Kisah Seekor Anak Singa*

Oleh: Cakiconk*

Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerak-gerakkan tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi bayi singa itu.

Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, si bayi singa tidak mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi. Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu.
Hari berganti hari, anak singa tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya. Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik, bukan mengaum!. la merasa dirinya adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas datang memburu kambing untuk dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala:
”Kamu singa!, cepat hadapi serigala itu!, cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu pasti lari ketakutan!.” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
Tapi, anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan, sama seperti kambing yang lain, bukan auman. Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa dengan perasaan nanar dan marah.
”Seharusnya kamu bisa membela kami!, seharusnya kamu bisa menyelamatkan saudaramu!, seharusnya kamu bisa mengusir serigala yang jahat itu!”.
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing. Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya, serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan!, nyalinya habis!. Ia pasrah, ia merasa hari itu adalah akhir hidupnya!. Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, ”Emmbeeek!” Lalu ia mundur ke belakang, mengambil ancang-ancang untuk menyeruduk lagi. Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing. Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing bertubuh singa itu atau singa bermental kambing itu. Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala. Bukankah singa adalah raja hutan?. Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu. Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa bangun. Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat!. Semua kambing ketakutan dan merapat!. Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat. Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa. Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing?. Ia mengejar anak singa itu dan berkata:
”Hai kamu jangan lari!, kamu anak singa, bukan kambing!, aku tak akan memangsa anak singa!.”
Namun anak singa itu terus berlari dan berlari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak singa itu ketakutan:
”Jangan bunuh aku, ammpuun!.”
”Kau anak singa, bukan anak kambing!, aku tidak membunuh anak singa!.”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, ”Tidak!!, aku anak kambing!, tolong lepaskan aku!”. Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis seperti suara kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak singa itu melihat bayangan dirinya sendiri, lalu membandingkan dirinya dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut:
”Oh, rupa dan bentukku sama dengan kamu, sama dengan singa, si raja hutan!.”
”Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!”. Tegas singa dewasa.
”Jadi aku bukan kambing?, aku adalah seekor singa!.”
”Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan!. Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!.” Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras. Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya, mengaum, menggetarkan seantero hutan.
Tak jauh dari situ serigala ganas tadi lari semakin kencang. Ia ketakutan mendengar auman anak singa itu. Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan:
”Aku adalah seekor singa!, raja hutan yang gagah perkasa!”.
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
Penulis tersentak oleh kisah anak singa di atas. Jangan-jangan kondisi kita (umat islam secara umum, bangsa Indonesia secara khusus dan warga FORMIL lebih khususnya lagi) mirip dengan anak singa di atas. Sekian lama hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang dimilikinya.
Betapa banyak manusia yang menjalani hidup apa adanya, biasa-biasa saja, ala kadarnya. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh "siapa dirinya sebenarnya". Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa semangat hidup yang seharusnya. Hidup tanpa kekuatan nyawa terbaik yang dimilikinya.
Kalau kita amati orang-orang di sekitar kita. Di antara mereka ada yang telah menemukan jati dirinya. Hidup dinamis dan prestatif. Sangat faham "untuk apa ia hidup" dan "bagaimana ia harus hidup". Hari demi hari ia lalui dengan penuh semangat dan optimis serta penuh tujuan pasti. Detik demi detik yang dilaluinya adalah kumpulan prestasi dan rasa bahagia. Semakin besar rintangan menghadang, semakin besar pula semangatnya untuk menaklukkannya.
Namun, tidak sedikit yang hidup apa adanya. Mereka hidup apa adanya karena tidak memiliki arah yang jelas. Tidak faham "untuk apa dia hidup", dan "bagaimana ia harus hidup". Kita sering mendengar orang-orang yang ketika ditanya:
”Bagaimana Anda menjalani hidup Anda?,” atau ”Apa prinsip hidup Anda?,” mereka menjawab dengan jawaban yang filosofis:
”Saya menjalani hidup ini mengalir bagaikan air, santai saja.”
Tapi sayangnya mereka tidak benar-benar tahu filosofi "mengalir bagaikan air". Mereka memahami hidup mengalir bagaikan air itu, ya hidup santai. Sebenarnya, jawaban itu mencerminkan bahwa mereka tidak tahu bagaimana mengisi hidup ini. Bagaimana cara hidup yang berkualitas. Sebab, mereka tidak tahu siapa sebenarnya diri mereka?, potensi terbaik apa yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada mereka. Bisa jadi mereka sebenarnya adalah "seekor singa" tapi tidak tahu kalau dirinya "seekor singa". Mereka menganggap dirinya adalah "seekor kambing", sebab selama ini, mereka hidup dalam kawanan kambing. Entah, mungkin kita termasuk di dalamnya.
