MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT PINGGIRAN

(Kajian Analogisasi Teori Huruf Dalam Gramatikal Arab)

Oleh: Umamelsamfani*

alam diskursus tata bahasa Arab, aqsam kalam dibagi menjadi tiga; Kita mengenal kalimat isim, fi`il dan huruf. Tiga komponen itu merupakan pokok pembahasan gramatikal Arab. Secara singkat, pengertian kalimat isim ialah kata yang menunjuk langsung pada suatu benda tertentu, sementara kalimat fi`il sebagaimana masyhur, terbagi menjadi tiga bagian;


Ada yang merujuk pada kegiatan lampau (fi`il madli), ada pula yang berorientasi pada kejadian kini, proses yang sedang berlangsung dan yang akan terjadi (fi`il mudlari`, lil hal wa istiqbal), dan terakhir berbentuk perintah (fi`il amar, listiqbal). Selain dua kelompok tersebut, dalam gramatikal Arab dikenal juga kelompok ma siwa huma, la isma wala fi`la. Kelompok terakhir inilah yang saya analogisasikan sebagai kelompok masyarakat pinggiran, kekuatan akar rumput (gress root power ) yang dalam terma nahwu disebut Huruf.
Huruf sebagai kelompok masyarakat pinggiran, tentunya tidak berstatus apa-apa, ia bukan isim berkelas social elitis, ia bukan fi`il yang mempunyai kepentingan program jangka pendek atau jangka panjang sesuai keterlibatannya dalam lingkaran kekuatan jumlah ismiyah ataupun fi`liyah, hurufpun seakan tidak dapat memposisikan diri sebagai subyek yang mampu berdikari, ia sama sekali tidak memiliki kekuatan sempurna, kecuali keberadaannya bersanding dengan kalimat isim atau fi`il, karena hal itulah, bagi saya, huruf sangat tepat bila dianalogisasikan sebagai kelompok pinggiran yang perlu diberdayakan, disebut pinggiran karena secara bahasa huruf berarti pinggir, sementara secara power ia berada dalam posisi lemah (dla`ful makanah), sehingga untuk memastikan dan mengetahuinyapun, hanya cukup dengan tidak adanya tanda atau alamat yang terdapat pada isim atau fi`il. Ibn Malik dalam nadzam al Fiyah menyatakan; "Wal harfu lam yashluh lahu `alamah, Illantifa qabulihil `alamah", nadzam ini menurut saya -dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada beliau- sedikit menyisakan isykal dalam proses reaktualisasi substansi maknanya, ketika coba dianalogikan dengan upaya pemberdayaan masyarakat pinggiran yang memasang huruf sebagai ikon utamanya, namun demikian, keberadaannya sebagai inspirasi kajian ini sangatlah bernilai istimewa, setidaknya bagi saya pribadi, hal ini penting diapresiasi, sedikit isykal yang saya isyaratkan itu, karena pengertia umum nadzam tersebut seakan menutup pintu kemungkinan memberdayakan kekuatan huruf yang sesungguhnya amat potensial, walaupun secara kasat mata tidak bisa diketahui melalui tanda khusus yang ada pada isim atau fi`il, tetapi kekuatan maknawi yang ada pada huruf, sangat bisa dibuktikan efeknya, sebab huruf sendiri berperan sebagai penanda (alamat) bagi isim atau fi`il, ia memang tidak perlu tanwin untuk disebut huruf, ia pula tidak perlu menerima ta` ta`nits, karena ta` ta`nits sendiri adalah huruf, ia juga tidak butuh nun taukid, sebab nun itu sendiri adalah huruf, dan beberapa huruf lain yang khusus menandai isim atau fi`il.
Itulah sebabnya, tawaran solusi suksesi pemberdayaan huruf, dengan memposisikannya sebagai penentu utama dalam satu waktu dan penyempurna jumlah dalam situasi dan kondisi berbeda ini, patut diwacanakan, ia bukan lagi sekedar huruf yang tidak mempunyai arti apa-apa, ia adalah huruf (masyarakat pinggiran) yang diproyeksi berpotensi menjadi motor perubahan tanpa harus diawasi, didikte dan dikawal ketat kekuatan system tertentu, dan karenanya, huruf bisa saja menjadi ikon massal bagi kelompok isim dan fi`il sebagai representative masyarakat modern berkelas social tinggi, walaupun demikian, kemandirian karakter huruf dan independensinya dalam merubah diri dan masyarakat bangsa masih tetap dapat diandalkan. Posisi huruf laksana Tsuraya dalam gugusan bintang, planit merkurius dalam tata surya dan asas membentuk kalimat. Tanpa huruf, selamanya tidak akan pernah ada kalimat. Huruflah yang menentukan ada tidaknya kata, huruflah yang menjadikan keserasian bahasa (fashahah kalimat) atau kerancuan dalam susunan kalimat (tanafur), ialah yang jika satu sama lain berpisah, dengan sendirinya susunan kalimatpun akan bubrah, huruf sangat mungkin didayagunakan potensi juangnya bila diberdayakan dengan merapatkan barisannya, ia akan menjadi kekuatan pinggiran yang siap menggulingkan kemapanan system yang sewenang-wenang, kekuatan huruf yang ada pada masing-masing karakternya, secara alamiah sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai kekuatan dahsyat yang mematikan, dan ia akan lebih bernilai istimewa ketika bersatu padu dalam rangkaian kata-kata mutiara.

