ASPEK BELAJAR PESANTREN VS ARAB

Oleh: Muhammad Ufi Isbar Bin Naufal*

Terkadang realita itu membuat kita terkecoh. Tak jarang seorang yang mulanya rajin ibadah, tersandung dengan realita akhirnya dia mengesampingkan ibadahnya dan diganti dengan bekerja. Tak sedikit pelajar yang rajin dan sering mendapatkan 'medali' penghargaan, harus berbalik setir untuk bekerja dikarenakan realita yang memaksa. Dan hal ini tidak dapat dipungkiri dengan mudah. Bisa dikatakan bahwa realita adalah 'si pemaksa ulung'.


Di saat zaman modern ini, banyak realita yang menuntut untuk instant. Sarana dan prasarana dicurahkan untuk menginstankan semua hal. Mulai diciptakan mi instant yang siap saji hanya dengan beberapa menit saja, ada kereta yang berkecepatan tinggi, tentunya ini akan menginstankan waktu. Instant dan efesien merupakan ukuran masa sekarang. Dan tak ketinggalan pula, kurikulum pendidikan diolah se-instan dan se-efesien mungkin. Kursus kilat, les-les dan tetek bengeknya dimunculkan dan tak lain alasannya agar instant dan efesien waktu.
Diantara lembaga pendidikan yang mulai "terkena polusi", yakni terpengaruh realita ini adalah pesantren. Lembaga ini merupakan lembaga tertua di Indonesia yang menelorkan pejuang-pejuang saat masa peperangan, mencetak kader yang dapat mewarnai bangsa. Lembaga ini pun mulai banyak menuai kritik dikarenakan tidak sesuai dengan realita, dan tidak relevan. Tidak relevan disini ditujukan pada metode pendidikan, bukan ajaran. Metode atau manhaj ta'lim dan ta'allum dengan system makna gundul ini yang mendapat sorotan. Banyak kalangan yang menilai ngaji bandongan dengan makna gandul ini tidak relevan dan sudah saatnya ditanggalkan. Mereka mempunyai beberapa argumen yang sangat tajam, diantaranya :
1. kurang efesien
Manhaj ini tidak efesien, karena membuang waktu. Waktu yang semestinya dialokasikan cukup satu jam untuk menerangkan, akibatnya memakan waktu dua sampai tiga jam. Bahkan yang sering terjadi di lapangan adalah prioritas berlebih terhadap makna ketimbang pemahaman. padahal yang lebih vital adalah memahami isi kitab itu, sebab makna bukan kebutuhan primer.
2. Melahirkan Ketergantungan
Efek negatif lain dari manhaj ini adalah melahirkan rasa ketergantungan pada makna bagi santri. Seringkali kang santri (sebutan untuk anak yang belajar di kurikulum ini/pesantren, red) merasa sulit untuk membaca karena makna tidak tertera di kitabnya.
Tapi, pendapat ini tidak semua benar. Tentunya, dalam semua hal terdapat sisi baik disamping sisi buruk. Dua hal ini, baik-buruk, siang-malam, cantik-jelek dan sebagainya adalah fenomena umum yang selalu berhadapan.
Sisi positif dari metode "ngaji badongan" dengan dimaknai adalah membantu kang santri dalam masalah I'rob. Secara tidak langsung, kitab yang bermakna akan mengurangi kesulitan murid dalam ilmu gramatikanya. Contoh:
Kalimat ALHAMDULILLAHI ROBBIL 'ALAMIN.
Jika dimaknai akan menjadi: utawi sekabeani puji patang perkara iku tetep kagungane Allah kang mengerani wong alam kabeh.
Di sini sangat jelas. Dalam metode memberi makna atau bahasa lain maknani sangat membantu. Dalam perspektif gramatika arab alif lam yang tertera pada kata-kata AL HAMDU merupakan alif lam yang berfungsi istighroqul jinsi (mengandung arti menyeluruh dan luas serta memuat arti kull (setiap/seluruh) ). Maka layak kiranya jika al hamdu diartikan setiap pujian atau seluruh pujian yang bahasa makna jawanya adalah sekabehan pujii patang perkara. Maksudnya adalah segala puji empat perkara. Kenapa harus empat? Karena pujian itu hanya berpusat pada empat hal. Yakni Sang Khaliq memuji makhluknya, atau sebaliknya yaitu makhluk memuji Sang Khaliq, atau Sang Khaliq memuji dzatNya sendiri dan yang terakhir adalah makhluk memuji sesama makhluk. Jadi tepatlah makna jawa yang diartikan utawi sekabehani puji patang perkara. Dan pada lafadz alamin itu merupakan bentuk plural dari kata alam. Maka tepat pula jika diartikan kang mengerani wong alam kabeh. Kata kabeh disini menunjukkan kata alamin adalah jama'.
