INDAHNYA CERITA

Kadang aku teringat, saat saat semua disana
Bercanda ria, penuh senyum dan tawa
Berkarya dengan dunia
Mengukir cerita bersama
Tampak indah..


Tak terlukiskan oleh kanfas
Dan tak terbayangkan oleh angan angan
Hanya jiwa yang setia nan abadi selamanya
Tapi sekarang, hanya tatapan hampa
penuh fatamorgana
Inginku mendobrak masa
dan kembali mengukir cerita
tapi ternyata Hanya kenangan masa
Tak mungkin lagi menghampirinya
Biarlah pelangi itu sebagai saksinya
Berikan warna indah dalam setiap jiwa
Goresan indahnya cerita kita
Hanya waktu yang akan membawa kita
Penuhi cerita lalu
Cerita indah kita bersama.
Meski masa telah tiada
Tapi hati akan selalu terjaga
Mengingat masa lalu
Masa saat kita bersama.
Penuhi goresan tinta
Dalam sebuah memori indahnya cerita
Cerita kita semua.

Tarim, By: Pisces boy




Selengkapnya....

COBALAH KELEZATAN AQWAMMEDIA

Oleh : saeva (Mustawa IV)

Terima kasih kepada seluruh penulis aktif aqwammedia. Semoga karya-karya Anda selalu memberikan sumbangan pencerahan untuk segenap warga FORMIL dan sekitarnya.
Dalam tradisi tulis-menulis di media umum, kritik-mengkritik merupakan hal yang wajar. Dan lebih dari itu beberapa tikaman kritik pedas yang sifatnya ditujukan kepada seseorang atau kelompok tertentu sangat tepat sasaran dan tidak jarang menimbulkan reaksi jauh melebihi maksud dari kritik itu sendiri.





Indah, sangat indah sekali tradisi yang telah dilahirkan oleh aqwammedia, saling menuangkan pemikiran masing-masing individu untuk saling memberi masukan yang diharapkan dapat memberikan kemajuan bersama melalui media tertulis yang dapat dinikmati semua orang. Tradisi seperti ini lebih baik daripada tradisi ghibah. Karena pembicaraan yang disampaikan melalui tulisan langsung dapat dibaca oleh orang yang dituju, sehingga seolah-olah kedua belah pihak pengkritik dan terkritik saling berhadapan. Dari sinilah tradisi tulis-menulis dapat dikatakan tidak termasuk dalam definisi ghibah.
Namun, beberapa rakyat FORMIL yang tidak masuk dalam kelompok pengkritik atau yang dikritik sering sekali acuh dan bahkan enggan untuk sekedar menengok opini-opini tersebut. Karena dia tidak terlibat dalam maudlu' yang sedang dibicarakan para penulis aktif mading tersebut. Sehingga pembaca aqwammedia (untuk kolom opini) hanya beberapa orang saja. Dan hampir semua pembaca itu adalah orang yang berkepentingan dengan tema opini tersebut. Hal ini bukan salah para penulis, karena mereka telah melakukan jalur yang benar dalam mengutarakan opini mereka. Permasalahannya adalah rakyat FORMIL yang peduli pada FORMIL sangat minim. Sehingga tulisan-tulisan dalam aqwammedia yang bertema kritik atau masukan tidak mereka pedulikan. Bahkan ada yang hanya membaca judulnya saja kemudian berkomentar : "kurang kerjaan, bisanya hanya menyalahakan orang. mendingan menulis sesuatu yang ilmiah atau humor dari pada mempersoalkan permasalahan klasik seperti ini". Dari kalimat itu sangat tercermin ketidak pedualian orang tersebut terhadap perkembangan problem sosial. Dan orang seperti ini biasanya belum pernah mengirim tulisan di Aqwammedia.
Selain kolom opini, kolom cerpen dan humor adalah kolom favorit pembaca yang tidak boleh dikesampingkan. Sayangnya dalam tiap edisi aqwammedia tidak banyak menampilkan kolom tersebut. Mungkin hanya kolom-kolom kecil saja. Ada dua kemungkinan mengapa tim redaksi tidak banyak memuat kolom humor. Pertama, kekurangan pengirim tulisan humor. Kedua, pengirimnya banyak akan tetapi karena arena yang sempit dan terlalu banyaknya halaman opini dan artikel akhirnya kolom humor banyak yang ditunda. Persoalan yang kedua dapat diatasi dengan cara memperkecil tulisan atau menyettingnya sebisa mungkin agar aqwammedia bisa optimal. Namun, untuk persoalan pertama, solusinya sangat sulit. Bukan karena rakyat FORMIL tidak suka humor, atau karena mereka tidak suka cerpen. Akan tetapi karena kebudayaan menulis belum kita miliki. Kebanyakan dari kita lebih suka bercerita dengan lisan dari pada bercerita dengan tulisan.
Kolom lain yang sangat bermanfaat adalah artikel. Kolom ini sangat jarang sekali. Jika ada biasanya isinya sedikit sekali. Padahal dunia kita adalah dunia ilmiah yang sarat dengan pengetahuan. Akan tetapi, karena alasan waktu banyak penulis-penulis handal FORMIL yang tidak sempat mengirimkan artikelnya. Kepada para pembaca yang ahli dalam bidang ini, mohon untuk menyempatkan diri mengirimkan sedikit fawaid yang Anda ketahui. Karena pengetahuan yang anda sampaikan disini akan sangat bermanfaat untuk kami. Ala kulli hal, saya berterimakasih kepada teman-teman yang telah memberikan sumbangan artikel di aqwammedia ini terutama mas Gali.
Rekan-rekan senasip dan seperjuangan, sebaiknya kita melihat Aqwammedia sebagai sarana untuk mengasah kemampuan kita. Kita coba untuk mengirimkan karya kita apapun bentuknya. Kemudian kita perhatikan, apakah karya kita digemari oleh masyarakat atau tidak. Atau apakah karya kita sudah baik atau belum. Atau apakah karya kita masih banyak memiliki kesalahan sehingga ada kemungkinan tulisan kita akan ditentang, dijawab atau akan dikritisi.
Kepada Anda yang telah merasa mahir dalam bidang jurnalistik dan sudah tidak perlu lagi mengasah kemampuan, Jadikanlah Aqwammedia sebagai ajang menuangkan pemikiran Anda sekaligus mengajari kami tulis-menulis dari sela-sela karya Anda.
Setelah kita mencoba untuk memproduksi karya, kemudidan kita hidangkan dalam papan mading, mari kita bersama-sama menikmati kelezatan Aqwammedia.