Huruf, Representasi Masyarakat Pinggiran
Dari argumentasi pengantar itu, dapat disimpulkan, bahwa keberadaan huruf muncul sebagai representasi kekuatan masyarakat bumi yang benar-benar membumi, tanpa menafikan makna filosofi "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung", karena apapun profesi atau posisi kita dalam masyarakat, berstatus social tinggikah, menengah, bahkan lemah sekalipun, kita wajib memainkan peran nyata layaknya tradisi fi`il, atau seperti isim yang selalu berperan aktif mengharumkan status social masyarakat setempat melalui predikatnya. Tentu semua kita sepakat dengan ide-ide segar itu, tapi bagaimanakah cara kita memberdayakan masyarakat pinggiran (huruf) menjadi bagian penting dalam menyempurnakan makna filosofis tamsil tersebut. Kita harus melaksanakan nilai-nilai ajaran yang bersumber pada kekuatan persatuan dan kebersamaan membangun karakter bangsa, yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dengan saling memberi peluang beraktifitas positif, berkarya kreatif, inovatif, konstruktif bagi setiap elemen masyarakat di lingkungan kita dalam segala hal yang dapat memacu terciptanya tatanan masyarakat pinggiran yang lebih baik, membangun kekuatan relasi dan kemitraan dalam berorganisasi, membudayakan sharing idea dan take and give demi kesempurnaan proses pemberdayaan masyarakat disegala lini kehidupan. Dari sinilah, huruf dapat diprediksi sebagai kekuatan baru yang paling siap menggantikan posisi struktur kalimat isim atau fi`il dalam situasi krisis power (minal huruf lidzdzuruf).
Ibn Malik dengan tegas menyebut status huruf (masyarakat pinggiran) sebagai mustahiq lil bina, yang kerap disandarkan pada pengertian konservatifisme, anti modernisasi, kampungan, ndeso, tulalit, oneng, oon, bloon, dan istilah miris lainnya. Bagi saya, dalam kajian social, masyarakat huruf tidak berarti sama sekali tidak memiliki kekuatan, karakteristik, potensi, budaya dan kemampuan intelektual di atas rata-rata, kenyataan ini saya kemukakan bukan tanpa validitas data riil, bahkan jika menganut pendapat Ibn Khaldum, sejarawan muslim berdarah Hadhramaut dalam Muqaddimahnya, justru kemajuan besar dan kekuatan mental superior itu banyak tumbuh dari kaum badawi (kelompok masyarakat pedalaman Arab) yang disebutnya sebagai pemberani, anti basa-basi dalam mengungkap kebatilan penguasa demi tegaknya kebenaran. Dalam diskripsinya, Ibn Khaldun menyebut keberanian mereka para badawi itu tampak ketika datang menemui seorang raja atau penguasa, ketika itu mereka datang dengan tombak terangkat tinggi seakan menantang kekuatan istana (raja atau penguasa) yang dzalim dan semena-mena dalam menerapkan kebijakan public, bahasa mereka lugas namun tegas, mereka seakan ingin memudarkan pamor protokoler yang menjadi pakem pemerintahan atau kerajaan, mereka meninggalkan aksi sakralisasi penghormatan dalam bentuk sujud dan membungkukkan badan di depan penguasa dzalim, mereka datang dengan dada tegap, mereka itulah yang oleh Ibn Khaldun disebut sebagai pioner perubahan sejati, masyarakat pinggiran yang mampu mendobrak kebatilan dengan segala kemampuan yang dimilikinya, mereka itulah simbol perubahan, modernisasi yang sesungguhnya, hanya masyarakat kampunglah (badawi) yang lebih pantas disebut sebagai kelompok anti kemapanan, mereka lebih memilih berubah menuju kesempurnaan dari pada bertahan dalam himpitan dan genjetan penguasa dzalim yang tak berprikemanusiaan. Bahkan mereka berani mempertaruhkan darah, harta benda atau nyawa sekalipun, mereka leluasa melakukan segala keinginannya itu, karena tidak terikat aturan-aturan berlatar belakang kastanisasi, status social (priyai, abangan), material (kaya, miskin), intelektual (pintar, bodoh) dan pembeda lainnya.
