Tujuan Mendirikan Halaqoh Taklim

(bagian 1 : Mukadimah)
Oleh : Musa
Halaqoh ta'lim merupakan salah satu metode belajar-mengajar classic yang masih eksis hingga sekarang. metode ini merupakan merupakan warisan kebudayaan yang sudah seharusnya kita jaga karena alasan tertentu. Diantaranya adalah efektifitas metode ini. Kenyataan membuktikan bahwa metode belajar mengajar dengan cara halaqoh mampu menghasilkan ilmuwan-ilmuwan yang kompeten di bidangnya. Semisal Imam Syafi'i RA yang merupakan lulusan halaqoh ta'lim Imam Malik, Imam Ahmad lulusan halaqoh Imam Syafi'i dan lain sebagainya.

Dengan metode ini seorang guru dapat lebih akrab dengan muridnya karena posisi mereka yang berhadapan langsung dengan jarak yang dekat. Kedekatan jarak ini yang dapat membantu seorang murid untuk mendengar keterangan guru lebih jelas. Juga dapat membantu guru dalam memperhatikan gerak-gerik murid antara yang memperhatikan dan tidak memperhatikan. Seorang murid juga dapat dengan mudah memaparkan kesulitan-kesulitan yang tidak ia pahami dari penjelasan guru. Ia juga dapat mengusulkan pendapat-pendapatnya dengan leluasa. Dan masih banyak lagi keunggulan halaqoh ta'lim.
Kemudian apa sih yang dimaksud dengan halaqoh ta'lim? Dan apa pula tujuan dari pendirian halaqoh ta'lim? bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan tersebut?
Untuk menjawab itu semua, saya –dengan izin Allah swt- akan mencoba menerangkan buku "maqoshid halaqot ta'lim wa wasa'iluha" yang ditulis oleh beberapa peserta dauroh di ribath Al-Musthofa tahun 1416 H yang dibimbing langsung oleh Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidh. Bagi Anda yang telah memiliki bukunya bisa dibaca sendiri dan memberikan masukan jika nanti keterangan saya ada yang tidak sesuai dengan maksud yang ada dalam buku tersebut.
Karena pembahasannya agak panjang maka –insya Allah swt- tulisan ini akan bersambung dari edisi ke edisi. Semoga Allah swt memanjangkan umur kita serta memberikan keberkahan waktu pada kita untuk bersama-sama mencoba mengaiz ilmu demi mendapatkan ridho-Nya. Amin.
Baiklah, sebelum kita mulai membahas tentang buku "maqoshid halaqot ta'lim wa wasa'iluha" (selanjutnya kami singkat mahattawa) mari kita mengenali definisi halaqoh ta'lim.
Dalam kamus kata alhalaqoh digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang melingkar, kemudian digunakan juga untuk menyebut orang-orang yang duduk melingkar dalam sebuah majlis, yang mana termasuk di dalamnya adalah sekelompok murid yang duduk melingkar mengitari gurunya . Sedangkan kata ta'lim adalah mashdar dari fi'il allama yang mana dalam konteks (علم المدرس التلميذ العلم) artinya adalah guru menjadikan sang murid mempelajari sebuah ilmu.
Lebih mudahnya, halaqoh ta'lim adalah kumpulan murid-murid yang duduk mengitari guru yang sedang mengajarkan ilmu dengan metode talaqqi yang bersambung dari guru ke guru . Dalam mahattawa dicontohkan seperti halaqoh-halaqoh yang ada di Darul Musthofa.
Selanjutnya mari kita mulai memasuki mukadimah mahattawa yang ditulis oleh Al-Allamah al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim.
Pada paragraf pertama Al-Habib menyeru kepada kita agar tidak lemah dan bermalas-malasan dalam menyelenggarakan halaqoh ta'lim baik untuk anak-anak, remaja maupun orang-orang tua. Dalam hal ini beliau mengambil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairoh :
((من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا))

