atau kepentingan individu, golongan, kelompok bahkan negara. Maka seyogyanya fiqih harus bisa mengakomodir dan tampil kooperatif terhadap wacana atau realitas sosial yang baru-baru ini mengemuka di panggung publik. Langkah akomodir dan kooperatif ini tidak lantas hanya diwacanakan dengan munculnya fatâwâ al-mu'âshirah atau wacana yang seringkali diistilahkan dengan fiqh al-nawâzil, namun butuh langkah-langkah praktis dan dinamis dalam mensosialisasikan bahwa Islam adalah agama yang rahmah lil'âlamîn dan murûnah selaras dengan realitas sosial masyarakat setempat (shâlih fî kull zamân wa makân).
Fiqih Islam juga tidak lepas dari wacana pro-kontra baik dalam mazhab atau antar madzhab lainanya. Dari perbedaan pendapat antar ulama ini, berimplikasi terhadap lahirnya khilaf yang cukup tajam sehingga dengan perbedaan itu bukanlah menjadi sebuah wacana atau khazanah keragaman Islam (ikhtilâf ummatî rahmah) tetapi justru menjadikan pengikutnya terjerumus kedalam fanatisme bermadzhab ('ashabiyyah), sehingga tidak menerima dengan perbedaan dan pandangan atau pendapat madzhab lain. Di sini para cendikiawan muslim dituntut untuk mensosialisasikan arti sebenarnya tentang madzhab atau sekte, sehingga masyarakat mampu membuka pandangannya mengenai keberagaman hukum yang ada dalam fiqih Islam.
Fiqih akomodatif dan kooperatif, akhir-akhir ini banyak diusung dan disosialisasikan oleh kalangan mu'âshirîn demi menjaga univikasi dan menjauhi perpecahan yang sampai menyentuh sakralitas beridiologi, yakni saling menyematkan label sesat dan kufur sesama muslim. Abu Bakar ibn Ali Al'adni dalam menyatakan pentingnya wacana responsif sebagai langkah apresiasi dan koreksi terhadap perkembangan jaman dan realitas masyarakat yang berbeda dengan realitas jaman dulu. Dalam bukunya, fiqh al-tahawwulât dia mengusung univikasi umat Islam di berbagai belahan dunia dengan mengedepankan wacana rukun iman yang kelima, iman kepada hari kiamat. Hal serupa telah dilakukan oleh Abdullah ibn Mahfudz ibn Bayyah dengan mengangkat fiqih minoritasnya walau masih menjadi wacana pro dan kontra antar ulama. Ia dalam fatwa-fatwanya cenderung melakukan langkah simplifikasi dan melakukan survei dan mewacanakan khilaf para ulama sebagai responsifitas dan selektifitas jawaban yang sesuai dengan realitas sosial.
Menurut penulis, gagasan fiqih akomodatif juga dapat disosialisasikan sebagai langkah awal yang praktis dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Memahami hadits "man qâl lâ ilâh illallâh dakhal al-jannah". Hadits ini sebagai inspirasi untuk mewujudkan univikasi umat Islam (wihdah al-ummah) di berbagai belahan dunia dan menghilangkan manhaj takfir antar sesama umat Muhammad saw. Pemahaman ini merupakan catatan penting demi menghilangkan sekat atau dikotomi aliran atau madzhab tertentu sehingga antar umat Islam berbaur dan bernaung dibawah payung Islam yang rahmat lil'âlamîn.
2. Sosialisasi tunggalisasi syari'at. Syari'at Islam yang luas dan mencakup tiga sendi penting dalam sendi-sendi Islam; iman, islam dan ihsan sangat berbeda dengan makna fiqih yang cakupannya lebih sempit dan kajiannya hanya berkaitan dengan aktifitas keseharian muslim mukallaf dalam tataran sah dan tidaknya ibadah atau muamalah seseorang. Fiqih yang sempit kadang berdampak pada kesalahfahaman sesorang dalam mengartikannya, sehingga bisa disetarakan dengan syari'at yang menurut sebagian golongan, ketika sudah berbeda dalam hukum fiqih yang dianutnya maka secara spontanitas disematkan label sesat dan tidak sesyari'at.
3. Mereinterpretasi hadits "man ijtahad fa`ashâb falah `ajrâni, wa man ijtahad fa`akhtha` falah `ajr wâhid" sebagai bentuk sosialisasi atas legalitas madzhab-madzhab lain yang telah diakui oleh para cendikiawan muslim. Tahapan ini mengajak masyarakat luas untuk tidak saling lempar kata sesat antar satu sekte dengan yang lainnya dan menghormati perbedaan-perbedaan madzhab lain.
4. Memahami kembali makna madzhab fiqih. Wacana ini sebagai penjelasan atas absurditas pemaknaan madzhab sehingga wawasan madzhab lebih luas dan masyarakat bisa memilih dan mengamalkan madzhab lain baik dalam darurat atau tidak agar tidak terjebak dalam hukum-hukum haram yang kadang memberatkan pengikutnya. Hal ini tentunya dengan aturan atau dlawâbit yang jelas agar tidak terjerumus dalam talfîq dan tatabbu' al-rukhash (mengamalkan pendapat-pendapat yang ringan dari berbagai madzhab).
5. Mengenalkan fiqih muqâran (perbandingan madzhab) sebagai awal langkah mensosialisasikan wacana khilâfiyah madzhabiyah. Wawasan perbedaan pendapat antar para ulama sangatlah penting sebagai barometer keyakinan seseorang terhadap madzhab yang dianutnya dan mengetahui dalil dan hujjah dari madzhab lain dalam memandang permasalahan yang berbeda hukum.
6. Mengumpulkan dan memungut kembali pendapat para ulama baik satu madzhab atau antar madzhab dan meninjau ulang pendapat mereka yang telah lama dibuang dan dicampakkan begitu saja sebagai langkah mengakomodir dan mencari pendapat para ulama yang sesuai dengan daerah atau realitas masyarakat tertentu. Dari kumpulan hukum tadi bisa disosialisasikan dan diaplikasikan dalam lingkungan yang sesuai dengan hukum yang ada, sehingga tidak memberatkan penganutnya dalam menjalankan aktifitas ibadah dan muamalahnya.
7. Menghormati pendapat orang lain dan tenggang rasa antar sesama. Hal ini sebagai wujud aplikasi sosial antar sesama, dimana rasa ini harus dipupuk sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik antar madzhab.
Secara global dan kesimpulan dari langkah-langkah alternatif ini bertujuan menghilangkan atau meminimalisir fanatisme bermadzhab yang berimplikasi pada musibah besar; saling melempar kata sesat dan takfir antar umat Islam. Ini merupakan langkah awal untuk mengakomodir semua pendapat ulama yang terkumpul dalam karya-karya mereka yang terdokumentasikan sejak awal munculnya Islam, sehingga bisa muncul fiqih yang akomodatif. Langkah selanjutnya dengan meninjau kembali pendapat-pendapat para ulama, terhitung dari jaman sahabat sebagai bentuk selektifitas pendapat yang bisa diaplikasikan dan dikondisikan dengan keadaan yang ada. Dan langkah terahir adalah dengan memunculkan fatâwâ mu'âshir dan fiqh al-nawâzil. Wallâh a'lam.

***) Penulis adalah Mahasiswa Univ. Al-Ahgaff tingkat III sekaligus menjabat sebagai ketua FORMIL 2009-2010 .


Selengkapnya....