DISKUSI PERDANA; FIQIH ANTROPOSENTRIS

Oleh: Departemen Pendidikan
Di akhir presentasinya, Saudara Birrul Alim menyatakan, proyek besar yang sengaja dibangun oleh pencetus fiqih antroposentris ini adalah masyarakat Islam ke depan akan lebih leluasa melakukan apa yang dianggapnya keadilan tanpa harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini selaras dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits atau tidak.

. “Sejauh manakah kebenaran argument fiqih antroposentris? Apakah konsep-konsep yang diracik dalam fiqih ini sudah benar relevan untuk zaman modern sekarang?” Itulah point yang mengemuka dalam diskusi perdana FoKuS Indo – Forum Diskusi Mahasiswa Indonesia – yang bertajuk FIQIH ANTROPOSENTRIS. Dalam seri pertama, Pemakalah mempresentasikan item-item utama terkait konsep dan tujuan fiqih antroposentris. Pemakalah malam itu (Lailatul ‘Arafah, Rabu, 25/11/2009 M) Saudara Birrul Alim, Ketua Departemen Pendidikan FORMIL ( Forum Mahasiswa Indonesia Al-Ahgaff ). Turut hadir dalam meramaikan diskusi perdana ini, ketua FORMIL ‘09-‘10 M, Saudara Abdul Mu’iz, dan Saudara Khotibul Umam, mantan ketua FORMIL tahun lalu.
Selama kurang lebih tiga puluh menit, Birrul Alim memperkenalkan wacana fiqih antroposentris ini. Antroposentris, apa tuh? Fiqih yang lebih memihak terhadap ‘hak-hak kemanusiaan’ ketimbang ketuhanan, ujar sang pemakalah. Dari katanya, kelihatannya asing. Ternyata, fiqih antroposentris sebenarnya nama ‘keren’ dari Fiqih Lintas Agama. Terbukti sebagian besar isi makalah mengutip dari buku Fiqih Lintas Agama karya Tim Penulis Paramadina. Fiqih ini lahir dari keprihatinan terhadap konsep fiqih klasik yang cenderung mengedepankan pandangan antogonistik bahkan penolakan terhadap komunitas agama lain hingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka. Sebelum mengenalkan konsep, Birrul Alim memaparkan bahwa Masyarakat Islam Indonesia secara khusus dan masyarakat Islam Internasional secara umum membutuhkan fiqih wajah baru yang lebih acceptable dan aplikatif untuk menjawab tantangan masyarakat modern yang selalu berkembang dan membangun masyarakat yang inklusif-pluralis.
Di akhir presentasinya, Saudara Birrul Alim menyatakan, proyek besar yang sengaja dibangun oleh pencetus fiqih antroposentris ini adalah masyarakat Islam ke depan akan lebih leluasa melakukan apa yang dianggapnya keadilan tanpa harus mempertimbangkan apakah perbuatannya ini sesuai dengan pesan-pesan yang tersirat dalam al-Quran dan al-Hadits atau tidak.
Selanjutnya, sesi tanya-jawab sepintas teks makalah. Ada sekitar empat peserta yang mengajukan pertanyaan sekaligus kritikan. Diantaranya, Saudara Khotibul Umam. Penasihat FORMIL ini mengkritik struktur atau sistematika penulisan makalah yang menurutnya cukup amburadul dan kurang proporsional. Masih amburadul sebab peletakan tujuan yang seharusnya sebelum penutup malah justru diletekkkan di awal sebelum pendahuluan. Dia pun menilai kurang proporsional karena penulis tidak menyinggung terlebih dahulu pembahasan fiqih teosentris melainkan langsung mengangkat judul fiqih antroposentris padahal buku yang dijadikan acuan jelas sedang membandingkan antar-keduanya serta mengajak maju dari fiqih teosentris menuju fiqih antroposentris. “Jadinya, kita agak bingung, kog langsung antropo? Mana lawannya?. Namun, terlepas dari itu semua, saya sangat menghargai dan memberi dukungan setinggi-tingginya”, tegas Saudara Umam menutup pembicaraan.