Artinya kurang lebih : "barang siapa mengajak (orang lain) menuju hidayah, maka ia berhak mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun".
Beliau juga menyebutkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abdullah bin Umar yang artinya kurang lebih : sampaikanlah (kepada orang lain) dariku walaupun satu ayat. Dan beberapa hadits lain yang senada dengan kedua hadits diatas.
Sekarang mari kita coba bersama-sama menelaah pembukaan al-Habib diatas.
Pertama, kita tidak boleh lemah ataupun malas dalam menyelenggarakan halaqoh ta'lim. Mungkin yang dimaksud Al-Habib dengan kata jangan lemah adalah jangan merasa bahwa kamu adalah orang yang lemah sehingga tidak pantas untuk membuka majlis ta'lim. Dan hal ini memang benar-benar terjadi. Sebagian dari santri (tholibul ilmi) enggan membuka majlis taklim di kampungnya dengan dalih ia merasa belum mumpuni untuk membuka halaqoh karena ia merasa hanya baru belajar di pondok tiga tahun dan hanya tahu safinah atau matan taqrib saja. Dia takut ditanya permasalahan-permasalahan yang belum ia ketahui. Dan itu pernah terjadi pada penulis ketika diminta sebaian masyarakat untuk mengisi di mushola di kampungnya. Sebenarnya jika santri yang baru mengetahui sedikit itu mendengar hadits ballighu anni walau ayat, niscaya dia akan memiliki rasa percaya diri untuk membuka halaqoh ta'lim. Karena dengan mengetahui safinatunnajah sebenarnya sang santri itu sudah mengetahui lebih dari satu ayat. Karena hukum-hukum yang ada di safinah tersusun dari banyak ayat yang akhirnya disingkat keterangannya dalam kitab matan safinah agar mudah dihapal dan diterapkan. Diantara perasaan lemah lain yang harus dihilangkan adalah perasaan takut kepada manusia. Ada sebagian santri yang enggan menyelenggarakan halaqoh ta'lim karena takut disakiti masyarakat atau dijauhi golongan tertentu. Kemungkinan lain dari perasaan lemah adalah lemah finansial. Sebagian santri merasa dirinya lemah dalam ekonomi sehingga ia enggan menyelenggarakan halaqoh ta'lim karena takut tidak makan. Padahal waktu untuk halaqoh tidak harus sehari semalam penuh. Bisa seminggu sekali atau dua kali. Dan itupun tidak harus tiga jam. Karena halaqoh ta'lim selama setengah jam sudah lumayan untuk menerangkan satu rukun wudhu. Jadi sebenarnya perasaan lemah ilmu, lemah jasad dan lemah ekonomi bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban menyelenggarakan halaqoh ta'lim.
Adapun untuk kata "malas" yang dimaksud oleh Al-Habib adalah isyaroh kepada orang-orang yang sebenarnya tidak merasa dirinya lemah dalam hal pengetahuan, jasad atapun ekonomi. Akan tetapi ia merasa enggan menyelenggarakan halaqoh ta'lim karena ia masih malas. Biasanya orang seperti ini memiliki dalih yang banyak untuk menutupi kemalasannya. Diantaranya adalah dalih bahwa ia belum mengamalkan . Dalih ini menunjukan ketidak pahaman santri tersebut. Karena hal itu adalah kesalahan besar yang harus dihindari seperti yang insya Allah swt akan diterangkan oleh Al-Habib melalui penjelasan Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad. Contoh dalih lain adalah ia merasa dirinya maih muda sehingga tidak pantas mengajari orang tua. Atau dia merasa masih banyak ulama yang menyelenggarakan majlis ta'lim.
Kedua, adalah tentang hadits-hadits yang disebutkan oleh Al-Habib. Sebenarnya saya bukan ahli hadits jadi kurang paham tentang seluk beluk hadits. Saya hanya akan mencoba menerangkan makna dhohirnya saja. Jika nanti ada yang salah mohon koreksi.
Hadits pertama memberikan informasi pada kita tentang pahala orang yang mengajak menuju hidayah (huda). Apa yang dimaksud dengan huda dalam hadits tersebut? Huda yang dimaksud dalam hadits ini adalah ilmu yang bermanfaat dan amal sholeh . Dan makna mengajak menuju huda adalah menyeru orang lain menuju sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk (huda) dalam hal ini adalah amal sholeh . Orang yang menyelenggarakan halaqoh ta'lim dan mengajarkan ilmu agama –tidak diragukan lagi semua yang diajarkan dalam islam adalah amal sholeh- di dalamnya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala yang didapatkan murid-muridnya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan pahala ini tidak akan terputus meskipun orang itu sudah meninggal. Sesuai dengan hadits Nabi saw tentang terputusnya amal anak adam kecuali tiga perkara, salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat. Alangkah mulianya orang yang menyelenggarakan halaqoh ta'lim.
Hadits kedua berisikan perintah dari Nabi saw untuk menyampaikan apa yang telah kita ketahui tentang ilmu yang dibawa Nabi saw walaupun yang kita ketahui adalah hal yang sangat sedikit. Jika kita melihat dari kata perintah yang ada dalam hadits tersebut kita dapat mengatakan bahwa menyampaikan apa yang kita ketahui tentang agama islam hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah ushul bahwa kata perintah menunjukan makna wajib. wallahu a'lam

(Bersambung insya Allah swt).

