Peremajaan Hukum Islam

Oleh : abdolmoeezz **

Usaha memotret kembali bangunan pemikiran hukum Islam tampaknya akan terus berlangsung. Sebagai sebuah disiplin ilmu tradisional yang paling kokoh, fikih seringkali dianggap sebagai produk hukum yang instant dan final ketimbang sebagai suatu yang memerlukan penafsiran ulang.

Berulangkali usaha-usaha pemahaman ulang terhadap produk fikih masa lampau mengalami kekandasan karena begitu kokohnya posisi fikih dalam benak umat Islam. Apa yang dialami oleh Fazlur Rahman dan kawan-kawannya sampai tragedi Nasr Hamid Abu Zayd adalah sebagian kecil bukti-buktinya. Dan di Indonesia pemikiran memotret ulang fikih banyak dilakukan oleh beberapa komunitas yang menamai dirinya dengan jaringan islam liberal yang dimotori oleh Cak Nur (alm) dan Ulil Abshar Abdalla.
Gagasan realitas ini bermula dari lahirnya hadits Nabi Muhammad saw. yang menyatakan akan lahirnya seorang pembaharu (mujaddid) islam dalam setiap kurunnya. Bertendensi pada signal Nabi Muhammad saw. tersebut, para ulama meyikapi bahwa tajdid atau peremajaan merupakan hal yang urgen, pasti dan doruri mengingat kebenaran orang yang mengatakan hadits tersebut.
Gagasan ini diorbitkan dihadapan publik sebagai embrio dari wacana relevansi fikih klasik yang selama ini menjadi kajian populer di berbagai instansi pendidikan,baik pesantren atau universitas. Dan Wacana ini dikampanyekan oleh para ulama dan sebagian dari mereka mengiakan tanpa melakukan filterisasi sehingga melakukan rekonstrusi bangunan fikih yang matang setelah terlebih dahulu melakukan dekonstruksi fikih yang selama ini dikultuskan oleh sebagian orang sebagai langkah final perumusan hukum-hukum islam. Adapun sebagian yang lain menerima wacana ini sebagai bentuk refleksitas dan fleksibelitas fikih terhadap realitas yang ada. Namun, dengan tanpa melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap hukum yang telah ditelorkan oleh kerja keras ulama dalam mendeduksinya dari al-Qur'an dan al-Hadits.
Ilmuwan al-Jazair, Moh. Arkoun mengatakan bahwa hukum-hukum islam telah terinfeksi dan terintervensi oleh realitas sosial dan campur tangan politik praktis yang dilakukan oknum tertentu demi hanya untuk menghasilkan kontrol terhadap umat pada waktu itu. Sehingga menurutnya fikih membutuhkan penafsiran atau interpretasi ulang terhadap teks-teks suci turats peninggalan Nabi Muhammad saw. atau fikih perlu peremajaan sehingga lahirlah fikih yang dinamis, proporsional, humanis dan fleksibel serta ramah terhadap lingkungan sekitarnya sebagai manivestasi makna islam adalah agama yang rahmat lil 'âlamîn.
Ia mencontohkan kasus pemberlakuan Syariat islam di propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Arab Saudi, Sudan dan Afghanistan di masa Taliban, membuktikan bagaimana fikih hanya dijadikan tameng untuk melanggengkan kekuasaan dan kontrol atas masyarakat. Pelanggaran HAM menjadi pengalaman dan pemandangan sehari-hari di wilayah atau negara yang disebutkan tadi.
Peremajaan fikih islam memang merupakan sebuah keharusan dan kepastian sebagai implementasi dari kaidah "al-hukm tadûr ma' 'illatih fî wujûdih wa 'adamih" dan kaidah "taghayyur al-hukm bi taghuyyur zamân wa al-makân". Namun, tegasnya tidak semua bangunan fikih harus dibredel sampai akar-akarnya atau melakukan dekonstrusi dan kemudian merekonstruksi hukum. Bagaimanapun juga para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah kulliyah dan 'ammah demi menjaga orisinalitas dan eksistensitas syariat islam sehingga lahirlah istilah al-tsawâbit wa al-mutaghayyirât.
Pembredelan hukum-hukum islam sampai pada akar-akarnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang berwawasan dangkal dan berpandangan sempit terhadap pemahaman fikih yang sebenarnya dan seutuhnya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Dr. Wahbah al-Zuhaili. Islam adalah salah satu agama atau syari'at yang orisinalitasnya benar-benar terjaga oleh Allah swt, sehingga tidaklah mungkin semua bangunan syari'atnya bisa diintervensi oleh para mujtahid atau mujaddid dengan melihat relaitas sosial setempat.
