DISKUSI PERDANA; FIQIH ANTROPOSENTRIS

Oleh: Departemen Pendidikan
Di akhir presentasinya, Saudara Birrul Alim menyatakan, proyek besar yang sengaja dibangun oleh pencetus fiqih antroposentris ini adalah masyarakat Islam ke depan akan lebih leluasa melakukan apa yang dianggapnya keadilan tanpa harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini selaras dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits atau tidak.

. “Sejauh manakah kebenaran argument fiqih antroposentris? Apakah konsep-konsep yang diracik dalam fiqih ini sudah benar relevan untuk zaman modern sekarang?” Itulah point yang mengemuka dalam diskusi perdana FoKuS Indo – Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia – yang bertajuk FIQIH ANTROPOSENTRIS. Dalam seri pertama, Pemakalah mempresentasikan item-item utama terkait konsep dan tujuan fiqih antroposentris. Pemakalah malam itu (Lailatul ‘Arafah, Rabu, 25/11/2009 M) Saudara Birrul Alim, Ketua Departemen Pendidikan FORMIL ( Forum Mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff ). Turut hadir dalam meramaikan diskusi perdana ini, ketua FORMIL ‘09-‘10 M, Saudara Abdul Mu’iz, dan Saudara Khotibul Umam, mantan ketua FORMIL tahun lalu.
Selama kurang lebih tiga puluh menit, Birrul Alim memperkenalkan wacana fiqih antroposentris ini. Antroposentris, apa tuh? Fiqih yang lebih memihak terhadap ‘hak-hak kemanusiaan’ ketimbang ketuhanan, ujar sang pemakalah. Dari katanya, kelihatannya asing. Ternyata, fiqih antroposentris sebenarnya nama ‘keren’ dari Fiqih Lintas Agama. Terbukti sebagian besar isi makalah mengutip dari buku Fiqih Lintas Agama karya Tim Penulis Paramadina. Fiqih ini lahir dari keprihatinan terhadap konsep fiqih klasik yang cenderung mengedepankan pandangan antogonistik bahkan penolakan terhadap komunitas agama lain hingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka. Sebelum mengenalkan konsep, Birrul Alim memaparkan bahwa Masyarakat Islam Indonesia secara khusus dan masyarakat Islam Internasional secara umum membutuhkan fiqih wajah baru yang lebih acceptable dan aplikatif untuk menjawab tantangan masyarakat modern yang selalu berkembang dan membangun masyarakat yang inklusif-pluralis.
Di akhir presentasinya, Saudara Birrul Alim menyatakan, proyek besar yang sengaja dibangun oleh pencetus fiqih antroposentris ini adalah masyarakat Islam ke depan akan lebih leluasa melakukan apa yang dianggapnya keadilan tanpa harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini sesuai dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits atau tidak.
Selanjutnya, sesi tanya-jawab sepintas teks makalah. Ada sekitar empat peserta yang mengajukan pertanyaan sekaligus kritikan. Diantaranya, Saudara Khotibul Umam. Penasihat FORMIL ini mengkritik struktur atau sistematika penulisan makalah yang menurutnya cukup amburadul dan kurang proporsional. Masih amburadul sebab peletakan tujuan yang seharusnya sebelum penutup malah justru diletekkkan di awal sebelum pendahuluan. Dia pun menilai kurang proporsional karena penulis tidak menyinggung terlebih dahulu pembahasan fiqih teosentris melainkan langsung mengangkat judul fiqih antroposentris padahal buku yang dijadikan acuan jelas sedang membandingkan antar-keduanya serta mengajak maju dari fiqih teosentris menuju fiqih antroposentris. “Jadinya, kita agak bingung, kog langsung antropo? Mana lawannya?. Namun, terlepas dari itu semua, saya sangat menghargai dan memberi dukungan setinggi-tingginya”, tegas Saudara Umam menutup pembicaraan.
Acara malam itu kemudian beranjak ke bagian inti. Pada sesi utama ini, ternyata tidak sedikit yang membantah konsep-konsep di atas bahkan boleh dikatakan semua peserta masih memilih dan sangat berpihak pada fiqih rintisan ulama salafus sholih. Untuk mengkaji kebeneran dan relevansi fiqih ini, Saudara Badrut Tamam menyarankan, “Mestinya, kita fokus ke inti dasar perumusan fiqih antroposentris ini, bahwa fiqih ini berkiblat penuh pada kemaslahatan yang hanya diukur oleh akal sehingga mengabaikan al-Quran dan al-Hadits. Jikalau dasar ini diterima, maka konsep-konsep lain tidak perlu dibahas. Hemat saya, Jelas sekali dasar ini amat bertentangan dengan cara pandang islam itu sendiri. Meski diberi akal, Manusia tanpa tuntunan wahyu justru tak akan mencapai maslahat tapi malah terjerembab dalam lembah mafsadah”, tegas ketua pendidikan PPI Hadlromaut ini dengan mengutip pendapat Dr. Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti dalam Kubro al-Yaqiniyatnya.
Masih sekitar maslahat, Saudara Abdul Mu’iz menambahkan. Dengan refrensi kitab al-Muwafaqot karya Abi Ishak Asy-Syathibi, Maqoshid as-Syari’ah karya Ibnu ‘Asyur, dan Mausu’ah Islamiyah karya Dr. Wahbah Zuhaily, Muiz menjabarkan bahwa Ulama sepakat menjadikan Hifdzud Din (menjaga agama) sebagai nomor satu dan paling utama di atas empat tujuan syari’at yang lain. Dengan menggunakan konsep kunci seluruh pemikiran Islam, Mashalih al-‘Ammah (atau memperhatikan kepentingan umum), asy-Syatiby (w. 790 H), seorang ulama fiqih kondang dari Andalusia, mujaddid abad ke-8 H, berusaha melueskan teori kaku dari ushul fiqih dengan merumuskan Maqashid asy-Syar’iyyah (Tujuan Syariat), yaitu memelihara –dalam arti luas- agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda. Komponen-komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia.“Bahkan Ibnu ‘Asyur”, lanjut Mu’iz, “menambahkan satu tujuan syariat lagi”. Kemudian untuk mengahapus asumsi bahwa fiqih klasik lebih memihak kapada Tuhan, Mu’iz masih mengutip statement Ibnu ‘Asyur. “Menurut beliau, Manusia diciptakan Allah untuk beberapa tujuan dan misi; Liya’budun, sebagai Kholifah fil Ardl, dan sebagainya. Lah, dari semua tujuan tersebut, terbukti bahwa pada hakikatnya, Allah tidak butuh semua itu dan justru amat menguntungkan manusia”. Ada lagi peserta yang mendukung pendapat Mu’iz dengan landasan Hadits Qudsi riwayat Abi Dzar al-Ghifari, Ya ‘Ibadiy, Law Anna Awwalakum wa Akhirokum wa Insakum wa Jinnakum kanu ‘ala Atqo Qolbi Rojulin wahidin minkum, Maa Zada Dzalika fiy Mulkiy Syaian…..(Hadits ke-24 dalam Kitab Arba’in Nawawi).
Namun, Sang Pemakalah tetap konsisten pada presentasinya. Birr berusaha menopang serangan-serangan forum dengan memetik kisah Raja Anusyarwan yang tak jarang dikutip dalam berbagai kitab tafsir, katanya. Singkatnya, Raja yang beragama majusi ini mampu membangun masyarat yang amat makmur dan tentram tanpa tuntutan wahyu.
Berbeda dari rekan-rekan sebelumnya, Saudara Candra mengambil posisi yang fair terhadap fiqih antroposentris. Dia lebih menilai unsure-unsur yang melatarbelakangi terlahirnya fiqih macam ini. “Latar belakang tercipatanya fiqih ini adalah semacam pemberontakan terhadap fiqih klasik yang terlalu indinvidualis”, terangnya. Maklum saja konsep-konsep dalam fiqih ini sengaja didesain sedemikian rupa yang amat modernis, populis, dan memprioritaskan yang sosial. Begitu pula dengan Risan. Dia menganggap fiqih ini merupakan trobosan baru dari sekian desakan-desakan dan syubah fitnah yang terus berkecamuk dalam dunia terutama setelah ledakan gedung WTC.
Banyak sekali diskusan yang ingin menyumbang pikiran. Mereka terus mengangkat tangan ingin ikut andil. Moderator, Saudara Hafidz, sampai bingung mau milih siapa sambil mengingat waktu yang semakin larut malam. Malam itu memang penuh kritik dan counter dari para diskusan atas fiqih yang –menurut pengusungnya- lebih bijak dari fiqih klasik.
Meski makalah baru dipublikasikan dua hari sebelum hari-H, Diskusi ini dihadiri cukup banyak peserta. Bahkan tempat duduk yang disediakan tak tersisa. Sampai panitia berinisiatif untuk menggelar dua karpet lagi untuk menampung peserta yang tidak kebagian tempat. Ini menunjukkan antusiasme yang cukup tinggi dari para peserta diskusi.
“Semoga iklim ini dapat dijaga dengan baik”, harap penulis dalam hati ^_^.