Selengkapnya....

PENANGANAN TERORISME, TAK CUKUP DENSUS 88

Oleh: Najih Becq
Para gembong teroris memang sudah mati, namun cita-cita mereka masih hidup. Noor din M Top cs memang sudah tewas, namun kita mesti waspada, karena mereka tentunya punya pengikut yang akan terus memperjuangkan cita teror mereka. Jadi jangan berharap aksi teror akan lenyap dari bumi pertiwi kalau cuma mengandalkan hard power, sebab tampaknya mereka lebih senang dengan hard power yang diperankan oleh polisi dan pemerintah,

karena mereka akan menganggap diri mereka mati syahid kalau dibunuh. Terbukti setelah terjadi penggerebekan di Solo yang menewaskan Noordin M Top cs, isu teror semakin menjadi. Seperti yang dilakukan oleh anak buah Noor din M Top, Syaifudin Zuhri, yang dikabarkan akan membunuh para pejabat negara termasuk Presiden SBY. Tapi teror itu berhasil dikandaskan karena Syaifuddin keburu tewas (jumat, 9-10-2009) dalam penggerebekan yang dilakukan oleh densus 88 di tempat kosnya. Fakta ini membuktikan bahwa pendekatan represif atau hard power hanya akan menyuburkan aksi terorisme. Oleh sebab itu, diperlukan peranan seluruh elemen masyarakat untuk menumpaskan aksi terorisme, salah satunya adalah peran ulama dan cendekiawan.
Patut kita ketahui bahwa motivasi para aksi teror itu bersembunyi dibalik ajaran agama, semisal mengira bahwa indonesia adalah negara kafir. Karenanya, peran ulama sangat urgent dalam penanganan terorisme, untuk meluruskan anggapan salah mereka. Peran mereka juga lebih efektif karena lansung ke masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat indonesia tidak tertular dengan ajaran radikal yang mereka pahami, juga memungkinkan untuk menyadarkan sisa-sisa pengikut Noor din M Top agar tidak mengulangi aksi teror yang merugikan bangsa dan agama ini. Sebab, soft power yang dimiliki oleh ulama inilah yang berpeluang melumpuhkan cita-cita dan ideologi radikal yang mereka pahami. Kalau usaha hard power dan soft power sudah berpadu maka akan berimbang dan lebih berpeluang untuk melenyapkan aksi teror di bumi indonesis tercinta, insyallah.
Kalau kita balik ke sejarah, Islam masuk ke indonesia dengan kelembutan dakwah, sehingga tak ada gesekan kekerasan dengan agama lama seperti Hindu dan Budha, artinya tolersansi sudah terwujud sejak dulu. Kalau sekarang muncul ajaran radikal, berarti itu suatu hal baru. Oleh sebab itu, sebelum ideologi radikal yang mereka pahami benar-benar menyebar, maka peran ulama sangat dibutuhkan untuk membentengi masyarakat dari ajaran keras mereka. Diharapkan ulama dan cendekiawan nanti, bisa duduk berdialog dengan orang-orang yang tampaknya mempunyai pemikiran radikal, lantas menjelaskan pada mereka bahwa teori–teori jihad yang diterapkan oleh teroris itu salah, mestinya dipakai dipalestina, sebab disitulah medan pertempuran, kalau dilakukan dibumi nusantara ini jelas salah sasaran.
Dalam berjihad, islam sendiri juga telah mengajarkan etika dan tidak asal ngebom sana sini. Salah satunya adalah seperti apa yang pernah disabdakan oleh Rasul saw ketika menyiapkan bala tentara muslim, beliau lantas berpesan pada mereka : “ Berangkatlah atas nama Allah dan berkah rasulnya, ingat jangan bunuh orang jompo, anak kecil dan perempuan. Jangan melakukan penganiayaan, berbuat baiklah karena Allah mencintai orang yang berbuat baik”. Pesan yang disampaikan oleh rasul kepada tentara muslim ini menunjukan bahwa Islam pengasih dan suka damai, bahkan seharusnya berada di garda terdepan untuk mewujudkan perdamaian dunia, bukankah islam itu rahmah lil alamin.
Alhamdulillah , sebagian ulama dan cendekiawan indonesia telah turun tangan untuk membendung ajaran terorisme. Seperti yang disitir dalam situs NU online, bahwa Maarif NU Jateng telah mewajibkan materi antiterorisme kepada seluruh satuan pendidikan di bawah naunganya. Langkah cemerlang Maarif NU jateng ini patut diacungi jempol, mengingat korban-korban doktrin radikal kebanyakan adalah pelajar dan kaum akademikus. Lha, dengan adanya obligasi materi antiterorisme dalam sebuah lembaga pendidikan, diharapkan pelajar dan mahasiswa dapat membedakan arti jihad sesungguhnya dengan jihad yang disalah artikan oleh para teroris. Oleh sebab itu, langkah ini mesti diikuti oleh ormas-ormas islam lainya dan kalau perlu juga lembaga-lembaga pendidikan milik negara, agar tak ada ruang bagi para teroris untuk menularkan ajaran radikal mereka. Semoga harapan kita ini terwujud, amin.