Filosofi menjalani hidup mengalir bagaikan air yang dimaknai dengan hidup santai saja, atau hidup apa adanya bisa dibilang prototipe; gaya hidup sebagian besar kita di kuliah syariah khususnya (yang tidak mau muroja`ah kalau tidak dekat ujian, ikut muhadloroh yang penting hadir meski tidur atau chating-an, ujian yang penting tidak rosib meski nilai cuma maqbul, dst.) dan di Indonesia umumnya. Bahkan, bisa jadi itu adalah gaya hidup sebagian besar masyarakat dunia Islam saat ini.
Tidak jarang kita mendapatkan kondisi di sekitar kita yang dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan berarti. Cara berpikirnya masih sama. Cara hidupnya masih begitu-begitu saja. Bahkan mengalami penurunan. Si Anu yang saat awal kuliah belum mampu berbahasa arab, sekarang masih berada dalam kondisi yang sama. Atau sudah mampu, tapi orang yang mendengarkan masih harus berfikir untuk memahami maksudnya. Bahkan, tak jarang terjadi salah paham. Si Dia yang pada hari-hari pertama studinya, belajarnya giat dan rajin bangun malam; kini, kalau tidak ujian tidak mau belajar. Bahkan, malam ujian pun masih sempat main-main dengan hp, komputer dll; solat malamnya sudah libur, shalat Subuh tidak berjamaah dan lebih parah lagi; shalat Subuh sudah biasa dia jamak dengan shalat Dluha, dan segudang contoh lainnya. Kita yang dulu datang dengan kondisi "nol" ternyata sampai sekarang kita masih mendapat poin nol koma sekian atau poin satu saja. Sungguh perubahan yang tak berarti jika dibandingkan dengan lamanya kita berada disini. Tegasnya, kita belum berubah.
Kenapa tidak berubah?.
Jawabannya adalah karena kita tidak mau berubah.
Kenapa tidak mau berubah?.
Jawabannya adalah karena kita belum mengetahui bahwa kita harus berubah. Bahkan, kalaupun kita mengetahui keniscayaan sebuah perubahan, kita masih belum mengetahui bagaimana caranya mewujudkan perubahan itu. Sebab, kita telah terbiasa dengan kehidupan yang pasrah dan santai. Hidup tanpa rasa berdaya dalam keluh kesah. Hidup tanpa semangat hijrah. Dan cara hidup seperti inilah yang telah tertanam dan terus tumbuh dalam diri kita.
Ada seorang sastrawan terkemuka, yang demi melihat kondisi bangsa yang sedemikian akut rasa ketidak berdayaanya sampai dia mengatakan, ”Aku malu jadi orang Indonesia!.”
Di mana-mana; di Indonesia atau lainnya, kita lebih banyak menemukan orang orang bermental lemah, hidup apa adanya dan tidak terarah. Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan oleh Allah kepadanya. Orang-orang yang rela ditindas dan dijajah oleh kesengsaraan, kesantaian dan kehinaan. Padahal sebenarnya; jika mau, pastilah mereka bisa hidup merdeka, maju, jaya, berwibawa dan sejahtera. Di Indonesia saja, tak terhitung berapa jumlah masyarakat negeri kita yang bermental kambing. Meskipun sebenarnya mereka adalah singa!. Banyak yang minder dengan bangsa lain. Seperti mindernya anak singa bermental kambing pada serigala dalam kisah di atas. Padahal sebenarnya, kita adalah bangsa besar!, kita adalah umat yang besar!, kita sebenarnya adalah singa dewasa yang sebenarnya memiliki kekuatan dahsyat. Bukan komunitas sekawanan kambing. Sekali rasa berdaya itu muncul dalam jiwa anak kita, maka ia akan menunjukkan pada dunia bahwa ia adalah singa yang tidak boleh diremehkan sedikitpun.
Kita (umat Islam di Indonesia), sebenarnya adalah Sriwijaya yang perkasa menguasai Nusantara. Juga sebenarnya adalah Majapahit yang digjaya dan adikuasa. Lebih dari itu, kita sebenarnya, -dan ini tidak mungkin disangkal- adalah umat Islam terbesar di dunia. Ada sekitar 200.000.000 (dua ratus juta) umat Islam di negeri tercinta kita Indonesia. Banyak yang tidak menyadari apa makna dari "dua ratus juta" jumlah umat Islam Indonesia. Banyak yang tidak sadar dan menganggapnya biasa saja. Sama sekali tidak menyadari jati diri sesungguhnya. Dua ratus juta umat Islam di Indonesia, maknanya adalah dua ratus juta singa. Penguasa belantara dunia; itulah yang sebenarnya. Sayang, dua ratus juta yang sebenarnya adalah singa, justru bermental kambing dan berperilaku layaknya kambing, bukan layaknya singa. Baik saudara-saudara kita di sana maupun kita sendiri di sini. Lebih memprihatinkan lagi, ada yang sudah menyadari dirinya sesungguhnya singa tapi memilih untuk tetap menjadi kambing. Karena telah terbiasa menjadi kambing, maka ia malu menjadi singa!. Malu untuk maju dan berprestasi!. Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang memilih tetap menjadi kambing itu menginginkan yang lain juga tetap menjadi kambing. Mereka ingin tetap jadi kambing sebab merasa tidak mampu jadi singa dan merasa nyaman jadi kambing. Yang menyedihkan, mereka tidak ingin orang lain jadi singa. Bahkan mereka ingin orang lain jadi kambing yang lebih bodoh!.
Marilah!, kita sadari diri kita (sebagai umat Islam) sebagai seekor singa yang betul-betul singa. Allah telah memberi predikat kepada kita sebagai umat terbaik di muka bumi ini, ”Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, karena kalian menyuruh berbuat yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah!”.
Marilah kita bermental umat terbaik. Jangan bermental umat yang terbelakang. Kita mulai langkah maju dan perubahan itu dari diri kita sebagai warga FORMIL, untuk Indonesia kita khususnya dan Islam pada umumnya. Wallahu a'lam.

* Di kutip dari Novel "Ketika Cinta Bertasbih 2" disertai beberapa perubahan
** Penuis adalah mahasiswa tingkat II Univ. Al-Ahgaff


0 komentar:

Posting Komentar