Tarim-Hadhramaut, Sore Jumat 10 Dzulhijjah
Happy ‘Iedul Adlha Day


Selengkapnya....

AKU TAK PEDULI

Ketika jemari lincah berselancar di tulis komputer merangkai kata, ada ragu mencela tanya: “zhen menulis puisi?”. Mungkin ya, mungkin tidak.

sepeninggal rindu, aku menetap bersamamu mengosongkan peluru. tabir pernah terbuka di depan mata kita, tapi kita tak pernah tahu.


segalanya seperti kegelapan yang sempurna, utuh, dan komplit. berulang kali kita bilang, "kesunyian adalah teman". di antara lekuk wajahmu yang kuraba selagi kau tertidur itulah tempat kesunyian berada. lekuk-lekuk itu bukan milikku dan tak pernah aku miliki. asal kau mengerti" aku tak peduli”.

mungkin telingaku sudah tak lagi mendengar bunyi. bahkan tiktak jarum jam tak ingin menggiring waktu menjemput malam dan pagi. hanya asap berterbangan, menjingkati wajahku. kelopak matamu terkatup tak terganggu, menyisakan sejuta damai yang tak pernah lagi kuimpikan. dunia sudah terlalu bising, seperti tanganku yang tak henti berbicara kepada dawai-dawai gitar. ingin kubisikkan di telingamu: "waktu sudah berhenti", tapi kau harus kembali, membawa segala kepalsuanmu dan meninggalkanku di sini bersama benih mati matahari.

Lambaian pelangi dimalam tadi menemai aspirasi dimensiku coba tuk mengambil takdir tuhan dan menguburanya di samudra kedamaian, dikesendirianku.

Rindu bagi hatiku adalah permata yang enggan hilang dari gulungan darah dan aliran nadi nadiku, tapi ku mohon pada putri penakluk "biarkan aku membawamu kelahatku" walupun kau harus dibawa pangeran dari pelangi yang kau impikan.

Lekuk tubuhmu dihatiku hanya pengantar cinta dan kerinduan yang di titipkan tuhan padamu untukku, karena aku nyakin kedamain mentari di akhir malam dan cahaya bulan di senja ini adalah bagian dari cintamu untuku bukan cahaya untuk istana pangeran penjemputmu.
Tak ada sesal yang menjatuhkan samudraku karena ku yakin kau bahagia disana, diujung kepediahan perihnya jiwaku tanpa bulatnya rona matamu.

