IDEALISME KRITIK DEMOKRATIK

Oleh : Amir Faqih Ahgaffy*
“Aku Cinta Demokrasi-Q”. Pernyataan ini mungkin sudah cukup untuk mewakili warga Ahgaff sebagai rasa kecintaan kepada demokrasinya. Bahwa mereka cinta terhadap FORMIL. Meskipun cinta itu tidak cukup hanya dengan kata-kata, namun juga perlu bukti nyata. Dan bukti nyata itu sudah kami buktikan dengan memberikan masukan saran dan kritik yang -Insya Allah- konstruktif, legal, dan prosedural melalui media yang tersedia.


Kalau ada yang tidak cinta terhadap FORMIL, maka mereka adalah orang-orang yang tidak tahu diuntung karena FORMIL tempat deking yang mengasuh dan mengayomi kita selama ini.
Tulisan ini kami buat sesederhana mungkin, dekralatif, kategoris, taktis cerdas tapi lugas, tepat sasaran, mengena, tanpa harus melupakan substansi. Dan bukan berarti penulis tidak mampu untuk membuat tulisan ini selebar mungkin, Insya Allah sangat mungkin melihat fenomena-fenomena dan problem sosial yang mengembang, kami berharap tulisan ini dapatabel admisibel di tengah gejolak para aktor.
Kami menyambut baik tanggapan tulisan Kakak kelas tanpa mengurangi rasa hormat dan kewibaannya sebagai panutan yang harus digugu dan ditiru. Namun demikian, tulisan ini bukan pembangkangan dari kami yang berujung ke hostilitas. Alhamdulillah, dengan adanya tanggapan dari tulisan kami, berarti kita sudah saling mengoreksi plus intropeksi yang berbuah kepada kesadaran. Dan kami akan tetap mandiri independen serta kritis terhadap problem, namun sikap kritis itu akan disertai dengan solusi alternatif bagi kebijakan-kebijakan yang diambil. Inilah yang dinamakan kritik akuntabel dengan idealisme kritik.
Apa yang kami lakukan ini adalah sebuah konfigurasi rasa filantropi sesama, lebih-lebih kepada organisasi yang mengayomi pelajar Indonesia. Kausa finansial ini muncul dari kausalitas yang terjadi. Ini bukan gerakan separatis konspirasi yang ingin memperpecah integritas apalagi mengklaim sentimen kapiran. Dalam demokrasi, sepatutnya rakyat juga ikut mengawasi langsung demokrasinya. Dengan begitu, rakyat sudah mulai beranjak memahami paradigma yang berkembang. Rakyat mulai memahami demokrasinya sendiri dan ini merupakan bagian dari pelajaran politik.
Kritikan tidak harus membuat kita paranoid. Hemat kami, tindakan yang kami lakukan konstruktif dengan tetap menjaga integritas. Walaupun disana-sini masih terjadi perdebatan yang sangat alot. Wrong mekanisme seharusnya ada teguran dari pihak-pihak tertentu. Ini untuk meminimalisasi kita agar lebih berhati-hati untuk yang kedua kalinya. Dengan begitu, roda demokrasi akan lebih efektif. Bagi kami, kritikan adalah sebuah wadah yang harus ditampung, dijaga, dan dijamin haknya. Kritikan adalah sebuah motivator untuk menuju tangga keberhasilan. Muhaimin Iskandar , Mentri KIB jilid II, pernah berkata, "silahkan kritisi kami kalau itu awal dari sebuah prestasi". Kalau kritikan itu merupakan awal dari prestasi, kenapa kita harus ciut ? Sangat salah jika kami mengajak untuk berdebat ataupun mengungkit masa lalu kembali. Kita hanya belajar dari sejarah dengan mengambil hikmahnya. Ini yang kami wanti-wanti dari tulisan yang pertama. Orang yang tidak mau belajar dari sejarah kemungkinan besar sejarah yang pahit akan menerpa kembali. Demokrasi mengajarkan kita untuk berproses. Dan proses adalah sesuatu yang alamiah, tidak statis dan stagnan. Dari proses dan perubahan ini, kita berharap lebih baik dari sebelumnya.
Dalam demokrasi ada beberapa kebebasan yang dilindungi oleh payung hukum karena merupakan hak setiap warga. Yang diantaranya adalah kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan. Sekarang zaman demokrasi, Reformasi telah bergulir dan Rezim Otoriter anti-demokrasi telah tumbang. Pada zaman ORBA, segala tulisan yang berbau kritikan dan nasionalisme dibredel, bahkan penulisnya dijebloskan ke penjara. Kalau kita lihat koran-koran Indonesia seperti Jawa Pos, Republika, kompas, dan lain-lain. Di ruang Opini Artikel atau Berita, kita akan menemukan beberapa tekanan kata yang mengandung unsur disilusi, kecaman, makian dan cacian. Seperti Ketua KPU dan antek-anteknya yang dinilai tidak becus, acuh tak acuh dalam menyelenggarakan pemilu. Kecaman pun datang dari berbagai arah, DPR, Pengamat dan Pakar untuk segera melengserkan KPU dan antik-aktiknya. Dan akhir-akhir ini yang menjadi sorotan media diulang-ulang oleh stasiun TV, bahkan di facebook Ketua MPR RI, Taufik Kiemas dikatakan “baru keluar SD” lantaran dalam pelantikan Presiden & Wakil Presiden banyak kesalahan lek lak lik luk, tidak ada penghormatan kepada JK yang masih berstatus Wapres, penyebutan gelar SBY yang salah dari “Doktor menjadi Dokter”. Dan masih banyak yang lain. Kecaman, cacian, makian ,dan pujian datang dari berbagai penjuru membanjiri media massa. Dan itu harus ditampung sebagai check and balance biar mereka lebih berhati-hati sebagai Wakil Rakyat bahwa segala tingkah laku maupun ucapan mereka, tidak akan dapat lari dari kejelian tangan para jurnalis.