Ironisnya, pengelompokan masyarakat banyak pula ditemui di lingkungan lembaga pendidikan kita dengan memfokuskan tingkatan title atau besar-kecilnya nilai dalam beberapa materi pelajaran yang dievaluasi temporal dalam memulyakan dan memposisikan seseorang sebagai bagian penting dalam masyarakat. Menyikapi hal itu, Mahbub Junaidi, mantan ketua PBNU, kolomnis kondang era tujuh puluhan itu pernah menyatakan, bahwa karya tulis yang disebut ilmiah sering diidentikkan oleh sebagian masyarakat, dengan tulisan-tulisan atau karya-karya yang sulit difahami, atau yang membawa istilah bahasa asing yang tidak biasa digunakan (gharabah), al hasil, Mahbub menyimpulkan, bahwa wacana "aneh" itu sebagai aliran neo primordialisme, dengan mengindikasikan tulisan ilmiyah yang harus ditulis seorang sarjana, magister, doctor, professor atau harus paham bahasa asing, harus sulit dimengerti banyak kalangan dan tidak seperti biasanya, wacana ini jelas sangat mempengarui proses pemberdayaan kualitas pendidikan masyarakat pinggiran (huruf) yang mayoritas hanya berpendidikan rendah atau menengah, karena dengan wacana "intimidasi" itu, berarti telah membunuh kesempatan masyarakat awam dalam berekspesi dan berkarya.
Relevansi dan kekuatan substansi kritik Mahbub Junaidi itulah yang dalam kajian ini, ingin saya jadikan pelecut semangat bagi saya pribadi dan shabat mahasiswa universitas al Ahgaff untuk terus berlatih otodidak dalam berkarya melalui media tulis yang telah tersedia, dengan berani mewacanakan ide, serius menaggapi opini atau essai, demi percepatan proses pemberdayaan kita sebagai bagian pinggir kekuatan kelompok lain yang meligkupi. Dalam teori nahwu, upaya memasyarakatkan masyarakat dengan tanpa membedakan kelas sosialnya, adalah target awal yang harus dicapai oleh kaum huruf untuk memposisikan diri sebagai subyek dan bukan selamanya sebagai obyek dengan memberdayakan fungsi huruf istifham yang memiliki kekuatan control, mengawasi, menanyakan tentang suatu hal terkait laju aktifitas, kekuatan institusi dan organisasi-organisasi yang melingkupi, terkait beberapa kebijaksanaannya yang berimplikasi langsung terhadap keberadaan kita sebagai kaum hurufi. Melalui proses pemberdayaan kelompok huruf (istifham) ini, diharapkan mampu mengimbangi kerancuan informasi dan kesimpangsiuran aturan atau kebijakan dengan pro aktif bertanya, mengawasi dan mengkritisi, menggunakan media "institusi huruf istifham" seperti, hal, kam, mata, aina, man, ma dan lain sebagainya, atau dengan cara melengkapi struktur jumlah ismiyah dengan menyisipkan huruf jar, dan cara lain seperti menjadi tanda bagi kalimat isim atau fi`il yang menunjuk makna mudzakkar atau mua`annats, seperti karim, karimah, shahih, shahihah, ya`lamu, ta`lamu dan lain-lain.
Setelah memahami potensi dan kekuatan huruf yang cukup menjanjikan harapan dalam mewujudkan perubahan dan pemberdayaan masyarakat pinggiran, maka tinggal satu hal yang harus segera kita lakukan bersama, yaitu kesanggupan kita saling bersatu padu mewujudkan harapan mulia itu dengan menyandingkan huruf-huruf yang masih terpisah, untuk dijadikan kekuatan "kalimat isim" atau "kalimat fi`il" baru yang siap menggeser kemapanan "kalimat isim" atau "kalimat fi`il" lama melalui penggabungan persepsi (tajmi` `ara`). Bila keberadaan huruf-huruf itu dihimpun dan disatupadukan, maka kekuatan menyampaikan aspirasi dalam bentuk kalimat, segera dapat terwujud nyata. Kita tinggal memilih desain bahasanya saja, sehingga "kalimat isim atau fi`il" baru itu dapat disampaikan dengan sangat mengesankan, terhindar dari kerancuan (tanafur), tidak saling berbenturan kepentingan antar sesama huruf, tidak terkesan asing didengar (gharib), dan tidak sulit difahami penerimanya.