Selengkapnya....

Filosofi Ibadah Haji

Oleh: M. Robi Uz
“ Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh * Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka” (QS al-Hajj; 27-28).
Ibadah haji merupakan Anugrah Besar sekaligus pamungkas Rukun Islam. Ibadah yang hanya diwajibkan sekali dalam sepanjang hidup bagi orang-orang Islam yang mampu atau dalam Al-Qur'an disebut "man istatho’a".
Sayangnya, tafsir atas kalimat man istatho’a ini seringkali diidentikkan dengan uang. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Sama sekali tidak ada kaitan antara haji dengan uang. Nyatanya, banyak orang kaya yang tidak naik haji. Sebaliknya, banyak orang miskin yang berhaji. Bahkan, tidak sedikit yang beranggapan; tanpa haji, Islam seseorang belumlah sempurna. Sampai Rosulullah pernah bersabda, “Siapa yang wafat tapi belum pernah haji, maka mati saja dengan beragama yahudi atau nashroni”. Tentu orang yang dikecam Beliau adalah orang yang sudah mampu haji tapi masih enggan melaksanakan hingga ajal menjemput. Na’udzubillah…

Ibadah Haji dikumandangkan untuk kali pertama oleh Nabi Ibrahim a.s. sekitar 3.600 tahun lalu. Sedangkan Nabi Muhammad saw. melaksanakan haji bersama kaum muslimin pada tahun sepuluh hijriah. Ibadah Haji inilah salah satu bukti tali penghubung antara dakwah Nabi Ibarahim a.s dan Nabi Muhammad saw meski prektek-praktek Haji yang telah diajarkan Nabi Ibrahim sedikit demi sedikit telah mengalami perubahan dan penyelewengan, seperti thowaf dalam keadaan telanjang dan penyembahan berhala di depan Ka’bah. Namun kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Muhammad saw.
Di antara lima fondasi Islam, mungkin hanya hajilah rukun Islam yang sangat sulit dinalar bahkan bisa saja irrasional. Memang Allah sengaja bahkan sering menguji para hambaNya, diantaranya dengan memerintahkan iman terhadap sesuatu yang tidak terjangkau rasio. Kita harus rela mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT ini. Dan Dalam Haji, kita melakukan aktivitas-aktivitas yang boleh dikatakan aneh, tak bisa dicerna logika kita seperti melempar batu, keliling ka’bah tujuh kali, bolak-balik jogging antara bukit Shafa dan Marwa, dan masih banyak lagi. Dengan segala pengorbanan dan aktivitas-aktivitas semacam inilah, kehambaan dan keimanan kita akan semakin tampak dan teruji karena tidak mungkin kita bersedia melaksanakan hal-hal seperti ini dengan tulus selama akal dijadikan ‘Hakim nomor Wahid’ dengan mengesampingkan ajaran Ilahy. Nabi Muhammad pun mengakui Ibadah Haji bukan sesuatu yang rasioanal. Beliau bersabda, “Labbaik Bihajjah Haqqon Ta’abbudan wa Riqqon”. Dengan kegiatan-kegiatan haji ini, Iman dan Penghambaan kita bisa bertambah sempurna.
Namun demikian, banyak sekali hikmah dan makna-makna yang tercermin dalam pelaksanaan haji, baik dalam acara-acara ritual atau dalam tuntutan nonritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dan dalam bentuk real atau simbolik. Kesemuanya itu pada akhirnya mengantarkan jamaah haji semakin meyakini akan keesaan Tuhan, semakin mengingatkan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini yang akan dirasakan setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak, serta para jamaah haji akan semakin mengerti makna kemanusiaan yang universal tanpa perbedaan antara satu dengan yang lain.
Semua itu akan terasa begitu dahsyat dalam hati seorang yang haji ketika dia berupaya benar-benar menghayati makna-makna yang ada di balik ibadah haji. Berikut ini akan dikemukakan secara sepintas kilas beberapa hal yang berkaitan dengannya:
1) Ibadah Haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihrom.
Niat merupakan landasan moral, dasar, dan bentuk bagi sebuah perbuatan. Niat tidak hanya sekadar melafalkan kata-kata tapi upaya menghadirkan kesadaran jiwa dan pikiran dalam ibadah haji maupun yang lainnya. Bila kesadaran sudah tertanam dengan kuat, seorang dapat menampilkan kualitas ibadah haji secara optimal dan mampu meningkatkan wawasan wisata spiritualnya.
Pada umumnya, perbedaan pakaian juga menunjukkan perbedaan status social, ekonomi, atau profesi. Bahkan pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya. Di Miqot Makaniy, tempat memulai haji, perbedaan dan pembedaan pakaian tersebut harus ditinggalkan. Semuanya berpakaian sama. semuanya mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih sebagaiman kain kafan yang akan membalut dirinya saat mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini.