Kami pun juga seperti itu. Kami harus meletakkan kata-kata yang menekan dengan tetap memberikan solusi. Sebenarnya, masih banyak kata-kata yang lebih sangar. Meski tak menutup diri memang ada etika jurnalistik. Kenapa kami memilih media massa? Karena media lebih ampuh, mengena dan tajam setajam silet. Seorang pemimpin seharusnya mempunyai transparansi dialogis sosialis kapabelis dengan jurus andalan komunikatif, jangan terkesan Redialogis/Rekomunikatif, berbaurlah sedikit dengan rakyatnya, dengarkan keluhan mereka. Jangan seperti Pribahasa “bagai menara gading” yang terpisah atau malah memisahkan diri dari rakyat. Adapun anggapan antipacasila itu sangat jauh meleset dari sasaran, meskipun sila keempat menerangkan Kerakyatan Yang Dipimpin …….. kami pun juga bisa balik bertanya. Adakah AD/ART di PLENOKAN atau di Amendemen? Tidak kan, Kalau begitu tetap jadi rujukan. Kalau kita memang pancasilais, kenapa kita harus keluar dari koridor konsessus.
Judul “Tanda Demokrai Masih Muda” muncul dari realita yang ada. Kami pun harus pintar-pintar menempatkan realita dalam teks. Kalau Gus Dur mengklaim DPR RI tak ubahnya taman Kanak-Kanak lantaran keributan dan pertengakaran, itu sangat pantas. Tapi sebaliknya, Adakah pertengkaran dalam PEMILU Formil ? tidak, berarti sesuai dengan realita. Demokrasi sangat berhubungan erat dengan Adab/Perilaku, Demokrasi adalah sebuah system Pemerintahan/birokrasi, sedangkan birokrasi dijalankan oleh Para Aktor/Pejabat, jika para aktor birokrat berakhlak mulia, InsyaAllah, demokrasi yang dibawa akan menuai keberhasilan tapi juga sebaliknya. Jika amoral, maka hanya akan mencemarkan lembaga yang bersangkutan. Contoh, tentu masih ingat Mantan Legislator Yahya Zeini yang tersandung sekandal Seks dengan Maria Eva, Al_Amin Nasution sang Koruptor dll. Kehadirannya pun akan jadi bomerang bagi lembaga itu. Makanya dalam alenia terakhir dari tulisan Mading yang pertama penulis menyinggung “mulailah dari aktor Demokrasi dan seterusnya”, kami pun juga akan mulai tanpa harus menunggu.
Dari tulisan mading yang pertama tertulis. ”Seharusnya kita tidak mengeluarkan statemen yang memperkeruh suasana dan memperpecah integritas, apalagi kita berasal dari ibu pertiwi yang sama "INDONESIA". Seharusnya kita berada dalam ikatan tali persatuan, boleh kita berbeda tapi tetap dalam Bhineka Tunggal Ika”, begitulah kira bunyinya. Tapi fakta bicara lain, What ever will be will be. Meskipun begitu, kami bersyukur dan berterimakasih atas keberaniannya menegur kami, itu merupakan Dobrakan yang patut diapresiasi. Dan bagi kami itu merupakan cobaan. Sesuai dengan Pribahasa “Pohon Yang Besar Akan Lebih Kencang Di Terpa Badai&Angin, semoga kami akan menjadi orang yang lebih berbiogenesis.
Inilah mungkin yang dinamakan dengan “Dunia Politik”, kalau tidak ramai, bukan politik namanya. Meskipun begitu bukan berarti kita menciptakan keramaian. Dan ini tidak harus membuat kita bermusuhan karena dalam politik sejatinya tidak ada musuh, yang ada hanyalah kompetitor, jika pun dianggap musuh, jelas tidak ada musuh yang abadi, mengabadikan musuh adalah tradisi dendam yang selayaknya dijauhkan dalam kehidupan demokrasi. Dari sini akan muncul suasana baru yang konstruktif, ini tentunya menjanjikan pola relasi baru yang lebih bersahabat untuk Membangun Kesepahaman dalam demokrasi.
Akhirnya, tulisan ini dapat di inferensialkan. Karakterbuilding plus vorming, kualifier, koperatif harus kita tanam demi terciptanya konsiliasi koeksistensif yang plural/multi komunitas. Dan bagi Kakak-kakak yang lebih banyak makan garam, kami tetap mengharapkan masukan dari kalian bagaimanapun caranya. Terimakasih atas teguran dan tanggapannya. Kami senang mempunyai Kakak yang peduli akan nasib adik-adiknya dan maaf jika ada yang kurang berkenan dari kami, baik Aqwal, Af’al & Ahwal. Salam Hormat. Sukses Semua and Go FORMIL.

* Penulis adalah aktivis sekaligus jurnalis dan sudah tingkat II di Universitas Al-Ahgaff

0 komentar:

Posting Komentar