Selengkapnya....

ASPEK BELAJAR PESANTREN VS ARAB

Oleh: Muhammad Ufi Isbar Bin Naufal*

Terkadang realita itu membuat kita terkecoh. Tak jarang seorang yang mulanya rajin ibadah, tersandung dengan realita akhirnya dia mengesampingkan ibadahnya dan diganti dengan bekerja. Tak sedikit pelajar yang rajin dan sering mendapatkan 'medali' penghargaan, harus berbalik setir untuk bekerja dikarenakan realita yang memaksa. Dan hal ini tidak dapat dipungkiri dengan mudah. Bisa dikatakan bahwa realita adalah 'si pemaksa ulung'.


Di saat zaman modern ini, banyak realita yang menuntut untuk instant. Sarana dan prasarana dicurahkan untuk menginstankan semua hal. Mulai diciptakan mi instant yang siap saji hanya dengan beberapa menit saja, ada kereta yang berkecepatan tinggi, tentunya ini akan menginstankan waktu. Instant dan efesien merupakan ukuran masa sekarang. Dan tak ketinggalan pula, kurikulum pendidikan diolah se-instan dan se-efesien mungkin. Kursus kilat, les-les dan tetek bengeknya dimunculkan dan tak lain alasannya agar instant dan efesien waktu.
Diantara lembaga pendidikan yang mulai "terkena polusi", yakni terpengaruh realita ini adalah pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga tertua di Indonesia yang menelorkan pejuang-pejuang saat masa peperangan, mencetak kader yang dapat mewarnai bangsa. Lembaga ini pun mulai banyak menuai kritik dikarenakan tidak sesuai dengan realita, dan tidak relevan. Tidak relevan disini ditujukan pada metode pendidikan, bukan ajaran. Metode atau manhaj ta'lim dan ta'allum dengan system makna gundul ini yang mendapat sorotan. Banyak kalangan yang menilai ngaji bandongan dengan makna gandul ini tidak relevan dan sudah saatnya ditanggalkan. Mereka mempunyai beberapa argumen yang sangat tajam, diantaranya :
1. kurang efesien
Manhaj ini tidak efesien, karena membuang waktu. Waktu yang semestinya dialokasikan cukup satu jam untuk menerangkan, akibatnya memakan waktu dua sampai tiga jam. Bahkan yang sering terjadi di lapangan adalah prioritas berlebih terhadap makna ketimbang pemahaman. padahal yang lebih vital adalah memahami isi kitab itu, sebab makna bukan kebutuhan primer.
2. Melahirkan Ketergantungan
Efek negatif lain dari manhaj ini adalah melahirkan rasa ketergantungan pada makna bagi santri. Seringkali kang santri (sebutan untuk anak yang belajar di kurikulum ini/pesantren, red) merasa sulit untuk membaca karena makna tidak tertera di kitabnya.
Tapi, pendapat ini tidak semua benar. Tentunya, dalam semua hal terdapat sisi baik disamping sisi buruk. Dua hal ini, baik-buruk, siang-malam, cantik-jelek dan sebagainya adalah fenomena umum yang selalu berhadapan.
Sisi positif dari metode "ngaji badongan" dengan dimaknai adalah membantu kang santri dalam masalah I'rob. Secara tidak langsung, kitab yang bermakna akan mengurangi kesulitan murid dalam ilmu gramatikanya. Contoh:
Kalimat ALHAMDULILLAHI ROBBIL 'ALAMIN.
Jika dimaknai akan menjadi: utawi sekabeani puji patang perkara iku tetep kagungane Allah kang mengerani wong alam kabeh.
Di sini sangat jelas. Dalam metode memberi makna atau bahasa lain maknani sangat membantu. Dalam perspektif gramatika arab alif lam yang tertera pada kata-kata AL HAMDU merupakan alif lam yang berfungsi istighroqul jinsi (mengandung arti menyeluruh dan luas serta memuat arti kull (setiap/seluruh) ). Maka layak kiranya jika al hamdu diartikan setiap pujian atau seluruh pujian yang bahasa makna jawanya adalah sekabehan pujii patang perkara. Maksudnya adalah segala puji empat perkara. Kenapa harus empat? Karena pujian itu hanya berpusat pada empat hal. Yakni Sang Khaliq memuji makhluknya, atau sebaliknya yaitu makhluk memuji Sang Khaliq, atau Sang Khaliq memuji dzatNya sendiri dan yang terakhir adalah makhluk memuji sesama makhluk. Jadi tepatlah makna jawa yang diartikan utawi sekabehani puji patang perkara. Dan pada lafadz alamin itu merupakan bentuk plural dari kata alam. Maka tepat pula jika diartikan kang mengerani wong alam kabeh. Kata kabeh disini menunjukkan kata alamin adalah jama'.