Seorang yang melaksanakan ibadah haji secara langsung atau tidak akan dipengaruhi oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya serta pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan.
Saat Ihram, Ia pun disunnahkan terus memperbanyak bacaan talbiyah; menyeru bahwa tiada sekutu bagi-Nya, segala puji, kenikmatan, dan kerajaan hanya milik-Nya.
2) Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus dihindari oleh pelaku ibadah haji.
Dilarang membunuh, Jangan menumpahkan darah, tidak boleh mencabuti pepohonan. Mengapa? Karena manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaanNya.
Dilarang juga memakai wangian, bersetubuh dan permulaannya, serta berhias. Mengapa pula? Supaya setiap pelaksana haji menyadari betul bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula birahi. Dan bahwa hiasan yang dipandang Tuhan adalah hiasan ruhani.
Sedang hikmah dari larangan menggunting rambut dan kuku adalah kesadaran akan jati dirinya dan menghadap Tuhan sebagaimana adanya.
3) Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Disana, misalnya, ada Hijr Isma’il yang arti harfiahnya “pangkuan Isma’il”. Al-kisah, disanalah Isma’il putra Ibrahim pernah berada dalam pangkuan ibunya bernama Hajar, seoarang wanita hitam, budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Dari Siti Hajar yang demikian ini, seorang pelaksana haji lebih bisa merenungi bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena nasab atau status sosialnya, tetapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan geliatnya untuk berhijrah dari kejahatan munuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju berperadaban.
4) Thawaf menjadikan pelaku-pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kekompakan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah.
5) Setelah thawaf, dilakukanlan Sa’i.
Disini, pelaku Haji hendaknya mengenang dengan penuh penghayatan akan sosok Siti Hajar lagi. Keyakinan wanita mulia ini akan kemahakuasaan Allah -yang sedemikian kokoh dengan bukti dia bersama anaknya rela ditinggal di suatu lembah yang tandus- tidak menjadikannya berpangku tangan dengan hanya menunggu turunnya hujan dari langit. Tetapi ia berusaha dan terus berupaya mondar-mandir berkali kali demi mencari air untuk kelanjutan hidup putranya.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah kesucian dan ketegaran, sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran dan harus diakhiri di Marwa yang berarti “sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain”.
Hasil usaha pasti akan diperoleh baik sebagaimana yang dialami oleh Siti Hajar bersama putranya, Isma’il a.s dengan ditemukannya air zamzam itu.
6) Di tanah ‘Arafah, padang yang luas lagi gersang itu, seluruh jamaah haji wuquf (berhenti) sampai matahari terbenam.
Berkumpulnya para jamaah di satu tempat memberi kesan bahwa ibadah haji sebagai media “ibadah sosial”, yakni terbangunnya relasi sosial yang kokoh dilandasi sikap saling mengenal, mengasihi dan menyanyangi diantara sesama manusia.
Di sanalah, mereka selayaknya menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula mereka seharusnya menyadari langkah-langkahnya selama ini. Di ‘Arafah pula, seharusnya mereka menyadari betapa agung Allah yang kepada-Nya bersembah seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniature di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di Padang ‘Arafah menjadi ‘Arif (sadar) dan mengetahui.
7) Dari ‘Arafah, para jamaah ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian selanjutnya ke Mina dan disanalah para jamaah haji melampiaskan kebencian dan amarahnya masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai simbol bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita.
Demikianlah, ibadah haji merupakan himpunan simbol-simbol yang begitu indah. Apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya ke dalam lingkungan Ilahi dan kemanusiaan yang hak sesuai yang dikehendaki oleh Sang Penciptanya, Allah SWT… Wallahu A’lam

Refrensi :
1. Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazaly ra.
2. Al-Hajj wa Fadlluhu wa Fawa’iduhu, karya Syekh Abdul Muhsin al-Badr
3. Membumikan Al-Qur’an, karya Bapak Quraish Shihab
4. www.GusMus.net


Selengkapnya....