Hanya satu kenyakinanku bintang yang kita tanam di dalam hati yang tak akan menghianati kasih suci.

bila cinta suci hanya cerita dari negri dongeng berikan padaku peta menuju negri itu.
Luapan rindu membatu ketika kau yakinkan kepergianmu yang tak berujung kembali.
Debu dan ombak pantai penghias kisah kisah kesempurnaan duniaku kau redupkan bersama tidurmu, tak kau sisakan sedikit embunpun untuk sekedar sandaranku ketika aku haus di kemarau yang tak mungkin dijemput hujan.

Lirik mata bulan menemani luapan cinta kita saat itu
Tapi lihatlah dia saat ini mencoba lupakan kita.
Nyanyian alam tak lagi ku dengar hanya senyum halilintar temani kekosonganku.
Wanitaku bahagia diluar istanaku,bahagiakah aku?

Pernah aku bisikan "ini duniamu"
Tapi apakah kau tau dimana duniaku saat ini?
Harum tubuhmu masih terpatri di otakku walau selalu kukatakan "aku tak peduli"


By: Laskar Patah Hati
Penyair adalah Mahasiswa tingkat III Kuliyah Syari'ah wal Qonun, Univ. Al-Ahgaff, Tarim-Hadhromaut-Yaman

Selengkapnya....

YANG TERINDAH

Rona wajah, senyum indah, tutur kata lembut
Slalu hiasi hari hari
Berikanku warna indah, seindahnya pelangi
Takkan terlupa


meski dunia tlah tiada
Takkan pudar meski terhempas masa
Dan takkan hilang meski tersapu angin

Biarkan aku hidup dengan hati ini
Takkan sepi dalam kelamnya malam
Takkan sendiri kala mentari pagi
Dan takkan rela dalam tiada

Hanya ada canda tawa
Hanya ada riangnya suasana

Wahai yang terindah
Kaulah yang mampu buatku tersenyum
Kaulah yang mampu buatku tertawa
Kaulah yang mampu buatku menangis
Kaulah yang mampu buatku gila
Gila akan cinta.
Abadi selamanya..

Tarim, Oktober 2009
By: The Hunter



Selengkapnya....

AKHLAK SABAR

(AM. Saputra)*

Ibnu Mas'ud R.A. berkata: Seolah-olah saya masih melihat pada Rasulullah SAW ketika mencontohkan kejadian seorang Nabi yang dianiya kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darah dari mukanya berkata "ALLAHUMMAGHFIR LI QOUMI FAINNAHUM LA YA'LAMUN" (ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui). (H.R Bukhari, Muslim).



Akhlak atau etika islami merupakan tema penting yang seringkali dibahas dalam kajian tazkiyatunnufus (pensucian diri), akhlak juga merupakan salah satu poin penting yang karenanya diturunkan Rasul pilihan, Nabi akhir zaman Muhammad Saw. "sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak". Akhlak islami merupakan sifat kepribadian yang sangat dianjurkan oleh agama yang hanif ini, dan menyerukan kepada segenap kaum muslimin untuk menghiasi diri mereka dengannya.

Akhlak adalah manifestasi batin seorang muslim yang mana pada hari akhir nanti akan ditampakkan segala hakikatnya. Sebagaimana pada diri manusia ada sisi jasmani yang dhohir, yang merupakan postur tubuh manusia itu sendiri manusia juga memiliki kerangka rohaniyahnya yang jika ditempa dengan baik dan dirawat maka akan menghasilkan bentuknya yang indah sebagaimana jasmani kita yang sering kita rawat dengan telitinya. Tetapi Allah hanya menilai bentuk rohaniyah dari seorang hamba-Nya saja, "seseunggunhnya Allah Swt tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian melainkan pada hati kalian".

Sabar adalah sepenggal kata yang sering diucap dan enteng untuk dituturkan, namun dengan konsekuensi yang luar biasa berat. Sabar lebih sebagai sebuah hasil tempaan panjang takwiniyah ketimbang sebuah bekal untuk belajar. Dia wujud ka- rena kematangan fikrah dan kelembutan khusyu'. Dia adalah sebuah karakter yang diidamkan, kokoh, ibarat karang di tengah

gelombang pasang. Ibarat black hole yang menyerap semua sinar tanpa membuatnya kehilangan pegangan. Maka Allah bersama orang-orang yang sabar. Maka Nabi-nabi Allah selalu dengan kesabaran. Tanpa akhlaq islami ini da'wah islamiah tak akan tegak.
Tanpa sabar al Haq tak dapat ditegakkan. Karena, jalan bersama al haq, jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi ni'mat, jalan para Nabi, Shiiddiqiin, syuhada dan shalihiin, jalan ketaqwaan adalah jalan yang sukar lagi mendaki, jalan yang penuh celaan dari orang-orang yang suka mencela, jalan penuh hasutan dari orang-orang yang suka menghasut, jalan yang penuh hinaan dari orang-orang yang suka menghina, jalan penuh fitnah, teror, interogasi dan intimidasi. Tanpa sabar jalan yang mendaki menjadi lebih mendaki dan tak dapat dilalui.

Rasulullah saat di Tha'if berlumuran darah dilempari batu, begitu juga Nabi-nabi lain, karena kaumnya belum faham, tidak tahu kebenaran Allah, mereka jahil. Kalau saja mereka tahu, mereka faham, maka mereka akan lebih banyak menangis karena kesalahan-kesalahan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mereka yang tidak tahu, selain memohonkan pengampunan pada Sang Khalik ?

Memasukkan kebenaran ke dalam kepala, hati lalu mewujud dalam amaliah seseorang mad'u, bukanlah pekerjaan sederhana.
Ini adalah pekerjaan para anbiya, makhluk pilihan Allah. Coba kita bermuhasabah, baru saja perkataan kita disinggung saudara kita, ditanggapi dengan sedikit sinis atau dibiarkan, segenap ketersinggungan meluncur, meluap, lalu kita serang mereka yang bersinis-sinis kepada kita dengan kata-kata tajam-menusuk jantung.