Sekarang mari kita komparasikan dengan terjemahan Indonesia. Maka kata ALHAMDULILLAHIROBBIL 'ALAMIN memiliki arti "segala puji bagi Allah yang menjadi tuhan alam semesta. Tentunya kita sudah dapat melihat titik kelemahannya. Yakni kurang jelas dalam arti 'segala puji'. Karena kata segala itu lebih global dan belum tahshilul maqsud, belum tercapai maksud. Meskipun sudah mendekati. Dan kata 'alam semesta' itu hanya mengartikan 'alam. 'alam adalah ma siwallahi, semua hal selain Allah.
Jelas sudah sisi positif makna jawa. Dan sisi lain adalah melatih kesabaran dan membantu memahami. Dengan memaknai maka pemahaman kang santri akan terangsang sebelum ustadz menerangkannya. Bisa jadi rentang waktu untuk memaknai ini dijadikan even berharga bagi kang santri untuk meraba-raba maksud kata itu. Dan ketika ustadz menerangkan, kang santri hanya mengulangi memori pemahamannya. Dengan banyak mengulangi memahami, maka kang santri akan semakin lekat pemahamannya. Dengan tanpa memaksa kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya metode maknani itu lebih efesien. Kenapa? Karena makna jawa lebih membantu dalam gramatikalnya. Hal ini sangat mengurangi murid dalam menguras waktu untuk menilik lagi kitab gramatika (nahwu-shorof)
Dan sistem yang sangat menguntungkan adalah banyak fase untuk memahami pelajaran. Fase pertama kang santri disuruh menulis bahan yang akan dikaji, kedua ustadz memaknai jawa bahan yang sudah ditulis kang santri dan terakhir dijelaskan. Patrian tiga sistem ini tentunya sangat membantu. Pada fase pertama yakni tahapan menulis bahan yang akan disajikan. Santri dapat memahami sekilas dan melatih kemandirian dan ketelitian. Disamping tujuan yang lain yakni melatih menulis dengan baik. Dan fase-fase berikutnya juga dipusatkan agar murid dapat memahami kitab dengan sempurna.
Sekarang mari kita bandingkan dengan metode simposium, lokakarya, seminar atau yang lain. Dalam sistem seminar misalnya, hadirin akan disodorkan lembaran kertas yang sudah diketik dan ditulis oleh pemakalah. Kemudian hadirin akan dijadikan audiens atau mustami'in. benar ini merupakan metode efesien. Karena audiens hanya dipusatkan pada memahami makalah. Akan tetapi yang sering terjadi di lapangan adalah audiens sibuk (baik sibuk dengan hp, atau yang lain) dan tidak memahami makalah dengan benar, banyak pula yang tampak jenuh dan mengantuk. Daya serap tiap hadirin juga harus diperhitungkan. Apakah daya serap hadirin akan cepat seperti pemakalah menyampaikan lembaran makalahnya? Jawabnya adalah tidak semua bisa cepat memahami. Padahal waktu seminar ini terbatas. Maka efesiensi dalam memahami ini pun menjadi gugur.
Lantas setelah menjajaki dan membandingkan beberapa metode tadi, kita akan mencoba menemukan titik temu. Dengan manhaj tanpa makna jawa ( sebut saja metode ala arab) keunggulannya adalah efesiensi waktu dan relevan dengan situasi, metode jawa mempunyai kelebihan seperti tersebut di atas. Maka metode yang tepat adalah penggabungan. Metode makna jawa tidak ditinggal sepenuhnya, dan metode langsung memahami tidak diterapkan sepenuhnya. Maka the mind solution adalah metode langsung memahami dengan menyuruh murid menyelami gramatika tiap katanya dengan sedikit menanyakan I'rab dan posisi kalimat itu. . Wallahu A'lam

* Penulis adalah Mahasiswa tingkat III Univ. Al-Ahgaff, Tarim-Hadhromaut-Yaman.

Selengkapnya....

Peringatan Hari Anti-Korupsi

Oleh : Amir Faqih Qodafy*

sehari sebelum pelaksanaan, tepatnya tanggal 8 Desember 09, direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti dalam seminarnya berkata, “Besok adalah momentum yang tepat untuk menyatakan kepada pemerintah yang korup, Polisi dan Kejaksaan yang korup bahwa tidak ada tempat bagi koruptor didunia ini”. Kompas.com 8/12/09.