Lantas pertanyaannya, seperti apakah bentuk "kalimat isim atau fi`il" baru yang memenuhi kriteria ideal?. Tentang hal itu, tentu sangat bergantung situasi dan kondisi tertentu untuk mengekspresikan tulisan untuk menjadi sebuah kalimat yang mencerahkan. Apakah kalimat baru itu harus berbentuk sya`ir, puisi, cerita, natsar, diskripsi, argumentasi, opini, esssai, counter wacana dan lain sebagainya, itu bukan masalah. Tapi secara pribadi, saya lebih cendrung memilih menguatkan karakter yang ada pada masing-masing huruf itu sendiri sebelum melangkah lebih jauh menyusun kata-kata, seperti contoh; Kelompok huruf istiham (masyarakat pinggiran yang memiliki kekuatan kritik konstruktif) umpamanya, harus diberdayakan untuk terus melakukan koreksi konstruktifnya dengan menempel ketat setiap statemen jumlah ismiyah atau fi`liyah (kekuatan system) yang tidak jelas arah maknanya, sementara huruf "inna littaukid" diberdayakan sebagai penguat dan penegas kebijakan tertentu yang diambil demi kemashlahatan bersama, di sisi lain huruf lam, berupaya memberdayakan fungsi kontrolnya dengan menegasikan tuduhan miring yang dihembus untuk melemahkan semangat pengawasan antar sesama yang kini mulai tumbuh dalam bentuk kritik-kreatif dalam beropini melalui wacana citizen journalism (jurnalistik warga), atau dalam istilah nahwu akrab dikenal dengan sebutan "amil nawasikh" yang bertugas sebagai "kekuatan sayap" dalam merubah kemapanan jumlah (struktur kalam). Kekuatan yang saya maksud mengacu pada kekuatan huruf yang memiliki peran taghlib, taqlib, takhrif, ta`kid dan lain sebagainya, bahkan huruf illat dan ziyadah sekalipun (masyarakat pedalaman yang sama sekali tidak memiliki kekuatan materi maupun immateri) dalam teori gramatikal Arab masih dapat mempengaruhi kalkulasi makna politik kekuasaan (tarkib kalam), seperti merubah makna lazim ke muta`addi, dengan menyisipkan huruf hamzah atau memasang huruf nafi sebelum fi`il mudlari` untuk merubah makna menjadi madli, dan masih banyak contoh lain upaya pemberdayaan huruf dalam rangka ikut serta membangun kesuksesan bersama menyampaikan makna pesan kebaikan yang terorganisir dalam struktur kalam yang rapih, mengesankan, menarik perhatian, tepat sasar (muqtadlal hal) dan dapat diterima dengan baik oleh semua kelas social masyarakat. Analogisasi konsep yang diserap dari ilmu nahwu itu, kemudian dipadukan secara cermat ke dalam ilmu balaghah seputar pengertian fashahat kalimah wal kalam, yang mengharuskan struktur kalimat rapi, tidak rancu bahasa (tanafur), dan tepat dalam memilah kata popular (ghair gharibah wa mukhalafatul wadli`) dengan memperhatikan kemampuan penerima pesan bahasa yang disampaikan (mukhatab).
Klaim bahwa masyarakat huruf tidak berdaya, dicap mustahiq lil bina, statis, anti peradaban dan perubahan ternyata masih mampu membalik kenyataan dan bahkan merombak arah makna jumlah ismiyah atau fi`liyah yang sudah mapan, dengan berbekal keyakinan, ia bisa menembus tembok kategoris kalimat isim dan kalimat fi`il, ia berani mengetuk pintu berulang kali dan boleh jadi mendobraknya, bila cara diplomasi santun berbahasa tidak sukses mencairkan situasi yang membelit kehidupannya dan menghimpit status sosialnya. Seakan-akan bagi huruf, status kehurufan bukan berarti harus lemah secara maknawi, atau bahkan tidak bisa berbuat apa-apa, padahal ia mampu bermakna dan memaknai kehidupan, sebagaimana kalimat isim atau fi`il yang memiliki status makna berbeda, ia pun kadang hadir mengacak pemahaman dan kemapanan yang ada, sebagai bentuk protes keras dan perlawanan atasnama institusinya, hal ini sebagaimana silang pendapat nahwiyin dalam menentukan status "laysa", antara disebut sebagai kelompok fi`il menurut madzhab jumhur yang diyakini Ibn Siraj, ulama gramatikal Arab pertama yang menyatakan laysa bukanlah huruf, atau seperti al Farisi dalam sebagian pendapatnya yang didukung oleh Abu Bakar bin Syuqair dengan menyebutnya sebagai huruf.
