INTERVENSI REALITAS SOSIAL DALAM FORMULASI
SYARIAT YANG FLEKSIBEL
(Tanggapan atas artikel fleksibilitas syariat dalam realitas masyarakat)
Oleh: Masriki

Dalam artikelnya di mading ini, yang berjudul fleksibilitas syariah dalam realitas masyarakat, Zaitun Putra (ZP) mengajukan pemikirannya tentang mafhum fleksibilitas syariah tersebut sekaligus mengusung pendapat mayoritas golongan kontra-hermeneutika yang memandang nash-nash agama bebas dari campur tangan atau -meminjam istilahnya- terkontaminasi realitas sosial yang melingkupinya. Hal ini didasarkan bahwa seandainya nash-nash tersebut terpengaruh realitas sosial maka sama saja Islam merupakan produk budaya yang akan selalu berubah sesuai dengan tuntutan dan kondisi di mana Islam berada, sedangkan pendapat jurism –masih menurut ZP- yang ditendensikan terhadap urf, maslahah atau dlorurot bukan karena realitas sosial yang melatarbelakanginya, melainkan lebih karena fleksibilitas itu sendiri.
Fleksibilitas syariah, menurut ZP akan menafikan pengaruh realitas sosial yang mengkonstruknya, dalam artian, segala pergumulan yang terjadi antara nash dan realitas dari segi bahasa, konsep nasakh mansukh, produk ijtihad yang bertendensi urf temporal dan ketentuan-ketentuan hukum lainnya merupakan bentuk fleksibilitas itu sendiri tanpa ada campur tangan realitas sosial yang ikut mengkonstruknya secara partikular.
Secara substansi tak ada perbedaan tentang mafhum dari fleksibilitas syariah. Karena sebagaimana yang dimaklumi, bahwa risalah terakhir Rosulullah SAW. tidak berarti bahwa bentuk keberagaman telah dipastikan bersifat statis (jumud), akan tetapi syariat yang dibawa beliau –yang merupakan rumusan islam– akan menerima pembaruan dalam pemahaman nash-nashnya. Dalam artian, risalah terakhir Rosulullah SAW. tersbut didesain sedemikian rupa agar dapat diterapkan di manapun dan kapanpun.
Namun bukan berarti syariah yang sumbernya adalah teks melahirkan fleksibilitas dari dirinya sendiri, tapi lebih dari itu ia muncul dalam ruang realitas dan berdialog dengannya sehingga dari adanya interaksi tersebut timbullah pengakuan yang berdasarkan proses adaptasi tentang fleksibilitas syariat, karena taklif (tuntutan agama) –sebagaimana yang dinyatakan Imam Al Syathiby- disusun dan bertendensi atas kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam diri mukallaf atau suatu komunitas. Mustahil ia tersusun tanpa pertimbangan kebiasaan karena hal ini akan menjadikan taklif sebagai tuntutan yang tidak bisa dilaksanakan (takliifi ma laa yuthooq).
Secara historis, nash-nash agama sedikit banyak telah berdialog dengan realitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat itu. Ia tidak muncul dalam ruang dan lembaran yang kosong, melainkan dalam ruang yang penuh masalah. Statusnya sebagai petunjuk Allah SWT. menuntutnya agar ia didesain dengan mempertimbangkan ruang yang dihadapinya tersebut. Maka dari itu, banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengiringi turunnya nash baik Al Quran maupun hadis sebagai penjelasan dari masalah-masalah yang dialami umat saat itu dan sebagai jawaban atas keisykalan para sahabat tentang suatu masalah tertentu. Dengan kata lain, banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang diturunkan dan hadis-hadis yang keluar dari diri Rosulullah SAW. karena terdapat sebab eksternal yang mengiringinya. Karena itulah dalam Ulumul Quran dikenal konsep Asbaabul Nuzul dan dalam hadis dikenal istilah Asbaabul Wuruud.