Acara malam itu kemudian beranjak ke bagian inti. Pada sesi utama ini, ternyata tidak sedikit yang membantah konsep-konsep di atas bahkan boleh dikatakan semua peserta masih memilih dan sangat berpihak pada fiqih rintisan ulama salafus sholih. Untuk mengkaji kebeneran dan relevansi fiqih ini, Saudara Badrut Tamam menyarankan, “Mestinya, kita fokus ke inti dasar perumusan fiqih antroposentris ini, bahwa fiqih ini berkiblat penuh pada kemaslahatan yang hanya diukur oleh akal sehingga mengabaikan al-Quran dan al-Hadits. Jikalau dasar ini diterima, maka konsep-konsep lain tidak perlu dibahas. Hemat saya, Jelas sekali dasar ini amat bertentangan dengan cara pandang islam itu sendiri. Meski diberi akal, Manusia tanpa tuntunan wahyu justru tak akan mencapai maslahat tapi malah terjerembab dalam lembah mafsadah”, tegas ketua pendidikan PPI Hadlromaut ini dengan mengutip pendapat Dr. Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti dalam Kubro al-Yaqiniyatnya.
Masih sekitar maslahat, Saudara Abdul Mu’iz menambahkan. Dengan refrensi kitab al-Muwafaqot karya Abi Ishak Asy-Syathibi, Maqoshid as-Syari’ah karya Ibnu ‘Asyur, dan Mausu’ah Islamiyah karya Dr. Wahbah Zuhaily, Muiz menjabarkan bahwa Ulama sepakat menjadikan Hifdzud Din (menjaga agama) sebagai nomor satu dan paling utama di atas empat tujuan syari’at yang lain. Dengan menggunakan konsep kunci seluruh pemikiran Islam, Mashalih al-‘Ammah (atau memperhatikan kepentingan umum), asy-Syatiby (w. 790 H), seorang ulama fiqih kondang dari Andalusia, mujaddid abad ke-8 H, berusaha melueskan teori kaku dari ushul fiqih dengan merumuskan Maqashid asy-Syar’iyyah (Tujuan Syariat), yaitu memelihara –dalam arti luas- agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta benda. Komponen-komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia.“Bahkan Ibnu ‘Asyur”, lanjut Mu’iz, “menambahkan satu tujuan syariat lagi”. Kemudian untuk mengahapus asumsi bahwa fiqih klasik lebih memihak kapada Tuhan, Mu’iz masih mengutip statement Ibnu ‘Asyur. “Menurut beliau, Manusia diciptakan Allah untuk beberapa tujuan dan misi; Liya’budun, sebagai Kholifah fil Ardl, dan sebagainya. Lah, dari semua tujuan tersebut, terbukti bahwa pada hakikatnya, Allah tidak butuh semua itu dan justru amat menguntungkan manusia”. Ada lagi peserta yang mendukung pendapat Mu’iz dengan landasan Hadits Qudsi riwayat Abi Dzar al-Ghifari, Ya ‘Ibadiy, Law Anna Awwalakum wa Akhirokum wa Insakum wa Jinnakum kanu ‘ala Atqo Qolbi Rojulin wahidin minkum, Maa Zada Dzalika fiy Mulkiy Syaian…..(Hadits ke-24 dalam Kitab Arba’in Nawawi).
Namun, Sang Pemakalah tetap konsisten pada presentasinya. Birr berusaha menopang serangan-serangan forum dengan memetik kisah Raja Anusyarwan yang tak jarang dikutip dalam berbagai kitab tafsir, katanya. Singkatnya, Raja yang beragama majusi ini mampu membangun masyarat yang amat makmur dan tentram tanpa tuntutan wahyu.
Berbeda dari rekan-rekan sebelumnya, Saudara Candra mengambil posisi yang fair terhadap fiqih antroposentris. Dia lebih menilai unsure-unsur yang melatarbelakangi terlahirnya fiqih macam ini. “Latar belakang tercipatanya fiqih ini adalah semacam pemberontakan terhadap fiqih klasik yang terlalu indinvidualis”, terangnya. Maklum saja konsep-konsep dalam fiqih ini sengaja didesain sedemikian rupa yang amat modernis, populis, dan memprioritaskan yang sosial. Begitu pula dengan Risan. Dia menganggap fiqih ini merupakan trobosan baru dari sekian desakan-desakan dan syubah fitnah yang terus berkecamuk dalam dunia terutama setelah ledakan gedung WTC.
Banyak sekali diskusan yang ingin menyumbang pikiran. Mereka terus mengangkat tangan ingin ikut andil. Moderator, Saudara Hafidz, sampai bingung mau milih siapa sambil mengingat waktu yang semakin larut malam. Malam itu memang penuh kritik dan counter dari para diskusan atas fiqih yang –menurut pengusungnya- lebih bijak dari fiqih klasik.
Meski makalah baru dipublikasikan dua hari sebelum hari-H, Diskusi ini dihadiri cukup banyak peserta. Bahkan tempat duduk yang disediakan tak tersisa. Sampai panitia berinisiatif untuk menggelar dua karpet lagi untuk menampung peserta yang tidak kebagian tempat. Ini menunjukkan antusiasme yang cukup tinggi dari para peserta diskusi.
“Semoga iklim ini dapat dijaga dengan baik”, harap penulis dalam hati ^_^.

Tarim-Hadhramaut, Sore Jumat 10 Dzulhijjah
Happy ‘Iedul Adlha Day


0 komentar:

Posting Komentar