Ketidak selarasan pendapat para nuhat ini pulalah yang memicu huruf sebagai kelompok oposan cukup kuat, disegani dikalangan struktur jumlah ismiyah ataupun fi`liyah, koreksi dan intensitas reaksinya yang sangat tinggi sekali tampak dalam target kelompok huruf (masyarakat pinggiran) yang berafiliasi langsung dalam wadah masyarakat anti penguasa (nawasikh al mubtada), mereka mayoritas memilih garda depan sebagai pangkalan melancarkan
aksi-aksinya, sebut misalnya "inna corporation" (inna wa akhawatuha), al huruf al musyabbah bi laysa (ma, lata dan in), atau huruf nafi dan nahi, ada pula yang di tengah kalimat, seperti istitsna` bi illa, taqdir bi huruf jar, washal bi huruf athaf dan lain sebagainya.
Jika teori hitam di atas putih ala ulama nahwu itu dapat dikaji seara kontekstual, atau dianalogisasikan sedemikian rupa, selayaknyalah bagi kita mengapresiasi hal itu dengan mencoba mereaktualisasikan konsep dasarnya pada tataran praksis. Kenapa teori gramatikal Arab ini tidak kita coba untuk dijadikan pedoman penyeimbang beberapa konsep lain dalam proses membangun kekuatan masyarakat pinggiran (huruf) melalui pemberdayaan karakter bertahap, sebagaimana teori Ibn Malik dalam al Fiyahnya, al Imriti, Ajurumi, Qatrunnada, Syudurudzahab, Usul Nahwu, Ibn Aqil dan lain-lain, sehingga kita tidak harus selalu menganut teori-teori hitam di atas putih yang dibangun melalui kegamangan berfikir dan skeptisme nalar tentang apa sesungguhnya alam berikut makhluk social yang mengitarinya, apalagi ada missi destruktif dan banyak pemahaman yang meracuni kesucian dan kemurnian keyakinan kita pada Allah sebagai dzat sang pencipta. Sudah sangat banyak hasil penelitian akademisi yang dikembangkan sebagai teori sosial pemberdayaan masyarakat pinggiran yang teorinya lebih didominasi kekuatan akal belaka dan sedikit sekali -untuk tidak menegasikan keseluruhan- yang merujuk pada sense kekuatan bahasa agama (mukjizat alqur`an dan proses pewahyuannya) yang ghair ma`qul menurut para orientalis, karena mereka memang tidak mengimani keberadaan al qur`an sebagai mu`jizat Nabi, sementara kita mengimaninya sebagai al ghaibiyat dan bentuk nyata ta`abbudiyah.
Dengan mencoba mengaplikasikan muatan arti dari teori huruf ini ketataran praksis, sedikit demi sedikit kita memulai langkah menggali kembali kekuatan fitur bahasa al Qur`an yang mulai memudar di kalangan kita sendiri, padahal sesungguhnya, untaian bahasa Al qur`an sangat mengagumkan pembacanya dan mengesankan bagi para pendengarnya. Benar…, "Inna hadzal qur`ana yahdi lillati hiya aqwam, wa yubassyirul mu`minimal ladzina ya`malunash shalihati anna lahum ajran kabira" (al Isra`/9).
Akhirnya, bila Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia kerap menutup tulisannya dengan meminjam gaya bahasa penyiar radio BBC; "for now good bye", maka saya lebih enjoy mengutip koreksi Imam Assubqi atas kesimpulan Ibn Hajib dan al Amidi tentang masalah khilaf lafdzi dalam ushul fiqh, dengan bahasa khas yang memukau, beliau berkata; "Laula hadzal ikhtishar, la`awqaftuka `ala a`jabil `ujab". Andai saja tidak karena demi meringkas tulisan ini, sungguh akan saya jadikan anda terdiam seraya berdecak kagum atas banyak hal lain yang sangat sensasional (terkait diskursus gramatikal Arab seputar teori huruf ini). "Wahwa bisabqin haizun tafdlila mustaujibun tsanaiyal jamila". Yassalam isy min kalam !

*) Jurnalis dan Mantan Ketua Umum FORMIL 2008-2009.


1 komentar:

  Unknown

11 Januari 2015 pukul 22.50

ok

Posting Komentar