TERUS MELANGKAH DALAM BERSERAH

(ibnu Atho'illah)
Jangan berkawan dengan orang yang keadaannya tidak membangkitkan semangatmu dan pembicaraanya tidak membimbing kejalan Allah.




Boleh jadi engkau berbuat buruk tetapi tampak olehmu sebagai kebaikan lantaran engkau berkawan dengan orang yang tingkah lakunya lebih buruk darimu

Selengkapnya....

Beda mereka

Ketika…
Sang surya menapak
Jengkal demi jengkal
Seundak perundak
Tangga tahta kekuasaan sang Raja


Ketika …
Melenggang sombong
Diarak jalanan langit yang gemawan
Tampaknya ia akan semakin bengis
Semakin ganas tatapnya menyayat ari
Menancapkan imperial kuasanya
Atas orang-orang bumi

Aku masih nyantai
Tepekur di pojok ruangan ini
Menikmati syahdu ayat qurani
Dilantun mulut sendiri
Tapi, aku harus pergi

Kuangkatlayangkan kaki ini
Menerobos kejam terik siang matahari
Panas…
Angin datang melabrak
Ah cuek saja, Aku tak peduli

Tiba-tiba!
Pandangan ajib mengganjal mata
Bocah-bocah itu, masih kecil lagi
Lusuh pula pakaian mereka
Hampir camping
Berjejar berdiri disana
Di samping rindang pohon semak
Di pinggir jalanan ini

Allahu akbar…!
Sayup kudengar mulut mungil bersua
Menggemakan lontas keagungan-Mu
Aku tertegun…
Aku terdiam …
Aku heran …
Aku ingin bertanya.
Seribu tanya: siapa dan bagaimana

Aku menerawang
Bocah-bocah seumur mereka
Tapak tanpa alas seperti mereka
Compang pakaian seperti mereka
Di jalanan Jakarta
Adakah mereka seperti mereka?


Faqihmuqaddam, PaginyaJum`at, 24 R. Tsani 1430.


Selengkapnya....

Mengasah Keindahan Seni Berinteraksi

AM Saputra
lebih kurang sepuluh tahun yang lalu tepatnya ketika saya masih duduk di bangku madrasah, saya sering mendapatkan wejangan dari Pak Miftah guru kaligrafi untuk sering berlatih dan berlatih dalam menekuni suatu bidang tertentu. Ketika mendapatkan pelajaran dasar menulis kaligrafi di kelas, beliau bilang lebih baik latihan menulis satu kalimat sebanyak 100 kali dari pada menulis 100 kalimat tetapi cuman sekali (1x100 lebih baik dari 100x1).

