LOYALITAS DALAM BERORGANISASI

Oleh: Masriki

Secara umum organisasi terbentuk karena adanya latar belakang dan kepentingan yang sama dari para anggotanya. Adanya kesamaan-kesamaan tersebut berpotensi melahirkan loyalitas dan sikap-sikap konstruktif yang beragam untuk proses pendewasaan guna mengoptimalkan potensi organisasi dalam merealisasikan tujuan-tujuan berdirinya organisasi tersebut.

Dari wawasan ini, maka FORMIL sebagai mitra fakultas dalam mensukseskan program pendidikan yang, salah satu fungsinya adalah menampung kreatifitas, ide, dan bakat serta memfasilitasinya menyelenggarakan program-program kerjanya baik yang akademik maupun non-akademik melalui berbagai departemen yang dimilikinya. Prospek dari penyelenggaraan program kerja tersebut adalah menciptakan generasi yang cakap, bertanggung jawab, dan berpengalaman.




Namun dari berbagai program kerja yang dijalankan, hanya sebagian kecil yang mendapat perhatian kita, selebihnya kita biarkan diurusi sendiri oleh yang bertanggungjawab terhadap program tersebut dan dibiarkan mati perlahan-lahan. Hal ini terlihat pada berbagai rutinitas yang diselenggarakan FORMIL, seperti FORDIF yang pesertanya hampir selalu 10 orang atau Bahtsul Masa'il yang kalau menginjak jam 10 tinggal moderator, petugas, dan beberapa gelintir orang atau majalah yang hampir semua rubriknya diisi sendiri oleh redaksi dan program-program terlantar lain yang kita saksikan bersama. Alasan-alasan yang menimbulkan kurang perhatian kitapun bermacam-macam ada yang takut nilainya akan jelek kalau aktif di organisasi, ada yang mengkambing hitamkan sistem dan kebijakan-kebijakan universitas, ada juga yang berkata, "kita tuh udah mustawa jami'i, masa sih masih diatur-atur dan disuruh gini gitu....," saat koordinator acara rutinitas memohon kehadirannya hanya karena di tempat acara tidak satupun yang datang. Di samping itu ada juga yang sempat berbaik hati dengan memberikan kritikan ini itu, tapi kritik tersebut malah terkesan tidak kongkrit karena si pengkritik hanya menilai dan menilai tanpa ada usaha nyata yang sebenarnya ia punya ruang gerak di sana.

Terkait dengan kebijakan-kebijakan universitas, sejauh ini tak ada penghalang yang berarti karena kenyataannya pihak universitas dengan segala kebijakannya cukup memberi kita ruang gerak, kita ternyata tidak hidup dalam ruang 3cm2, juga tidak belajar dalam instansi pendidikan tanpa sarana akademis. Untuk masalah perolehan nilai komulatif dengan keaktifan di organisasi tentunya kita sepakat bahwa kedua hal ini bukanlah sesuatu yang kontradiktif, ia bukan seperti siang dan malam yang tak bisa berkumpul dalam satu waktu, ia mungkin dan hampir selalu bisa berjalan bersama. Cobalah kita tempatkan ikhtibar dan nilai komulatifnya dalam perspektif yang semestinya, ia bukan tujuan dan bukan penghalang, tapi, ia adalah sesuatu yang lain yang lebih simple jika ditanggapi dengan proporsional. Mengenai ke-Mustawa Jami'i-an kita, secara de jure tidak ada yang menyangsikannya, hanya saja sebagian dari kita mengadopsi istilah 'mahasiswa' dari sisi kebebasan tanpa kekangan, tanpa melihat sisi lain yang lebih prinsipil yaitu kewajibannya untuk ikut aktif dalam proses aktualisasi serta mengikuti dinamika pendidikan dengan mandiri, akhirnya, meminjam judul opini saudara Z. Ghufron kita ini "Mahasiswa atau Siswa!?". Retorika yang mempertanyakan hal itu akan tampak jelas dengan stagnansi yang sementara ini kita ridhoi berada dalam lingkungan akademis kita tercinta ini.

Mayoritas dari kita sebenarnya adalah orang-orang yang berdedikasi cukup tinggi dibanding civitas akademika fakultas syari'ah atau yang lain di berbagai universitas di Indonesia. Namun terlepas dari apa yang diperjuangkan dan ruang yang melingkupi mereka, kita sadikit berada di bawah mereka dalam segi semangat dan loyalitas --untuk tidak mengatakan kalah. Bayangkan kita berada dalam satu forum dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UII Malaysia, Khourtum University, Alighar University India dll. mungkin dalam segi intelektualitas kita relatif sama. Tapi, dalam segi kecakapan aktualisasi dan penyampaian serta pengalaman berada di forum lengkap dengan kode-kode etiknya kita berada di bawah mereka sadikit (tentunya ini pendapat pribadi).

Sebenarnya kita sangat bisa mengoptimalkan potensi organisasi dengan loyalitas dan rasa memiliki bersama, jangan sampai terlihat lagi ketua FORMIL sendirian menata tikar, koordinator BM ke kamar-kamar memohon kehadiran, pengurus MADING mengais-ngais tulisan sendiri tiap dua minggu, surat-surat undangan acara rutinitas sia-sia dan FORDIF terlihat kelap-kelip di sana. Sekarang, sudah saatnya orang-orang dibangunkan, loyalitas harus diberikan, kesaksian atas realita harus diperdengarkan. Jangan salahkan sistem dan lingkungan tempat kita berdomisili, ia telah melaksanakan tugasnya, memformulasikan pendidikan dengan mempertimbangkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Tapi, kita yang salah, tidak mau memformulasikan lingkungan akademis kita dengan mempertimbangkan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita yang lebih heterogen, lengkap dengan kompleksitasnya. Masyarakat kita tak butuh gelar ketimur tengahan, sudah banyak di tengah-tengah mereka gelar-gelar yang lebih bergengsi lengkap dengan sampelnya, tapi mereka membutuhkan generasi yang mampu mengawal mereka di tengah proses pergeseran budaya yang terus berevolusi. Tentunya generasi seperti itu tidak lahir dengan instan, tapi ia membutuhkan kaderisasi yang berkesinambungan. Bukan untuk apa, tapi untuk suatu perjuangan dan tanggungjawab terhadap ilmu yang kelak akan dipertanyakan.

Yang terakhir, kita ucapkan Jazaakallah Kher kepada Bung Umam, Bung Arya, Bung Baragbah, Bung Makky dan yang lain serta segelintir orang yang menjaga FORMIL tetap Survive di tengah-tengah para Pro status Quo. n' Youth Movement Say: TOGETHER TO BE A WINNER. InsyaAllah.

Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

0 komentar:

Posting Komentar