Baru saja nasehat-nasehat kita dibalas dengan canda, dibalas dengan tawa, dibalas dengan olok-olok, segera saja segenap kebencian melanda. Belum lagi menghadapi fikrah rekan-rekan yang lain, yang tidak sama dengan kita, yang nampak kacau yang merugikkan, yang nampak munafiq, segenap kebencian penuh menghiasi layar kaca. Setumpuk buruk sangka menghiasi muka. Lalu dimana letak sabar ? Akankah kebenaran merasuk dalam hati rekan-rekan yang kepada mereka ingin kita sampaikan kebenaran, dengan tetap memelihara ketidaksabaran ? Apakah kita menganggap orang lain segera akan menerima kata-kata kita, meresapinya, lalu mengamalkannya, dengan sangat mudahnya ? Apakah kita berharap masuk surga, padahal belum datang cobaan kepada kita sebagaimana cobaan datang kepada mereka yang terdahulu ? Astaghfirullah, kita sering bermimpi. Kita sering bermimpi.

Inilah sabar. Dia muncul dari proses panjang pembinaan pribadi. Dia mesti mewujud, memancarkan sinar, melembutkan hati-hati yang memandangnya.

Hasbunallah wani'mal wakil..

Referensi:
1. Diskusi isnet.org, Materi Tarbiyah Abu Zahra
2. Muhadhorot Habib Umar bin Hafidz

*Penulis adalah aktifis sekaligus jurnalis dan sudah tingkat V Univ Al-Ahgaff.

Selengkapnya....

Tujuan Mendirikan Halaqoh Ta'lim

(Mukadimah 2)
Oleh : Musa

Pada edisi kemarin kita telah membahas tentang arti halaqoh ta'lim, perkataan Habib Umar bin Muhammad bin Salim dalam muqoddimah, serta beberapa hadits yang beliau sampaikan.
Dalam kesempatan ini kita akan membahas lebih lanjut perkataan Al-Habib dalam Muqoddimah.

Selain dua hadits yang kemarin telah kita bahas, Al-Habib juga menyebutkan dua hadits yang lain. Yaitu :
Pertama, Hadits
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ حَتَّى النَّمْلَةَ فِى جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ (رواه الترمذي)
Dalam hadits ini diterangkan bahwa Allah, Malaikat, penghuni langit dan bumi, hingga seekor semut di rumahnya serta ikan semuanya mendoakan orang yang mengajari manusia tentang kebaikan. Yang dimaksud dengan sholawat dari Allah adalah pemberian rahmat. Sedangkan sholawat dari para malaikat dan makhluk yang lainnya adalah istighfar.*
Mengajar Sungguh merupakan kedudukan yang sangat mulia. Rahmat dari Allah yang selalu diharapkan setiap insan, dalam hadits diatas dijaminkan kepada orang yang mengajarkan kebaikan. Ia juga mendapat doa ampunan dari seluruh makhluk Allah swt baik yang di Bumi maupun Langit. Saya rasa dua hal tersebut sudah cukup untuk memotivasi setiap orang yang memiliki ilmu untuk mengajarkan apa yang telah ia ketahui.
Kemudian, apa yang dimaksud dengan 'kebaikan' dalam hadits tersebut? yang dimaksud dengan kebaikan dalam hadits tersebut adalah ilmu agama dan segala sesuatu yang dapat menyelamatkan manusia (dari kerugian dunia dan akhirat)**.
Kedua, hadits :
فوالله لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّه بِك رَجُلًا وَاحِدًا خَيْر لَك مِنْ حُمُر النَّعَم (رواه البخاري ومسلم)
Artinya kurang lebih : Demi Allah, sesungguhnya kamu menjadi sebab pemberian hidayah Allah terhadap satu orang adalah lebih baik daripada mendapat binatang ternak. (HR : Bukhori Muslim)
Hadits di atas adalah penggalan hadits dari kisah perang di Khaibar. Yang intinya adalah kita harus menyampaikan ajaran Islam kepada musuh sebelum kita perangi. Ketika musuh yang kita perangi mendapatkan hidayah Allah dan memeluk islam adalah lebih baik daripada mereka kita kalahkan dan kita ambil harta mereka. Ada juga yang mengatakan bahwa maksud hadis tersebut adalah ketika kita menjadi sebab hidayah satu orang adalah lebih baik dari pada mendapatkan harta kemudian kita sedekahkan.
Bukan hanya orang kafir yang membutuhkan hidayah (untuk masuk islam), akan tetapi orang islam pun memerlukan hidayah. Yaitu hidayah untuk mengamalkan apa yang ada dalam agama islam. Banyak orang islam yang tidak mendapatkan hidayah untuk mengerjakan sholat, membayar zakat, cara berpuasa yang benar dan bagaimana cara bersikap kepada orang lain. Karena tak seorangpun yang dapat mengerjakan amal sholeh kecuali setelah mendapatkan hidayah Allah swt.
Dalam hadits diatas lafadh hidayah tidak dibatasi dengan hidayah tertentu. Maka hadits tersebut mencakup dua hidayah diatas, hidayah masuk islam dan hidayah mengamalkan apa yang ada di dalam islam. Tidak diragukan lagi bahwa penyelenggara halaqoh ta'lim adalah orang yang menjadi sebab orang-orang awam mendapatkan hidayah untuk mengamalkan apa yang ada dalam islam.
Peran kita dalam hidayah sesuai hadits diatas adalah sekedar hidayah irsyad. Karena hidayah taufik hanya milik Allah swt. Wallahu a'lam.
Pada halaman berikutnya Al-Habib menyebutkan ayat 122 surat Al-Taubah yang berbunyi :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Pada ayat diatas diterangkan –wallahu a'lam bimurodihi- agar sebagian umat islam ada yang pergi untuk mempelajari agama islam. Kemudian setelah mereka pulang ke kampung halaman mereka harus mengajarkan apa yang telah mereka pelajari kepada kaum mereka*** . Ini adalah salah satu dari beberapa maksud ayat diatas yang disebutkan oleh mufassirin. Selengkapnya bisa anda baca di buku-buku tafsir.
Setelah Al-Habib memotivasi kita untuk menyelenggarakan halaqoh ta'lim, beliau mengingatkan kita untuk memperbaiki niat kita.
Niat merupakan rukun terpenting dalam setiap kegiatan kita. Banyak orang yang mengerjakan amal kebaikan akan tetapi ia tidak mendapatkan apa-apa karena niatnya yang tidak baik. Banyak pula pekerjaan mubah yang menjadikan sebab mendekatkan diri kepada Allah swt karena niatnya yang baik. Ketika kita menyelenggarakan halaqoh ta'lim, kita harus berniat ikhlas karena Allah swt, menunaikan kewajiban seorang yang telah mengetahui sebagian ilmu, jihad di jalan Allah swt dan niat-niat yang lain selama dalam koridor niat baik****.
Tidak sedikit orang menyelenggarakan halaqoh ta'lim tapi niatnya tidak baik. Misalnya menyelenggarakan halaqoh agar dianggap pandai, dihormati, diberi harta, atau karena menyaingi halaqoh di masjid kampung sebelah. Biasanya halaqoh seperti itu tidak akan langgeng dan tidak bermanfaat. Dan yang terpenting adalah penyelenggaranya tidak mendapatkan apa-apa selain jerih payah dan buang-buang waktu.
Sebagian dari kita biasanya sulit untuk ikhlas dalam mengerjakan apapun, termasuk menyelenggarakan halaqoh ta'lim. Jika kita belum bisa ikhlas, maka yang terpenting adalah kita tidak berniat buruk. Kita jauhi niat-niat yang bisa merusak amal. Kemudian kita usahakan untuk memasukan niat-niat yang baik. Insya Allah seiring berjalannya waktu kita akan ikhlas karena Allah swt.
Selain kita -sebagai penyelenggara halaqoh ta'lim- berniat dengan baik, peserta halaqoh kita juga harus diajari niat ikhlas. Maka akan lebih baik jika hari pertama pembukaan halaqoh ta'lim diisi dengan ceramah tentang pentingnya niat. Niat apa saja yang harus dijauhi. Kemudian mengajarkan niat apa saja yang sebaiknya dilakukan. Sehingga pada pertemuan kedua, baik pengajar maupun murid semuanya akan datang dengan niat yang baik. Wallahu A'lam.
*Al-Taisir syarh al-Jami' al-Shoghir juz : 2 hal : 330 maktabah syamilah.
**Tuhfatul Ahfadzi, juz : 6 hal. : 484 maktabah syamilah.
***Tafsir Ibnu Katsir, surat al-taubah 122.
****Untuk lebih lengkapnya bisa lihat kitab al-Niat karangan Habib Sa'ad Al-Idrus

