Dilema Barat Dalam Epistemologi Hakikat Suatu Abstrak

(Ghoibiyat Dalam Aqidah)
Oleh: Ahmad
Tulisan ini mencoba menghadirkan keserupaan yang terjadi antara asas pemikiran sebagian manusia periode lama dengan para filosof barat abad 19 ke atas, yang kurang lebihnya menunjukkan keterbatasan akal manusia tanpa bimbingan wahyu yang membawa mereka pada kebenaran sejati.

"Hakikat kebenaran telah hilang!" inilah salah satu pernyataan yang mulai digemakan oleh sebagian filosof modern di barat yang berkecimpung dalam tema epistemologi. Tampaknya, setelah runtuhnya teori evolusi ala Darwin mereka belum lagi mempunyai referensi untuk argumen-argumen filsafat mereka. Ya, jalan buntu yang rapat telah membuat mereka dihadapkan pada dua pilihan:

Pertama, menutup lembaran semua pembahasan teori filsafat epistemologi hakikat sesuatu yang abstrak yang berkonsekwensi pula meninggalkan pencarian hakikat eksistensi alam dan fungsi-fungsinya.
Kedua, mencari metode baru untuk kelangsungan nafas filsafat mereka melalui penalaran yang benar-benar murni ilmiah.
Namun, para filosof Eropa modern kemudian berbeda pandangan dalam menyikapi kebuntuan tersebut. Sebagian mereka mengambil yang pertama. Dan ironisnya, di antara mereka malah ada yang menyatakan, "hakikat telah hilang, dan tidak ada lagi yang tersisa kecuali kebenaran hakiki dalam bilangan angka dan teori matematika saja,". Mereka bahkan dengan bangga menganggapnya sebagai hasil pemikiran baru bagi mereka. Tentu saja pernyataan tersebut mampu mengguncangkan kalangan beragama di Eropa. Pernyataan tersebut juga pernah di jadikan bagian skenario dialog dalam sebuah film yang berlatar belakang universitas Oxford. Dr. Alexis Carell –dokter ahli peraih nobel 1912, dan mengaku bukan orang filosof-- menyatakan (sebagaimana dinukil oleh Sayyid Quthb dalam kitab Al Islam Wa Musykilatul Hadlarah hal: 5, pdf) "meskipun beberapa pakar ilmu kedokteran, ahli kimia, fisika dan biologi telah berhasil mengungkap bagian-bagian tubuh manusia beserta fungsi-fungsinya, juga cara pencegahan ketahanan tubuh dari virus dan interaksi dengan dzat lainya, namun hasil gemilang tersebut belum bisa mengungkap hakikat dari eksistensi manusia (juga makhluk lainnya: pen) dan peran mereka dalam kehidupan di dunia ini,". Tampak naif memang, bahwasanya mereka yang berfasilitas canggih dan mutakhir juga perpaduan kejeniusan para pakar masih belum mampu menemukan titik terang mengenai rahasia yang ada di balik aktivitas dan perpaduan unsur-unsur tubuh manusia dan mahluk lainnya. Albert Einstein termasuk tokoh utama dalam kelompok ini. Dengan tolok ukur fisika dan matematika yang digelutinya, ia berani menolak konsep ketuhanan agama nenek moyangnya (Yahudi) dan agama komunitasnya (Nasrani). Dan kalau kita kilas balik pada masa lampau, sebenarnya dahulu telah muncul kelompok yang menafikan ilmu dan semua hakikat sesuatu atau paling tidak meragukannya, yaitu golongan Sufastho'iyyah. Sebagaimana diterangkan Al Baghdady (429 H.) dalam kitab Alfarqu Baynal Firaq hal: 280.
Adapun pilihan kedua tampaknya tak mampu mereka presentasikan dengan sempurna. Bahkan karena kebingungan dalam metodologi pencarian sebuah i'tiqad (keyakinan), membuat sebagian mereka berinisiatif mengambil sebuah metodologi (tragis: pen) yang berdasarakan teori, "bahwa sebuah keyakinan bisa kita sesuaikan dengan perasaan suka atau tidak suka, sehingga kita bisa mengambil argumen-argumen untuk keyakinan yang kita sukai meskipun dengan pemalsuan sebuah argumen itu".
Sikap seperti itulah yang dikemukakan oleh William James dalam bukunya The Pragmatism sebagaimana yang dinukil oleh DR. Sa'id Ramadlan Al bouthi dalam Kubro Al yaqiniyat.
Dan metode sejenis ini bukanlah hal baru, karena telah disinggung pula oleh Al Baghdady. Beliau mengatakan, "kelompok yang mengatakan bahwa hakikat sesuatu mengekor pada i'tiqod (keyakinan) masing-masing dan membenarkan semua i'tiqod tersebut meskipun sebenarnya saling bertentangan adalah termasuk pengingkar penalaran positif akal". (Alfarqu Baynal Firaq hal: 280).