Pada hari Rabu tanggal 9 Desetmber 2009 kemarin, seluruh dunia bergemuruh memperingati hari antikorupsi. Tak ketinggalan, Negara Indonesia yang merupakan Negara terkorup juga turun lapangan dengan aksi Demonstrasi yang dilakukan di ibu kota Jakarta, wilayah dan daerah-daerah. Aksi besar-besaran ini menurunkan beberapa ribu Simpatisan, Aliansi, Ormas dan Organisasi-organisasi yang bergabung dalam anti-korupsi. Kepolisiaan pun menurunkan lebih dari separuh personel untuk mengamankan aksi tersebut.
Aksi demonstran tersebut menyadarkan kita bahwa korupsi adalah perbuatan yang sangat terkutuk dan dibenci oleh masyarakat, ini cukup menegur pemerintah yang selama ini berada dalam kemelut korupsi. Sepatutnya pemerintah menganggap aksi tersebut sebagai kritik membanguan, masyarakat sudah muak dan geram dengan kata korupsi, Sejak awal reformasi bergulir hingga sekarang yang sudah berjalan lebih dari sepuluh tahun, korupsi belum saja tuntas, malah tambah merajalela. Korupsi seakan sudah membudaya. Tindakan korupsi merupakan tindakan yang selama ini menjerat bangsa berada dalam keterpurukan dan kesengsaraan. Terlalu lama Negara Indonesia diobok-obok oleh kaum koruptor, Neoliberal, Neokolonial dan Neoimpreal, saatnya pemerintah sadar bahwa selama ini Negara disetir bahkan dikendalikan oleh para Mafia Hukum dan Markus (makelar khusus).
Kasus yang menimpa dua pimpinan KPK Chandra M. Hamzah dan Bibit dengan alasan penyalahgunaan wewenang tidak dapat dibuktikan secara konkrit oleh kepolisian. Ini salah satu bukti bahwa memang ada proses untuk mengkerdilkan dan mengkriminalisasi KPK yang selama ini aktif memerangi korupsi. Akibat kasus tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW), transparansi international Indonesia, dan lembaga swadaya masyarakat anti korupsi melaporkan Indonesia kepada sekretaris jendral PBB Ban Ki Moon di Jakarta, bahwa ada usaha menghalangi pemberantasan korupsi di Indonesia. Dilain pihak, BEM SI (Se Indonesia) bersuara. Dalam aksinya BEM SI mensinyalir “rangkain peristiwa tersebut merupakan suatu skenario besar dan serangan balik para koruptor dengan melemahkan KPK dan pengadilan Tipikor sebagai produk reformasi yang progresif dalam memberantas korupsi”. Tapi sayang, yang benar tetaplah yang akan menang, kini keduanya (Chandra dan Bibit) diaktifkan kembali sebagai Pimpinan KPK.
Disaat lembaga lain tidak dapat diharapkan. KPK datang membawa dan memberi sejuta harapan masyarakat, karena KPK lahir dari rahim masyarakat. Ini sebabnya, ketika KPK mau dikerdilkan fungsi dan wewenangnya, seluruh aktivis dan masyarakat berdoyon-doyon mengecam Polri dan Kejaksaan. Anies Baswedan (intelektual muda sedunia) yang juga Rektor Paramadina mengatakan, “bagaimana caranya kita menjaga semangat Indonesia untuk memerangi korupsi, bukan memerangi lembaga yang selama ini memerangi korupsi”. Masak jeruk-minum jeruk (sesama penegak hukum saling menjatuhkan).
Semoga aksi sosial tersebut, bisa membuka hati Para Koruptor yang Kotor Profokator. Selanjutnya kami ucapkan “selamat menjalankan kehidupan yang bersih Indonesiaku, semoga Tuhan yang maha kuasa mengangkis Indonesia dari keterpurukan moral dan semoga Allah selalu membimbing Negara Indonesia kepada jalan yang benar”. Wallahua’lam.

* Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, Mustawa Tsani.

Selengkapnya....

MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT PINGGIRAN

(Kajian Analogisasi Teori Huruf Dalam Gramatikal Arab)

Oleh: Umamelsamfani*

alam diskursus tata bahasa Arab, aqsam kalam dibagi menjadi tiga; Kita mengenal kalimat isim, fi`il dan huruf. Tiga komponen itu merupakan pokok pembahasan gramatikal Arab. Secara singkat, pengertian kalimat isim ialah kata yang menunjuk langsung pada suatu benda tertentu, sementara kalimat fi`il sebagaimana masyhur, terbagi menjadi tiga bagian;