Apalagi bagi pemula, kaedah-kaedah menulis kaligrafi "khot naskhi" yang merupakan khat wajib dalam seni kaligrafi membutuhkan ketelitian dan ketelatenan tersendiri dimana kehalusan menulis tidak akan dihasilkan kecuali dengan terus menerus berlatih. Saya yang tulisannya tidak lebih baik dari batik ceker ayam merasa mendapatkan support, setelah sekian lama alhadulillah usaha itu mendatangkan hasil yang tidak sia-sia, tulisan arab saya sudah dapat dibaca dengan nyaman meski tidak sebagus guru saya.
Kaitannya dengan seni berinteraksi antar sesama manusia (fan ta'amul ma'a an-naas), dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita mendapati orang yang sangat disayang oleh keluarga, teman, sahabat dan sanak familinya. Keberadaannya benar-benar memberikan kesejukan dan keteduhan, tutur katanya bak air segar menyirami padang hati yang gersang, sikapnya santun dan tidak pernah menyakiti atau mengecewakan, subhanallah kita sampai bergumam betapa beruntungnya dia. Keberadaanya menenangkan sementara kepergiannya senantiasa dinantikan. Sementara di sisi kehidupan yang lain, kita juga kerap kali menemukan orang yang sama sekali tidak disukai, sikapnya keras, perkataannya tajam bak sembilu menyayat kulit dan qolbu, keberadaanya tidak diharapkan serta keperginya sentiasa dinantikan, masayaAllah!? Betapa sulitnya kehidupan tipe orang yang kedua ini dalam bergaul dengan masyarakat.
Melihat kenyataan itu, tentunya kita sangat berharap untuk dapat menjadi orang yang pertama bukan. Siapa sich yang tidak ingin mempunya kawan banyak, dikasihi dan disayangi, kehadiran kita selalu diharapkan dan seterusnya. Adakah hal itu bisa kita lakukan? Ataukah bakat itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang pilihan saja? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita rujuk kembali as-Sunnah sumber falsafah hidup seorang muslim, bagaimana Rasulullah menyampaikan misi diutusnya ke dunia ini seraya berkata: "hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa bagaimanapun rupa dan bahasanya, selagi itu manusia maka ia pasti bisa mendapatkan bakat seni berinteraksi. Apa lagi ditambah dukungan wahyu yang membuat kita lebih optimis untuk dapat mengasah kemampuan seni berinteraksi, karena jika itu diniatkan untuk mendapatkan ridho-Nya maka ia akan mendapatkan hitungan pahala tersendiri. Bukankah Rasulullah mengajarkan bahwa senyuman itu sedekah? Bukan kita diajarkan Rasulullah untuk selalu memberikan kedamaian pada sesama apa lagi kepada saudara kita seiman.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, selagi ada niat dan kemaun insyaAllah semuanya akan dimudahkan. Melatih senyum misalnya, mungkin bagi sebagian kita amatlah sulit dilakuin, tapi jika terus menerus dibiasakan lama-lama akan jadi mudah, malahan kalau gak senyum rasanya ada yang hilang dari kita. Yah gak apa, asal jangan jadi senyum-senyum sendiri tar malah dikira gak waras kan repot juga.
Dari sini marilah kita coba niatkan untuk dapat meniru suri tauladan kita, junjugan kita Sayyidana Muhammad Saw. Sungguh betapa berharganya hidup ini jika hanya untuk disia-siakan, betapa mahalnya nilai hidup ini jika digunakan hanya untuk bermusuhan dan sering mengecewakan orang, terlebih orang-orang yang kita sayangi. Sudah saatnya kita sematkan niat untuk merubah sikap agar lebih dapat diterima orang lain sekaligus menjadi pribadi yang menyenangkan demi meraih ridho-Nya. Kita rawat bersama niat ini ditambah usaha untuk mewujudkannya sehingga pada saatnya nanti Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk mewarisi "uswah" yang terkejewantahkan dalam kehidupan Rasulullah, Amin.

Selengkapnya....

Segera Bangkit Untuk Memperbaiki Diri Kita!

Oleh: Cakiconk
Seorang guru wanita sedang mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya dengan penuh semangat. Ia duduk menghadap para muridnya. Tangan kirinya memegang kapur dan tangan kanannya memegang penghapus. Guru itu berkata: "Anak-anak, Saya punya satu permainan... Caranya begini: di tangan kiri saya ada kapur, dan di tangan kanan ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka kalian bilang "Kapur!", jika saya angkat penghapus ini, maka kalian bilang "Penghapus!" setuju?". Para murid menjawab: "setuju!!!".

Murid-muridnya pun paham dan mengikuti perintah sang guru. Si Guru bergantian mengangkat antara tangan kanan dan tangan kirinya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian, guru kembali berkata: "Baik, sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka kalian bilang "Penghapus!", dan jika saya angkat penghapus, maka kalian katakan "Kapur!", oke?". Setelah mereka setuju maka diulang-ulanglah cara kedua ini seperti sebelumnya, tentu saja para murid tadi awalnya keliru dan merasa kaku serta sangat kesulitan untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka menjadi biasa dan tidak lagi kaku. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. "Anak-anakku, begitulah kita, umat Islam. Mula-mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas dapat membedakannya. Namun kemudian, musuh-musuh kita memaksakan kepada kita dengan berbagai cara, untuk menukarkan sesuatu, dari yang haq menjadi bathil dan begitu juga sebaliknya. Awalnya, mungkin terasa sulit bagi kita untuk menerima hal tersebut, tapi karena hal tersebut terus-menerus disosialisasikan oleh mereka dengan cara-cara yang menarik, akhirnya lambat laun kita pun terbiasa dengan hal itu Dan selanjutnya kita mulai mau menerima dan mengikutinya. Musuh-musuh kita tidak pernah berhenti memutar-balikkan dan menukar nilai dan etika islam. "Keluar berduaan, pacar-pacaran bukan lagi suatu yang aneh, Zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi sudah jadi hal yang lumrah tanpa rasa malu, sex sebelum nikah sudah menjadi suatu kebiasaan dan trend, dugem, hiburan yang asyik nan panjang sehingga melupakan yang wajib adalah biasa, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup (life style) baru, meninggalkan shalat, puasa sudah jadi doyanan tanpa penyesalan sedikit pun dan lain-lainnya. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, sedikit demi sedikit kita menerimanya tanpa merasa bahwa hal itu adalah suatu kesalahan dan kemaksiatan besar. Paham?" tanya Guru kepada murid-muridnya. "Paham bu guru..."