Agama, Ilmu Dan Akal
Tak bisa dipungkiri faktor utama yang mendorong ulama Islam untuk merumuskan metode ilmiah dalam setiap pembahasan tiada lain adalah agama. Tanpa faktor agama tak ada lagi yang mendorong mereka ikhlas menempuh perjalanan jauh dalam pencarian sumber periwayatan nash dalil dan mengerahkan seluruh kemampuan akal untuk menyaring keabsahan riwayat dan juga membuat metode yang paten dalam pengkajian setiap obyek pembahasan, sehingga mampu menciptakan istilah-istilah yang tersebar dalam fan setiap ilmu agama. Mereka bahkan memanfaatkan ilmu luar yang ditransfer ulama dengan menggunakannya sebagai pendukung pengkajian akidah, hukum agama dan lainnya. Di antaranya adalah ilmu Manthiq yang membahas tentang hujjah dan bagian-bagiannya. Hal ini terinspirasi oleh ayat:
"ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا". (الإسراء: 36)
"وما يتبع أكثرهم إلا ظنا إن الظن لا يغني من الحق شيئا إن الله عليم بما يفعلون" (يونس: 36)
Ini menunjukkan kepedulian Islam terhadap penalaran akal dalam proses pencapaian pada ilmu pengetahuan terutama aqidah dan agama yang menjadi shirothol mustaqim menuju sa'adatuddaroyni.

Metode Pembahasan Hakikat Oleh Ulama Islam
Pembahasan tersebut bertujuan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang hakiki atau qoth'iy (pasti) dan menghasilkan subtansi akidah yang benar dan wajib diyakini oleh umat manusia, agar menyadari hakikat wujud Sang Pencipta dan mentauhidkan-Nya serta tunduk terhadap ajaran Islam, satu-satunya agama yang diridloi-Nya, sehingga pengingkaran akidah tersebut berkonsekwensi pada kekufuran dan kemurtadan dari agama Islam. Namun, jika hasil pembahasan tersebut tidak sampai pada derajat qoth'iy (pasti) atau masih sebatas dzonny (persangkaan) dan masih mengakibatkan khilaf antara ulama, maka tidak bisa dikategorikan subtansi akidah, tetapi hanya masalah furu'iyyah yang mana pengingkaran ilmu tersebut masih belum dapat mengeluarkannya dari Islam.
Adapun referensi atau dalil yang dijadikan sumber utama oleh ulama adalah dalil naqli dan dalil 'aqli. Sesungguhnya tiada pertentangan apapun antara keduanya sebagaimana ungkapan Al Ghozaly ketika menolak anggapan para filosof abad pertengahan. Kurang lebihnya beliau mengatakan, "agama dari Allah SWT. dan akal juga ciptaan Allah SWT., maka tidak mungkin ada pertentangan antara keduanya".
Kemudian jika ada kesangsian tentang kelayakan naqli sebagai dalil, maka sebagai permulaan jawaban adalah terbuktinya jaminan i'jaz dalam nash Al Quran yang diwahyukan kepada Muhammad SAW. Allah SWT. berfirman:
وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداءكم من دون الله إن كنتم صادقين {23} فإن لم تفعلوا ولن تفعلوا فاتقوا النار التي وقودها الناس والحجارة أعدت للكافرين {24} البقرة.
Dalam Hadits Nabawy juga terdapat i'jaz ma'nawy dan terbuktinya kebenaran ucapan Nabi tentang kejadian-kejadian yang akan datang. Sementara dalam diri Nabi Muhammad Al Amin juga penuh dengan i'jaz yang tidak mampu ditaklukkan oleh umat manusia. Cukuplah ini sebagai dasar untuk pengambilan dalil dari wahyu Tuhan yang tak terbantahkan oleh akal.
Melangkah pada fase setelahnya, yaitu periwayatan dalil naqli. Ulama Islam telah merumuskan metode periwayatan Al Quran dan Sunnah dalam Ilmu Riwayah dan Diroyah atau Ulum Quran dan Ulum Hadist, juga diiringi dengan Jarhu Wa Ta'dil. Sehingga dari perpaduan beberapa fan tersebut muncul klasifikasi qiroat mutawatiroh dan syadzah, serta riwayat mutawatiroh dan ahad yang bertujuan untuk membedakan riwayat yang diterima dari riwayat yang lemah atau yang tertolak. Dan tak asing lagi, bahwa riwayat mutawatiroh yang dinukil melalui beberapa jama'ah yang adil dan aman dari dusta inilah yang dijadikan landasan utama dalam perumusan Ushul Aqidah Islam dan menjelaskan kepada manusia tentang eksistensi Pencipta dan makhluq-Nya. Perhatian besar terhadap sanad ini adalah salah satu keunggulan Islam atas lainnya. Tak heran jika Einstein mengkritik orisinalitas injil dan taurat karena banyak terdapat pertentangan dalam setiap versinya. Kemudian jika dipadukan dengan dalil 'aqli maka tersusunlah Ilmu Kalam yang memang bertujuan membentengi akidah Islam dari serangan pemikiran non Islam. Meskipun terdapat pula beda pendapat antar ulama dalam permasalahan furui'yyah, namun itu tidak mempengaruhi pondasi kokoh (ushul) Akidah Islam yang dibangun berdasarkan ayat muhkam Al Quran dan Sunnah yang mutawatiroh. Dalil 'aqli juga punya peran besar dalam penggalian hukum syara', sebagaimana salah satu metode yang digunakan oleh Jumhur Ulama Ushul Fiqh dan dikenal dengan Thoriqotul Syafi'iyyah dan disebut pula sebagai Thoriqotul Mutakallimin, karena metode ini banyak sekali memanfaatkan penalaran akal dalam penggalian hukum, meniru konsep yang digunakan Ulama Ilmu Kalam. Wallahu a'lam.

Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

0 komentar:

Posting Komentar