Ada yang merujuk pada kegiatan lampau (fi`il madli), ada pula yang berorientasi pada kejadian kini, proses yang sedang berlangsung dan yang akan terjadi (fi`il mudlari`, lil hal wa istiqbal), dan terakhir berbentuk perintah (fi`il amar, listiqbal). Selain dua kelompok tersebut, dalam gramatikal Arab dikenal juga kelompok ma siwa huma, la isma wala fi`la. Kelompok terakhir inilah yang saya analogisasikan sebagai kelompok masyarakat pinggiran, kekuatan akar rumput (gress root power ) yang dalam terma nahwu disebut Huruf.
Huruf sebagai kelompok masyarakat pinggiran, tentunya tidak berstatus apa-apa, ia bukan isim berkelas social elitis, ia bukan fi`il yang mempunyai kepentingan program jangka pendek atau jangka panjang sesuai keterlibatannya dalam lingkaran kekuatan jumlah ismiyah ataupun fi`liyah, hurufpun seakan tidak dapat memposisikan diri sebagai subyek yang mampu berdikari, ia sama sekali tidak memiliki kekuatan sempurna, kecuali keberadaannya bersanding dengan kalimat isim atau fi`il, karena hal itulah, bagi saya, huruf sangat tepat bila dianalogisasikan sebagai kelompok pinggiran yang perlu diberdayakan, disebut pinggiran karena secara bahasa huruf berarti pinggir, sementara secara power ia berada dalam posisi lemah (dla`ful makanah), sehingga untuk memastikan dan mengetahuinyapun, hanya cukup dengan tidak adanya tanda atau alamat yang terdapat pada isim atau fi`il. Ibn Malik dalam nadzam al Fiyah menyatakan; "Wal harfu lam yashluh lahu `alamah, Illantifa qabulihil `alamah", nadzam ini menurut saya -dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau- sedikit menyisakan isykal dalam proses reaktualisasi substansi maknanya, ketika coba dianalogikan dengan upaya pemberdayaan masyarakat pinggiran yang memasang huruf sebagai ikon utamanya, namun demikian, keberadaannya sebagai inspirasi kajian ini sangatlah bernilai istimewa, setidaknya bagi saya pribadi, hal ini penting diapresiasi, sedikit isykal yang saya isyaratkan itu, karena pengertia umum nadzam tersebut seakan menutup pintu kemungkinan memberdayakan kekuatan huruf yang sesungguhnya amat potensial, walaupun secara kasat mata tidak bisa diketahui melalui tanda khusus yang ada pada isim atau fi`il, tetapi kekuatan maknawi yang ada pada huruf, sangat bisa dibuktikan efeknya, sebab huruf sendiri berperan sebagai penanda (alamat) bagi isim atau fi`il, ia memang tidak perlu tanwin untuk disebut huruf, ia pula tidak perlu menerima ta` ta`nits, karena ta` ta`nits sendiri adalah huruf, ia juga tidak butuh nun taukid, sebab nun itu sendiri adalah huruf, dan beberapa huruf lain yang khusus menandai isim atau fi`il.
Itulah sebabnya, tawaran solusi suksesi pemberdayaan huruf, dengan memposisikannya sebagai penentu utama dalam satu waktu dan penyempurna jumlah dalam situasi dan kondisi berbeda ini, patut diwacanakan, ia bukan lagi sekedar huruf yang tidak mempunyai arti apa-apa, ia adalah huruf (masyarakat pinggiran) yang diproyeksi berpotensi menjadi motor perubahan tanpa harus diawasi, didikte dan dikawal ketat kekuatan system tertentu, dan karenanya, huruf bisa saja menjadi ikon massal bagi kelompok isim dan fi`il sebagai representative masyarakat modern berkelas social tinggi, walaupun demikian, kemandirian karakter huruf dan independensinya dalam merubah diri dan masyarakat bangsa masih tetap dapat diandalkan. Posisi huruf laksana Tsuraya dalam gugusan bintang, planit merkurius dalam tata surya dan asas membentuk kalimat. Tanpa huruf, selamanya tidak akan pernah ada kalimat. Huruflah yang menentukan ada tidaknya kata, huruflah yang menjadikan keserasian bahasa (fashahah kalimat) atau kerancuan dalam susunan kalimat (tanafur), ialah yang jika satu sama lain berpisah, dengan sendirinya susunan kalimatpun akan bubrah, huruf sangat mungkin didayagunakan potensi juangnya bila diberdayakan dengan merapatkan barisannya, ia akan menjadi kekuatan pinggiran yang siap menggulingkan kemapanan system yang sewenang-wenang, kekuatan huruf yang ada pada masing-masing karakternya, secara alamiah sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai kekuatan dahsyat yang mematikan, dan ia akan lebih bernilai istimewa ketika bersatu padu dalam rangkaian kata-kata mutiara.