(Bersambung insya Allah).

Selengkapnya....

“DARAH” SEJARAH ISLAM

Oleh: Muhammad Ufi Isbar Bin Naufal (Mustawa III)

istoria vitae magistra, "sejarah adalah guru terbaik". Merupakan ungkapan yang tidak berlebihan. Sang Proklamator, Bung Karno pun mengungkapkan JAS MERAH (jangan melupakan sejarah). Karena dengan sejarah kita dapat becermin dan mengintropeksi diri kita, menilik kembali kekurangan di hari kemarin untuk tidak terulang lagi di hari esok,

kesalahan dan kelengahan di masa lalu jangan sampai terekam lagi, sekarang dan mendatang. Sejarah merupakan rekaman yang harus dijadikan ‘ibroh dan tolak ukur.
Sejarah 11 September penghancuran gedung WTC yang berdampak menyakitkan dan merugikan kaum Islam. Dengan dampak Afghanistan di kambing-hitamkan, dibombardir dan sebagainya dengan dalih tempat sarang teroris dan mencari Osama Bin Laden, dan Irak yang banyak menyimpan puing-puing Islam dan menjadi pusat Madrasah ro'yi diluluhlantahkan. Dengan alasan mengamankan dunia karena Negara seribu satu malam ini menyimpan bom, dan sangat membahayakan dunia. Seakan-akan mereka menjadi dewa dengan mencoba melindungi dunia. Akan tetapi itu hanya sepihak. Ya kita harus teliti itu hanya sepihak dan tentunya pihak lain sangat dirugikan. Karena menguntungkan pihak satu dan merugikan pihak yang lain.
Dampak besar setelah peristiwa 11 September, agama Islam dianggap sebagai agama teroris, brutal, penuh dengan kekerasan. Dan hal ini dijadikan semboyan bagi yang membenci Islam dan selalu disematkan dalam tubuh mereka. Tapi sekarang benarkah seperti itu?. Benarkah Islam teroris?
Padahal, seandainya kita melihat dengan mata kita, berpikir terbuka dengan akal dan dengan hati terbuka. Maka kita dapat menyaksikan betapa indahnya Islam, betapa bagusnya Islam, betapa harmonisnya Islam, Islam penuh dengan keteraturan dan Islam rahmatan lil'alamin.
Coba kita berpikir bersama!
Islam mengatur segala aspek kehidupan. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, mulai 'allaqoh (hubungan) manusia dengan Sang Khaliq contoh shalat, 'allaqoh manusia dengan sesama contoh sedekah, persamaan derajat, dan sebagainya. Hingga renik-renik kehidupan pun diaturnya, contoh etika ke kamar mandi dan sebagainya.
Islam pun menjaga keselarasan dan keserasian umatnya pada khususnya dan non muslim pada umumnya. Pernah terbayangkankah faedah dalam zakat. Tentunya banyak mengandung fungsi dan hikmah yang terpendam didalamnya. Karena dengan zakat, Islam mencoba mengentas kemiskinan dan kerenggangan social, mencoba memusnahkan rasa acuh tak acuh, rasa egosi dan gak mau tahu.
Setelah muslimin tahu betapa indah agamanya, janganlah merasa puas. Karena musuh Islam banyak, baik musuh nyata maupun musuh “terselubung”. Umat muslim harus lebih berhati-hati dan waspada. Dan musuh yang amat berbahaya adalah umat muslim itu sendiri, muslim yang memberanikan diri mengobok-obok ajarannya. Banyak dari mereka yang tidak percaya dengan al-Qur'an. Al-Qur'an perlu direvisi.
Sungguh aneh! Ayat Allah yang kekal dan termasuk mu'jizat mau direvisi. Kalau begitu alangkah hinanya ayat Allah tersebut karena tidak ada bedanya dengan buku-buku hasil karya manusia, bisa-bisa setelah direvisi akan jadi kitab loakan dan dijual kiloan di pasar-pasar. Dan apakah mereka bukan termasuk orang yang menghinakan Al Qur'an?. Belum yang menafsiri qur'an semau gue. Kalau seperti ini yang bingung mereka yang tidak paham dengan Islam sama sekali atau yang mau masuk Islam, Karena mereka bingung siapa yang akan diikuti. Belum kritikan-kritikan, keraguan-keraguan yang timbul dari sanubari mereka. Mulai keraguan tentang Assunnah, kerelevanan fiqh dan sebagainya.
Seorang muslim harus jeli dan teliti, jeli dalam melihat lingkungan dan teliti tentang ajaran yang diadopsi. Tidak membabi buta mengadopsi ajaran yang dapat menghancurkan Islam itu sendiri. Seperti ajaran yang meragukan tentang Qur'an dan assunah. Karena keduanya ini sangat vital. Kalau keduanya tidak hadir di dunia ini atau diragukan kebenarannya, umat Islam akan mengikuti siapa dan akan dibawa kemana?.
Kemudian setelah mengetahui lembaran merah dan menyakitkan bagi kita umat Islam pada khususnya dan umat dunia pada umumnya, lembaran merah bagi saudara kita yang tertimpa serangan, teman kita yang bersimbahkan darah. Lalu apa yang harus dilakukan? Kita harus segera menata barisan untuk membangun Islam seutuhnya dan bersatu dengan tanpa pandang siapapun untuk men"hijaukan" dunia ini, untuk menebarkan rahmat di alam ini. Wa Allah a’lam.