Dalam tulisannya Dr. Wahbah menyatakan bahwa peremajaan hukum-hukum islam hanya bisa dilakukan pada hukum yang dicetuskan dari teks-teks dhanni yang merupakan ladang kreatifitas para mujtahid dalam menggali hukum yang tersembunyi dalam kandungan teks-teks tersebut. Atau terjadi pula pada hukum-hukum yang dilahirkan tanpa teks yang hanya bertendensikan pada dalil-dalil yang mukhtalaf fîh antar para ulama seperti mashlahah al-mursalah, sadd al-dzarâi', 'urf dan lain sebagainya. Sementara teks-teks yang qath' maka tidak bisa dirambah oleh peremajaan atau tajdid dan terlepas dari intervensi para mujtahid dalam memperjuangkan kepentingannya atau kepentingan politik pemerintah pada saat itu.
Secara konklusi, peremajaan hukum-hukum islam hanya bisa dilakukan pada tataran hukum yang mutaghayyirât dan tidak bisa menyentuh rumusan-rumusan hukum yang tsawâbit. Disamping itu peremajaan hukum hanya terjadi pada tataran fikih yang merupakan ajang kreatifitas dan liberalis ulama untuk mengaktifkan kemampuan nalar berfikir dalam berusaha menguak kandungan teks (ijtihad) dan maksud tujuan tuhan (maqâshid al-syari'ah) dan penglegislasian sebuah hukum (hikmah al-tasyri'). Peremajaan atau tajdid tidak bisa menembus kawasan syari'at yang aplikasi dan maknanya lebih luas dari pada fikih yang hanya ulasan para ulama yang selalu dikondisikan dan diselaraskan dengan realitas setempat.
Sumber hukum dalam islam yang muttafaq 'alaîh adalah al-Qur'an dan al-Hadits, dimana keduanya merupakan sumber yang valid dan orsinil. Dari keduanya, para ulama mengklasifikasikan menjadi dua; dalil yang dhanni al-tsubût seperti hadîts al-`ahâd dan dalil yang qath' al-tsubût seperti al-Qur'an dan hadîts mutawâtir. Di sisi lain ulama juga mengklasifikasikan kedalam dalil yang qath' al-dilâlah dan dalil yang dhanni al-dilâlah.
Dari klasifikasi dan klarifikasi ini, para ulama mampu mengidentifikasi sampai dimanakah peremajaan hukum islam berperan dalam memberikan nuansa baru yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat dan menyorot karakteristik hukum yang masih bisa dinegosiasi untuk disentuh oleh peremajaan yang selalu didengungkan para reformis islam. Ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang qath' al-dilâlah bukan merupakan kajian mujtahid sehingga peremajaan atau tajdid tidak bisa menyentuh area ini. Namun berbeda dengan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang bersifat dhanni al-dilâlah yang masih merupakan ladang ekspresi mujtahid dalam mendeduksi hukum. Peremajaan masih sangat rentan terjadi dan sangat bisa menyentuh kawasan ini disebabkan banyaknya hukum-hukum islam yang disesuaikan dengan realitas setempat pada waktu itu.
Dalam masalah ini peremajaan hukum islam adalah hal yang sah-sah saja dilakukan, namun tentunya setelah membicarakan obyek tidak bisa lepas untuk membicarakan subyek yaitu siapakah mujaddid yang sebenarnya? Disinilah komentar bermunculan dan terdapat pro-kontra antar ulama dalam menjawab pertanyaan ini. Para ulama salaf telah menetapkan karakter mujaddid atau mujtahid bahkan juga mufti dan qadli dalam berbagai kajian turats yang ditinggalkannya beratus-ratus tahun lamanya.
Teriakan lantang para mujaddid kontemporer baik lokal atau internasional merupakan ajakan yang positif, hanya saja yang perlu kita garisbawahi adalah sebuah pertanyaan apakah mereka benar-benar mujaddid yang mampu meremajakan hukum islam sehingga hukum-hukumnya bisa diaplikasikan di muka bumi ini yang shâlih fi kulli zamân wa makân atau hanya orang-orang yang berbicara lantang yang akan menyeret pada pengaburan hakikat islam itu sendiri dengan menginterpretasikan teks-teks semaunya sendiri dan meliberalisasikan islam yang murni dan merupakan satu-satunya agama yang mendapat legalitas kebenaran mutlak dari Allah swt. Allâhumm arinâ al-haqq haqqâ warzuqnâ al-tibâ'ah wa arinâ al-bâthil bâthilâ warzuqnâ ijtinâbah. Wallâh a'lam.

**) Penulis adalah ketua Formil 2009-2010.

0 komentar:

Posting Komentar