Huruf, Representasi Masyarakat Pinggiran
Dari argumentasi pengantar itu, dapat disimpulkan, bahwa keberadaan huruf muncul sebagai representasi kekuatan masyarakat bumi yang benar-benar membumi, tanpa menafikan makna filosofi "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", karena apapun profesi atau posisi kita dalam masyarakat, berstatus social tinggikah, menengah, bahkan lemah sekalipun, kita wajib memainkan peran nyata layaknya tradisi fi`il, atau seperti isim yang selalu berperan aktif mengharumkan status social masyarakat setempat melalui predikatnya. Tentu semua kita sepakat dengan ide-ide segar itu, tapi bagaimanakah cara kita memberdayakan masyarakat pinggiran (huruf) menjadi bagian penting dalam menyempurnakan makna filosofis tamsil tersebut. Kita harus melaksanakan nilai-nilai ajaran yang bersumber pada kekuatan persatuan dan kebersamaan membangun karakter bangsa, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan saling memberi peluang beraktifitas positif, berkarya kreatif, inovatif, konstruktif bagi setiap elemen masyarakat di lingkungan kita dalam segala hal yang dapat memacu terciptanya tatanan masyarakat pinggiran yang lebih baik, membangun kekuatan relasi dan kemitraan dalam berorganisasi, membudayakan sharing idea dan take and give demi kesempurnaan proses pemberdayaan masyarakat disegala lini kehidupan. Dari sinilah, huruf dapat diprediksi sebagai kekuatan baru yang paling siap menggantikan posisi struktur kalimat isim atau fi`il dalam situasi krisis power (minal huruf lidzdzuruf).
Ibn Malik dengan tegas menyebut status huruf (masyarakat pinggiran) sebagai mustahiq lil bina, yang kerap disandarkan pada pengertian konservatifisme, anti modernisasi, kampungan, ndeso, tulalit, oneng, oon, bloon, dan istilah miris lainnya. Bagi saya, dalam kajian social, masyarakat huruf tidak berarti sama sekali tidak memiliki kekuatan, karakteristik, potensi, budaya dan kemampuan intelektual di atas rata-rata, kenyataan ini saya kemukakan bukan tanpa validitas data riil, bahkan jika menganut pendapat Ibn Khaldum, sejarawan muslim berdarah Hadhramaut dalam Muqaddimahnya, justru kemajuan besar dan kekuatan mental superior itu banyak tumbuh dari kaum badawi (kelompok masyarakat pedalaman Arab) yang disebutnya sebagai pemberani, anti basa-basi dalam mengungkap kebatilan penguasa demi tegaknya kebenaran. Dalam diskripsinya, Ibn Khaldun menyebut keberanian mereka para badawi itu tampak ketika datang menemui seorang raja atau penguasa, ketika itu mereka datang dengan tombak terangkat tinggi seakan menantang kekuatan istana (raja atau penguasa) yang dzalim dan semena-mena dalam menerapkan kebijakan public, bahasa mereka lugas namun tegas, mereka seakan ingin memudarkan pamor protokoler yang menjadi pakem pemerintahan atau kerajaan, mereka meninggalkan aksi sakralisasi penghormatan dalam bentuk sujud dan membungkukkan badan di depan penguasa dzalim, mereka datang dengan dada tegap, mereka itulah yang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai pioner perubahan sejati, masyarakat pinggiran yang mampu mendobrak kebatilan dengan segala kemampuan yang dimilikinya, mereka itulah simbol perubahan, modernisasi yang sesungguhnya, hanya masyarakat kampunglah (badawi) yang lebih pantas disebut sebagai kelompok anti kemapanan, mereka lebih memilih berubah menuju kesempurnaan dari pada bertahan dalam himpitan dan genjetan penguasa dzalim yang tak berprikemanusiaan. Bahkan mereka berani mempertaruhkan darah, harta benda atau nyawa sekalipun, mereka leluasa melakukan segala keinginannya itu, karena tidak terikat aturan-aturan berlatar belakang kastanisasi, status social (priyai, abangan), material (kaya, miskin), intelektual (pintar, bodoh) dan pembeda lainnya.
Ironisnya, pengelompokan masyarakat banyak pula ditemui di lingkungan lembaga pendidikan kita dengan memfokuskan tingkatan title atau besar-kecilnya nilai dalam beberapa materi pelajaran yang dievaluasi temporal dalam memulyakan dan memposisikan seseorang sebagai bagian penting dalam masyarakat. Menyikapi hal itu, Mahbub Junaidi, mantan ketua PBNU, kolomnis kondang era tujuh puluhan itu pernah menyatakan, bahwa karya tulis yang disebut ilmiah sering diidentikkan oleh sebagian masyarakat, dengan tulisan-tulisan atau karya-karya yang sulit difahami, atau yang membawa istilah bahasa asing yang tidak biasa digunakan (gharabah), al hasil, Mahbub menyimpulkan, bahwa wacana "aneh" itu sebagai aliran neo primordialisme, dengan mengindikasikan tulisan ilmiyah yang harus ditulis seorang sarjana, magister, doctor, professor atau harus paham bahasa asing, harus sulit dimengerti banyak kalangan dan tidak seperti biasanya, wacana ini jelas sangat mempengarui proses pemberdayaan kualitas pendidikan masyarakat pinggiran (huruf) yang mayoritas hanya berpendidikan rendah atau menengah, karena dengan wacana "intimidasi" itu, berarti telah membunuh kesempatan masyarakat awam dalam berekspesi dan berkarya.