Selengkapnya....

Mengasah Keindahan Seni Berinteraksi

AM Saputra*
ebih kurang sepuluh tahun yang lalu tepatnya ketika saya masih duduk di bangku madrasah, saya sering mendapatkan wejangan dari Pak Miftah guru kaligrafi untuk sering berlatih dan berlatih dalam menekuni suatu bidang tertentu. Ketika mendapatkan pelajaran dasar menulis kaligrafi di kelas, beliau bilang lebih baik latihan menulis satu kalimat sebanyak 100 kali dari pada menulis 100 kalimat tetapi cuman sekali (1x100 lebih baik dari 100x1).
Apalagi bagi pemula, kaedah-kaedah menulis kaligrafi "khot naskhi" yang merupakan khat wajib dalam seni kaligrafi membutuhkan ketelitian dan ketelatenan tersendiri dimana kehalusan menulis tidak akan dihasilkan kecuali dengan terus menerus berlatih. Saya yang tulisannya tidak lebih baik dari batik ceker ayam merasa mendapatkan support, setelah sekian lama alhadulillah usaha itu mendatangkan hasil yang tidak sia-sia, tulisan arab saya sudah dapat dibaca dengan nyaman meski tidak sebagus guru saya.
Kaitannya dengan seni berinteraksi antar sesama manusia (fan ta'amul ma'a an-naas), dalam kehidupan sehari-hari sering sekali kita mendapati orang yang sangat disayang oleh keluarga, teman, sahabat dan sanak familinya. Keberadaannya benar-benar memberikan kesejukan dan keteduhan, tutur katanya bak air segar menyirami padang hati yang gersang, sikapnya santun dan tidak pernah menyakiti atau mengecewakan, subhanallah kita sampai bergumam betapa beruntungnya dia. Keberadaanya menenangkan sementara kepergiannya senantiasa dinantikan. Sementara di sisi kehidupan yang lain, kita juga kerap kali menemukan orang yang sama sekali tidak disukai, sikapnya keras, perkataannya tajam bak sembilu menyayat kulit dan qolbu, keberadaanya tidak diharapkan serta keperginya sentiasa dinantikan, masayaAllah!? Betapa sulitnya kehidupan tipe orang yang kedua ini dalam bergaul dengan masyarakat.
Melihat kenyataan itu, tentunya kita sangat berharap untuk dapat menjadi orang yang pertama bukan. Siapa sich yang tidak ingin mempunya kawan banyak, dikasihi dan disayangi, kehadiran kita selalu diharapkan dan seterusnya. Adakah hal itu bisa kita lakukan? Ataukah bakat itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang pilihan saja? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita rujuk kembali as-Sunnah sumber falsafah hidup seorang muslim, bagaimana Rasulullah menyampaikan misi diutusnya ke dunia ini seraya berkata: "hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa bagaimanapun rupa dan bahasanya, selagi itu manusia maka ia pasti bisa mendapatkan bakat seni berinteraksi. Apa lagi ditambah dukungan wahyu yang membuat kita lebih optimis untuk dapat mengasah kemampuan seni berinteraksi, karena jika itu diniatkan untuk mendapatkan ridho-Nya maka ia akan mendapatkan hitungan pahala tersendiri. Bukankah Rasulullah mengajarkan bahwa senyuman itu sedekah? Bukan kita diajarkan Rasulullah untuk selalu memberikan kedamaian pada sesama apa lagi kepada saudara kita seiman.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, selagi ada niat dan kemaun insyaAllah semuanya akan dimudahkan. Melatih senyum misalnya, mungkin bagi sebagian kita amatlah sulit dilakuin, tapi jika terus menerus dibiasakan lama-lama akan jadi mudah, malahan kalau gak senyum rasanya ada yang hilang dari kita. Yah gak apa, asal jangan jadi senyum-senyum sendiri tar malah dikira gak waras kan repot juga.
Dari sini marilah kita coba niatkan untuk dapat meniru suri tauladan kita, junjugan kita Sayyidana Muhammad Saw. Sungguh betapa berharganya hidup ini jika hanya untuk disia-siakan, betapa mahalnya nilai hidup ini jika digunakan hanya untuk bermusuhan dan sering mengecewakan orang, terlebih orang-orang yang kita sayangi. Sudah saatnya kita sematkan niat untuk merubah sikap agar lebih dapat diterima orang lain sekaligus menjadi pribadi yang menyenangkan demi meraih ridho-Nya. Kita rawat bersama niat ini ditambah usaha untuk mewujudkannya sehingga pada saatnya nanti Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk mewarisi "uswah" yang terkejewantahkan dalam kehidupan Rasulullah, Amin.