Dalam fiqh Islam, ketentuan-ketentuan hukum selalu diformulasikan dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi lokal dan tingkat peradaban yang dicapai umat manusia. Sebab itulah dalam ushul fiqh para ulama mensyaratkan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui Asbaabul Nuzuul dan Asbaabul Wuruud dari sebuah nash agama, karena aspek yang dipertimbangkan dalam menguak maksud sebuah nash bukan hanya dari sudut gramatikal, melainkan juga harus mencakup pengetahuan tentang keadan sosio-kultural yang hidup di tengah-tengah masyarakat pada saat berlangsungnya era pewahyuan. Hal senada juga diungkapkan Imam Al Syathiby terkait pengetahuan tentang kondisi sosial masyarakat, sebagai lokus awal turunnya Al Quran dan situasi ketika sebuah ayat turun merupakan salah satu pra-syarat yang mesti dimiliki oleh seorang mufassir atau mujtahid . Hal ini sejalan dengan teori para sosiolog yang menyatakan bahwa dalam kehidupan ini mulanya bukanlah sebuah kata, melainkan realitas. Realitas tersebut kemudian dilaporkan dengan meminjam perangkat bahasa.
Kemudian menarik untuk memperhatikan pandangan Dr. Yusuf Qordlowi yang menyatakan bahwa ada beberapa hadis yang memang terkonstruk atas dasar menjaga aspek maslahah yang bersifat temporal atau Urf yang berlaku pada masa Rosulullah SAW. dan telah mengalami perubahan pada masa sekarang. Hadis-hadis yang masuk dalam kategori ini tidak menuntut untuk dipahami dan diaplikasikan secara tekstual (harfiyyah), dalam artian, kita dapat mengaplikasikannya secara kontekstual, karena maslahah yang ingin dicapai dan mafsadah yang hendak dihindari telah terjadi pergesaran dalam segi bentuknya. Dr. Ali Hasbullah mencotohkan hal ini dengan keputusan yang diambil Khalifah Umar bin Abd. Aziz RA. sewaktu memerintah Madinah. Beliau memutuskan persengketaan yang terjadi dengan kesaksian satu orang dan sumpah, sebagaimana yang terdapat dalam hadis. Namun ketika beliau menjadi khalifah dan berdomisili di ibukota negara Syam, beliau memutuskan perkara dengan dua orang saksi laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Ketika ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa orang Syam tidak seperti orang Madinah.
Hal lain yang menunjukkan adanya dialektika antara nash dan budaya adalah bahasanya yang disesuaikan dengan realitas saat itu sebagaimana yang ditulis ZP sendiri. Secara tidak langsung ia mengakui bahwa teks-teks agama terbentuk dalam realita dan budaya sehingga mempengaruhi struktur dan uslub bahasa yang digunakan. Dengan menggunakan bahasa manusia dan turun pada kondisi tertentu saat itu, teks-teks agama khususnya hadis tidak bisa lepas dari ideologi dan cara berfikir masyarakat Arab. Dari sini akan nampak fungsi teks sebagai proses pemahaman, penjelasan, dan informasi yang dapat dimengerti.
Akhirnya, konsekwensi dari adanya intervensi realitas sosial dalam sebuah teks yang nantinya berimplikasi pada pembentukan suatu hukum adalah ia dapat diperbaharui sesuai dengan tuntutan realitas yang terjadi tanpa mengenyampingkan maksud dari teks tersebut dan gagasan universal Islam yang dibawanya. Hal ini banyak terjadi pada produk-produk hukum yang dihasilkan dari sebuah ijtihad, maka dari itu, dalam fiqh Islam dikenal kaidah taghoyyur al fatwa bi taghoyyuri al zamaan wa al makaan. Pada abad 13 muncul seorang faqih dari madzhab Hanafi, Ibnu Abidin, menulis risalah tentang hal ini . Bahkan Imam Al Qurofi Al Maliky menyatakan bahwa pemberlakuan ketentuan hukum yang berdasar atas realitas sosial yang telah mengalami perubahan merupakan bentuk kebodohan terhadap agama .
Namun, perlu ditegaskan bahwa hal ini tidak berarti nash yang telah mengalami dialektika panjang dengan realitas akan kehilangan relevansinya secara mutlak dalam menyorot realitas saat ini, sebagaimana pendapat Prof. Mohammad Shahroer yang disambut gembira oleh rekan-rekan dari JIL. Ia mengatakan nash-nash agama hanya sebuah metodologi Rosulullah untuk merespon realitas sosial saat itu saja. Dari pendapat ini timbul ide dekonstruksi besar-besaran terhadap hukum Islam dengan hanya mempertimbangkan gagasan universalnya, karena menganggap teks-teks agama yang membentuknya tidak lagi punya otoritas.
Kemudian bagaimana sikap yang proporsional dalam menanggapi hal ini?

Al Muwafaqoot fii ushuul Al Syari'ah II/215
Al Muwafaqot Fii Ushuk Al Syari'ah II/47
Ushul Al Tasyri' 84-85
Baca Nasyr Al Urf Fii binaa'i ba'dli Al Ahkaam Alaa Al Urf
Al Furuuq I/176
Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II

0 komentar:

Posting Komentar