Relevansi dan kekuatan substansi kritik Mahbub Junaidi itulah yang dalam kajian ini, ingin saya jadikan pelecut semangat bagi saya pribadi dan shabat mahasiswa universitas al Ahgaff untuk terus berlatih otodidak dalam berkarya melalui media tulis yang telah tersedia, dengan berani mewacanakan ide, serius menaggapi opini atau essai, demi percepatan proses pemberdayaan kita sebagai bagian pinggir kekuatan kelompok lain yang meligkupi. Dalam teori nahwu, upaya memasyarakatkan masyarakat dengan tanpa membedakan kelas sosialnya, adalah target awal yang harus dicapai oleh kaum huruf untuk memposisikan diri sebagai subyek dan bukan selamanya sebagai obyek dengan memberdayakan fungsi huruf istifham yang memiliki kekuatan control, mengawasi, menanyakan tentang suatu hal terkait laju aktifitas, kekuatan institusi dan organisasi-organisasi yang melingkupi, terkait beberapa kebijaksanaannya yang berimplikasi langsung terhadap keberadaan kita sebagai kaum hurufi. Melalui proses pemberdayaan kelompok huruf (istifham) ini, diharapkan mampu mengimbangi kerancuan informasi dan kesimpangsiuran aturan atau kebijakan dengan pro aktif bertanya, mengawasi dan mengkritisi, menggunakan media "institusi huruf istifham" seperti, hal, kam, mata, aina, man, ma dan lain sebagainya, atau dengan cara melengkapi struktur jumlah ismiyah dengan menyisipkan huruf jar, dan cara lain seperti menjadi tanda bagi kalimat isim atau fi`il yang menunjuk makna mudzakkar atau mua`annats, seperti karim, karimah, shahih, shahihah, ya`lamu, ta`lamu dan lain-lain.
Setelah memahami potensi dan kekuatan huruf yang cukup menjanjikan harapan dalam mewujudkan perubahan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran, maka tinggal satu hal yang harus segera kita lakukan bersama, yaitu kesanggupan kita saling bersatu padu mewujudkan harapan mulia itu dengan menyandingkan huruf-huruf yang masih terpisah, untuk dijadikan kekuatan "kalimat isim" atau "kalimat fi`il" baru yang siap menggeser kemapanan "kalimat isim" atau "kalimat fi`il" lama melalui penggabungan persepsi (tajmi` `ara`). Bila keberadaan huruf-huruf itu dihimpun dan disatupadukan, maka kekuatan menyampaikan aspirasi dalam bentuk kalimat, segera dapat terwujud nyata. Kita tinggal memilih desain bahasanya saja, sehingga "kalimat isim atau fi`il" baru itu dapat disampaikan dengan sangat mengesankan, terhindar dari kerancuan (tanafur), tidak saling berbenturan kepentingan antar sesama huruf, tidak terkesan asing didengar (gharib), dan tidak sulit difahami penerimanya.
Lantas pertanyaannya, seperti apakah bentuk "kalimat isim atau fi`il" baru yang memenuhi kriteria ideal?. Tentang hal itu, tentu sangat bergantung situasi dan kondisi tertentu untuk mengekspresikan tulisan untuk menjadi sebuah kalimat yang mencerahkan. Apakah kalimat baru itu harus berbentuk sya`ir, puisi, cerita, natsar, diskripsi, argumentasi, opini, esssai, counter wacana dan lain sebagainya, itu bukan masalah. Tapi secara pribadi, saya lebih cendrung memilih menguatkan karakter yang ada pada masing-masing huruf itu sendiri sebelum melangkah lebih jauh menyusun kata-kata, seperti contoh; Kelompok huruf istiham (masyarakat pinggiran yang memiliki kekuatan kritik konstruktif) umpamanya, harus diberdayakan untuk terus melakukan koreksi konstruktifnya dengan menempel ketat setiap statemen jumlah ismiyah atau fi`liyah (kekuatan system) yang tidak jelas arah maknanya, sementara huruf "inna littaukid" diberdayakan sebagai penguat dan penegas kebijakan tertentu yang diambil demi kemashlahatan bersama, di sisi lain huruf lam, berupaya memberdayakan fungsi kontrolnya dengan menegasikan tuduhan miring yang dihembus untuk melemahkan semangat pengawasan antar sesama yang kini mulai tumbuh dalam bentuk kritik-kreatif dalam beropini melalui wacana citizen journalism (jurnalistik warga), atau dalam istilah nahwu akrab dikenal dengan sebutan "amil nawasikh" yang bertugas sebagai "kekuatan sayap" dalam merubah kemapanan jumlah (struktur kalam). Kekuatan yang saya maksud mengacu pada kekuatan huruf yang memiliki peran taghlib, taqlib, takhrif, ta`kid dan lain sebagainya, bahkan huruf illat dan ziyadah sekalipun (masyarakat pedalaman yang sama sekali tidak memiliki kekuatan materi maupun immateri) dalam teori gramatikal Arab masih dapat mempengaruhi kalkulasi makna politik kekuasaan (tarkib kalam), seperti merubah makna lazim ke muta`addi, dengan menyisipkan huruf hamzah atau memasang huruf nafi sebelum fi`il mudlari` untuk merubah makna menjadi madli, dan masih banyak contoh lain upaya pemberdayaan huruf dalam rangka ikut serta membangun kesuksesan bersama menyampaikan makna pesan kebaikan yang terorganisir dalam struktur kalam yang rapih, mengesankan, menarik perhatian, tepat sasar (muqtadlal hal) dan dapat diterima dengan baik oleh semua kelas social masyarakat. Analogisasi konsep yang diserap dari ilmu nahwu itu, kemudian dipadukan secara cermat ke dalam ilmu balaghah seputar pengertian fashahat kalimah wal kalam, yang mengharuskan struktur kalimat rapi, tidak rancu bahasa (tanafur), dan tepat dalam memilah kata popular (ghair gharibah wa mukhalafatul wadli`) dengan memperhatikan kemampuan penerima pesan bahasa yang disampaikan (mukhatab).