Sekarang mari kita komparasikan dengan terjemahan Indonesia. Maka kata ALHAMDULILLAHIROBBIL 'ALAMIN memiliki arti "segala puji bagi Allah yang menjadi tuhan alam semesta. Tentunya kita sudah dapat melihat titik kelemahannya. Yakni kurang jelas dalam arti 'segala puji'. Karena kata segala itu lebih global dan belum tahshilul maqsud, belum tercapai maksud. Meskipun sudah mendekati. Dan kata 'alam semesta' itu hanya mengartikan 'alam. 'alam adalah ma siwallahi, semua hal selain Allah.
Jelas sudah sisi positif makna jawa. Dan sisi lain adalah melatih kesabaran dan membantu memahami. Dengan memaknai maka pemahaman kang santri akan terangsang sebelum ustadz menerangkannya. Bisa jadi rentang waktu untuk memaknai ini dijadikan even berharga bagi kang santri untuk meraba-raba maksud kata itu. Dan ketika ustadz menerangkan, kang santri hanya mengulangi memori pemahamannya. Dengan banyak mengulangi memahami, maka kang santri akan semakin lekat pemahamannya. Dengan tanpa memaksa kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya metode maknani itu lebih efesien. Kenapa? Karena makna jawa lebih membantu dalam gramatikalnya. Hal ini sangat mengurangi murid dalam menguras waktu untuk menilik lagi kitab gramatika (nahwu-shorof)
Dan sistem yang sangat menguntungkan adalah banyak fase untuk memahami pelajaran. Fase pertama kang santri disuruh menulis bahan yang akan dikaji, kedua ustadz memaknai jawa bahan yang sudah ditulis kang santri dan terakhir dijelaskan. Patrian tiga sistem ini tentunya sangat membantu. Pada fase pertama yakni tahapan menulis bahan yang akan disajikan. Santri dapat memahami sekilas dan melatih kemandirian dan ketelitian. Disamping tujuan yang lain yakni melatih menulis dengan baik. Dan fase-fase berikutnya juga dipusatkan agar murid dapat memahami kitab dengan sempurna.
Sekarang mari kita bandingkan dengan metode simposium, lokakarya, seminar atau yang lain. Dalam sistem seminar misalnya, hadirin akan disodorkan lembaran kertas yang sudah diketik dan ditulis oleh pemakalah. Kemudian hadirin akan dijadikan audiens atau mustami'in. benar ini merupakan metode efesien. Karena audiens hanya dipusatkan pada memahami makalah. Akan tetapi yang sering terjadi di lapangan adalah audiens sibuk (baik sibuk dengan hp, atau yang lain) dan tidak memahami makalah dengan benar, banyak pula yang tampak jenuh dan mengantuk. Daya serap tiap hadirin juga harus diperhitungkan. Apakah daya serap hadirin akan cepat seperti pemakalah menyampaikan lembaran makalahnya? Jawabnya adalah tidak semua bisa cepat memahami. Padahal waktu seminar ini terbatas. Maka efesiensi dalam memahami ini pun menjadi gugur.
Lantas setelah menjajaki dan membandingkan beberapa metode tadi, kita akan mencoba menemukan titik temu. Dengan manhaj tanpa makna jawa ( sebut saja metode ala arab) keunggulannya adalah efesiensi waktu dan relevan dengan situasi, metode jawa mempunyai kelebihan seperti tersebut di atas. Maka metode yang tepat adalah penggabungan. Metode makna jawa tidak ditinggal sepenuhnya, dan metode langsung memahami tidak diterapkan sepenuhnya. Maka the mind solution adalah metode langsung memahami dengan menyuruh murid menyelami gramatika tiap katanya dengan sedikit menanyakan I'rab dan posisi kalimat itu. . Wallahu A'lam

* Penulis adalah Mahasiswa tingkat III Univ. Al-Ahgaff, Tarim-Hadhromaut-Yaman.

0 komentar:

Posting Komentar