*Penulis adalah aktifis sekaligus jurnalis dan sudah tingkat V Univ Al-Ahgaff

Selengkapnya....

Filosofi Ibadah Haji

Oleh: M. Robi Uz*
“ Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh * Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka” (QS al-Hajj; 27-28).
Ibadah haji merupakan Anugrah Besar sekaligus pamungkas Rukun Islam. Ibadah yang hanya diwajibkan sekali dalam sepanjang hidup bagi orang-orang Islam yang mampu atau dalam Al-Qur'an disebut "man istatho’a".


Sayangnya, tafsir atas kalimat man istatho’a ini seringkali diidentikkan dengan uang. Padahal, sesungguhnya tidaklah demikian. Sama sekali tidak ada kaitan antara haji dengan uang. Nyatanya, banyak orang kaya yang tidak naik haji. Sebaliknya, banyak orang miskin yang berhaji. Bahkan, tidak sedikit yang beranggapan; tanpa haji, Islam seseorang belumlah sempurna. Sampai Rosulullah pernah bersabda, “Siapa yang wafat tapi belum pernah haji, maka mati saja dengan beragama yahudi atau nashroni”. Tentu orang yang dikecam Beliau adalah orang yang sudah mampu haji tapi masih enggan melaksanakan hingga ajal menjemput. Na’udzubillah…