"Baik, permainan kedua..." sang Guru melanjutkan. "Ibu Guru punya mushaf al-Qur'an, Ibu Guru akan metakkan mushaf ini di tengah karpet. Sekarang, kalian berdiri di luar sisi karpet tanpa menginjaknya. Aturan mainnya adalah, bagaimana cara mengambil mushaf al-Qur'an yang ada di tengah itu tanpa menginjak karpet?" para murid pun berpikir. Ada yang mencoba alternatif memakai bantuan tongkat dan lain-lain. Namun sang guru menganggap itu kurang tepat. Akhirnya Guru memberitahukan jalan keluarnya, digulungnya karpet itu, lalu dia ambil mushaf al-Qur'an yang ada di tengahnya. Ia memenuhi syarat, yaitu tidak menginjak karpet. "Anak-anakku, begitulah gambaran umat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-injak islam kita dengan terang-terangan. Karena tentu kita akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasa pun tidak akan rela kalau Islam dihina di hadapan mereka. Melainkan langkah yang mereka ambil adalah mereka akan menggulung kita perlahan-lahan dari pinggir, sedikit demi sedikit agar kita tidak sadar bahwa kita sedang di serang".

"Jika seseorang ingin membangun sebuah rumah yang kuat dan kokoh, maka harus dibuat pondasi yang kokoh pula. Sama halnya dengan Islam, jika kita ingin islam tegak dengan kuat dan kokoh, maka kita harus membangun aqidah yang kuat pada diri kita sebagai pondasinya dan syari'ah yang kokoh sebagai pilar-pilarnya. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang ingin membongkar sebuah rumah, tentu akan kesulitan kalau pembongkaran dimulai dari pondasinya, untuk itu tentu saja mereka akan menurunkan hiasan-hiasan dinding terlebih dahulu, kursi-kursi dan meja dikeluarkan, lemari dan lain-lainnya dikeluarkan satu persatu, setelah itu baru rumah dihancurkan. Begitulah musuh-musuh Islam dalam menghancurkan islam. mereka tidak akan menyerang kita terang-terangan, melainkan mereka akan perlahan-lahan mengerogoti nilai-nilai keislaman dari para pemeluknya. Mulai dari akhlak/perangai kita, cara hidup, cara berfikir, berpakaian, makanan dan lain sebagainya, sehingga meskipun kita muslim, tapi kita telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang diam-diam mereka masukkan sebagai pengganti nilai-nilai keislaman. Dan seperti itulah yang mereka inginkan. Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran). Dan inilah yang sedang dijalankan oleh musuh-musuh kita". "Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak islam, bu Guru?" tanya seorang murid. "Memang dulunya mereka terang-terangan menyerang islam, seperti peristiwa Perang Salib, Perang Tartar dan lain sebagainya. Tapi serangan semacam itu mudah diketahui dan mudah diatasi. Dan sekarang sudah tidak lagi. Karena mereka sudah tahu akibatnya. Ya, Begitulah Islam. kalau diserang serentak secara terang-terangan, maka semua akan bangkit secara serentak, melawan dan memberontak. mereka akan sadar kalo agamanya sedang diserang musuh dan mereka pun akan bergegas membelanya. Tapi kalau diserang perlahan-lahan dari dalam maka mereka, umat islam, tidak akan sadar kalo agamanya tengah dirongrong. Sedikit demi sedikit nilai-nilainya pudar dan pada akhirnya mereka hancur lebur". Dengan intonasi laun, Sambil menutup buku dan memasukkannya kedalam tas, sang guru pun mengakhiri jam pelajarannya.

"Kalau begitu, mari kita akhiri pelajaran kita kali ini, dan sebelumnya mari kita berdoa terlebih dahulu sebelum pulang...." Matahari bersinar dengan teriknya tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

RENUNGILAH SOBAT!
SEMOGA ALLAH MEMBERI TAUFIQ DAN HIDAYAH PADA KITA DAN KELUARGA KITA... MARILAH KITA SAMA-SAMA SADAR BAHWA AGAMA, BANGSA DAN TANAH AIR KITA SEMAKIN TERANCAM, UMAT ISLAM SEMAKIN MUDAH DIBELI DENGAN UANG, DILALAIKAN DENGAN KEINDAHAN DAN KESERAKAHAN HIDUP, HINGGA HILANG MARTABAT DAN HARGA DIRINYA!! INI LEBIH PENTING BAGI KITA UNTUK BERSATU DARIPADA NGELADENI SAUDARA-SAUDARA KITA YANG TIDAK SEPAHAM. Wabillahit taufiq wal hidayah.


Selengkapnya....