Klaim bahwa masyarakat huruf tidak berdaya, dicap mustahiq lil bina, statis, anti peradaban dan perubahan ternyata masih mampu membalik kenyataan dan bahkan merombak arah makna jumlah ismiyah atau fi`liyah yang sudah mapan, dengan berbekal keyakinan, ia bisa menembus tembok kategoris kalimat isim dan kalimat fi`il, ia berani mengetuk pintu berulang kali dan boleh jadi mendobraknya, bila cara diplomasi santun berbahasa tidak sukses mencairkan situasi yang membelit kehidupannya dan menghimpit status sosialnya. Seakan-akan bagi huruf, status kehurufan bukan berarti harus lemah secara maknawi, atau bahkan tidak bisa berbuat apa-apa, padahal ia mampu bermakna dan memaknai kehidupan, sebagaimana kalimat isim atau fi`il yang memiliki status makna berbeda, ia pun kadang hadir mengacak pemahaman dan kemapanan yang ada, sebagai bentuk protes keras dan perlawanan atasnama institusinya, hal ini sebagaimana silang pendapat nahwiyin dalam menentukan status "laysa", antara disebut sebagai kelompok fi`il menurut madzhab jumhur yang diyakini Ibn Siraj, ulama gramatikal Arab pertama yang menyatakan laysa bukanlah huruf, atau seperti al Farisi dalam sebagian pendapatnya yang didukung oleh Abu Bakar bin Syuqair dengan menyebutnya sebagai huruf.
Ketidak selarasan pendapat para nuhat ini pulalah yang memicu huruf sebagai kelompok oposan cukup kuat, disegani dikalangan struktur jumlah ismiyah ataupun fi`liyah, koreksi dan intensitas reaksinya yang sangat tinggi sekali tampak dalam target kelompok huruf (masyarakat pinggiran) yang berafiliasi langsung dalam wadah masyarakat anti penguasa (nawasikh al mubtada), mereka mayoritas memilih garda depan sebagai pangkalan melancarkan
aksi-aksinya, sebut misalnya "inna corporation" (inna wa akhawatuha), al huruf al musyabbah bi laysa (ma, lata dan in), atau huruf nafi dan nahi, ada pula yang di tengah kalimat, seperti istitsna` bi illa, taqdir bi huruf jar, washal bi huruf athaf dan lain sebagainya.
Jika teori hitam di atas putih ala ulama nahwu itu dapat dikaji seara kontekstual, atau dianalogisasikan sedemikian rupa, selayaknyalah bagi kita mengapresiasi hal itu dengan mencoba mereaktualisasikan konsep dasarnya pada tataran praksis. Kenapa teori gramatikal Arab ini tidak kita coba untuk dijadikan pedoman penyeimbang beberapa konsep lain dalam proses membangun kekuatan masyarakat pinggiran (huruf) melalui pemberdayaan karakter bertahap, sebagaimana teori Ibn Malik dalam al Fiyahnya, al Imriti, Ajurumi, Qatrunnada, Syudurudzahab, Usul Nahwu, Ibn Aqil dan lain-lain, sehingga kita tidak harus selalu menganut teori-teori hitam di atas putih yang dibangun melalui kegamangan berfikir dan skeptisme nalar tentang apa sesungguhnya alam berikut makhluk social yang mengitarinya, apalagi ada missi destruktif dan banyak pemahaman yang meracuni kesucian dan kemurnian keyakinan kita pada Allah sebagai dzat sang pencipta. Sudah sangat banyak hasil penelitian akademisi yang dikembangkan sebagai teori sosial pemberdayaan masyarakat pinggiran yang teorinya lebih didominasi kekuatan akal belaka dan sedikit sekali -untuk tidak menegasikan keseluruhan- yang merujuk pada sense kekuatan bahasa agama (mukjizat alqur`an dan proses pewahyuannya) yang ghair ma`qul menurut para orientalis, karena mereka memang tidak mengimani keberadaan al qur`an sebagai mu`jizat Nabi, sementara kita mengimaninya sebagai al ghaibiyat dan bentuk nyata ta`abbudiyah.
Dengan mencoba mengaplikasikan muatan arti dari teori huruf ini ketataran praksis, sedikit demi sedikit kita memulai langkah menggali kembali kekuatan fitur bahasa al Qur`an yang mulai memudar di kalangan kita sendiri, padahal sesungguhnya, untaian bahasa Al qur`an sangat mengagumkan pembacanya dan mengesankan bagi para pendengarnya. Benar…, "Inna hadzal qur`ana yahdi lillati hiya aqwam, wa yubassyirul mu`minimal ladzina ya`malunash shalihati anna lahum ajran kabira" (al Isra`/9).
Akhirnya, bila Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia kerap menutup tulisannya dengan meminjam gaya bahasa penyiar radio BBC; "for now good bye", maka saya lebih enjoy mengutip koreksi Imam Assubqi atas kesimpulan Ibn Hajib dan al Amidi tentang masalah khilaf lafdzi dalam ushul fiqh, dengan bahasa khas yang memukau, beliau berkata; "Laula hadzal ikhtishar, la`awqaftuka `ala a`jabil `ujab". Andai saja tidak karena demi meringkas tulisan ini, sungguh akan saya jadikan anda terdiam seraya berdecak kagum atas banyak hal lain yang sangat sensasional (terkait diskursus gramatikal Arab seputar teori huruf ini). "Wahwa bisabqin haizun tafdlila mustaujibun tsanaiyal jamila". Yassalam isy min kalam !

*) Jurnalis dan Mantan Ketua Umum FORMIL 2008-2009.


Selengkapnya....