Ibadah Haji dikumandangkan untuk kali pertama oleh Nabi Ibrahim a.s. sekitar 3.600 tahun lalu. Sedangkan Nabi Muhammad saw. melaksanakan haji bersama kaum muslimin pada tahun sepuluh hijriah. Ibadah Haji inilah salah satu bukti tali penghubung antara dakwah Nabi Ibarahim a.s dan Nabi Muhammad saw meski prektek-praktek Haji yang telah diajarkan Nabi Ibrahim sedikit demi sedikit telah mengalami perubahan dan penyelewengan, seperti thowaf dalam keadaan telanjang dan penyembahan berhala di depan Ka’bah. Namun kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Muhammad saw.
Di antara lima fondasi Islam, mungkin hanya hajilah rukun Islam yang sangat sulit dinalar bahkan bisa saja irrasional. Memang Allah sengaja bahkan sering menguji para hambaNya, diantaranya dengan memerintahkan iman terhadap sesuatu yang tidak terjangkau rasio. Kita harus rela mengorbankan harta, waktu, bahkan nyawa demi memenuhi panggilan Allah SWT ini. Dan Dalam Haji, kita melakukan aktivitas-aktivitas yang boleh dikatakan aneh, tak bisa dicerna logika kita seperti melempar batu, keliling ka’bah tujuh kali, bolak-balik jogging antara bukit Shafa dan Marwa, dan masih banyak lagi. Dengan segala pengorbanan dan aktivitas-aktivitas semacam inilah, kehambaan dan keimanan kita akan semakin tampak dan teruji karena tidak mungkin kita bersedia melaksanakan hal-hal seperti ini dengan tulus selama akal dijadikan ‘Hakim nomor Wahid’ dengan mengesampingkan ajaran Ilahy. Nabi Muhammad pun mengakui Ibadah Haji bukan sesuatu yang rasioanal. Beliau bersabda, “Labbaik Bihajjah Haqqon Ta’abbudan wa Riqqon”. Dengan kegiatan-kegiatan haji ini, Iman dan Penghambaan kita bisa bertambah sempurna.
Namun demikian, banyak sekali hikmah dan makna-makna yang tercermin dalam pelaksanaan haji, baik dalam acara-acara ritual atau dalam tuntutan nonritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, dan dalam bentuk real atau simbolik. Kesemuanya itu pada akhirnya mengantarkan jamaah haji semakin meyakini akan keesaan Tuhan, semakin mengingatkan tentang adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini yang akan dirasakan setiap makhluk pada hari kebangkitan kelak, serta para jamaah haji akan semakin mengerti makna kemanusiaan yang universal tanpa perbedaan antara satu dengan yang lain.
Semua itu akan terasa begitu dahsyat dalam hati seorang yang haji ketika dia berupaya benar-benar menghayati makna-makna yang ada di balik ibadah haji. Berikut ini akan dikemukakan secara sepintas kilas beberapa hal yang berkaitan dengannya:
1) Ibadah Haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihrom.
Niat merupakan landasan moral, dasar, dan bentuk bagi sebuah perbuatan. Niat tidak hanya sekadar melafalkan kata-kata tapi upaya menghadirkan kesadaran jiwa dan pikiran dalam ibadah haji maupun yang lainnya. Bila kesadaran sudah tertanam dengan kuat, seorang dapat menampilkan kualitas ibadah haji secara optimal dan mampu meningkatkan wawasan wisata spiritualnya.
Pada umumnya, perbedaan pakaian juga menunjukkan perbedaan status social, ekonomi, atau profesi. Bahkan pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya. Di Miqot Makaniy, tempat memulai haji, perbedaan dan pembedaan pakaian tersebut harus ditinggalkan. Semuanya berpakaian sama. semuanya mengenakan dua helai pakaian berwarna putih-putih sebagaiman kain kafan yang akan membalut dirinya saat mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini.
Seorang yang melaksanakan ibadah haji secara langsung atau tidak akan dipengaruhi oleh pakaian ini. Seharusnya ia merasakan kelemahan dan keterbatasannya serta pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan.
Saat Ihram, Ia pun disunnahkan terus memperbanyak bacaan talbiyah; menyeru bahwa tiada sekutu bagi-Nya, segala puji, kenikmatan, dan kerajaan hanya milik-Nya.
2) Dengan dikenakannya pakaian ihram, maka sejumlah larangan harus dihindari oleh pelaku ibadah haji.
Dilarang membunuh, Jangan menumpahkan darah, tidak boleh mencabuti pepohonan. Mengapa? Karena manusia berperan memelihara makhluk-makhluk Allah serta memeberinya kesempatan seluas mungkin untuk mencapai tujuan penciptaanNya.
Dilarang juga memakai wangian, bersetubuh dan permulaannya, serta berhias. Mengapa pula? Supaya setiap pelaksana haji menyadari betul bahwa manusia bukan materi semata-mata, bukan pula birahi. Dan bahwa hiasan yang dipandang Tuhan adalah hiasan ruhani.
Sedang hikmah dari larangan menggunting rambut dan kuku adalah kesadaran akan jati dirinya dan menghadap Tuhan sebagaimana adanya.
3) Ka’bah yang dikunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga dari segi kemanusiaan.
Disana, misalnya, ada Hijr Isma’il yang arti harfiahnya “pangkuan Isma’il”. Al-kisah, disanalah Isma’il putra Ibrahim pernah berada dalam pangkuan ibunya bernama Hajar, seoarang wanita hitam, budak, yang konon kuburannya pun di tempat itu. Dari Siti Hajar yang demikian ini, seorang pelaksana haji lebih bisa merenungi bahwa Allah SWT memberi kedudukan untuk seseorang bukan karena nasab atau status sosialnya, tetapi karena kedekatannya kepada Allah SWT dan geliatnya untuk berhijrah dari kejahatan munuju kebaikan, dari keterbelakangan menuju berperadaban.
4) Thawaf menjadikan pelaku-pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kekompakan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah.
5) Setelah thawaf, dilakukanlan Sa’i.
Disini, pelaku Haji hendaknya mengenang dengan penuh penghayatan akan sosok Siti Hajar lagi. Keyakinan wanita mulia ini akan kemahakuasaan Allah -yang sedemikian kokoh dengan bukti dia bersama anaknya rela ditinggal di suatu lembah yang tandus- tidak menjadikannya berpangku tangan dengan hanya menunggu turunnya hujan dari langit. Tetapi ia berusaha dan terus berupaya mondar-mandir berkali kali demi mencari air untuk kelanjutan hidup putranya.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah kesucian dan ketegaran, sebagai lambang bahwa untuk mencapai hidup harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran dan harus diakhiri di Marwa yang berarti “sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain”.
Hasil usaha pasti akan diperoleh baik sebagaimana yang dialami oleh Siti Hajar bersama putranya, Isma’il a.s dengan ditemukannya air zamzam itu.
6) Di tanah ‘Arafah, padang yang luas lagi gersang itu, seluruh jamaah haji wuquf (berhenti) sampai matahari terbenam.
Berkumpulnya para jamaah di satu tempat memberi kesan bahwa ibadah haji sebagai media “ibadah sosial”, yakni terbangunnya relasi sosial yang kokoh dilandasi sikap saling mengenal, mengasihi dan menyanyangi diantara sesama manusia.
Di sanalah, mereka selayaknya menemukan ma’rifah pengetahuan sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta di sana pula mereka seharusnya menyadari langkah-langkahnya selama ini. Di ‘Arafah pula, seharusnya mereka menyadari betapa agung Allah yang kepada-Nya bersembah seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniature di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya di Padang ‘Arafah menjadi ‘Arif (sadar) dan mengetahui.
7) Dari ‘Arafah, para jamaah ke Muzdalifah untuk mengumpulkan senjata dalam menghadapi musuh utama yaitu setan. Kemudian selanjutnya ke Mina dan disanalah para jamaah haji melampiaskan kebencian dan amarahnya masing-masing terhadap musuh yang selama ini menjadi penyebab segala kegetiran yang dialaminya. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai simbol bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita.
Demikianlah, ibadah haji merupakan himpunan simbol-simbol yang begitu indah. Apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya ke dalam lingkungan Ilahi dan kemanusiaan yang hak sesuai yang dikehendaki oleh Sang Penciptanya, Allah SWT… Wallahu A’lam
Refrensi :
1. Ihya’ Ulumuddin, karya Imam Ghazaly ra.
2. Al-Hajj wa Fadlluhu wa Fawa’iduhu, karya Syekh Abdul Muhsin al-Badr
3. Membumikan Al-Qur’an, karya Bapak Quraish Shihab
4. www.GusMus.net

*Penulis adalah Mahasiswa tingkat II Univ. Al-Ahgaff

Selengkapnya....