KESEPAKATANKU DENGAN EYANG

Oleh: Ahcmed
Buramnya pandangan dari mata yang telah lamur, menyiratkan perjalanan bertahunan yang panjang, delapan dasawarsa yang berlalu telah membuatnya banyak mengerutkan jidatnya yang semakin bergelombang saja. Seperti saat ini, kelopak matanya berkedut, sebuah kebiasaan ketika beliau memikirkan sesuatu, sesuatu yang terkadang tak terduga olehku sendiri, sebagai cucu lelaki satu-satunya.
"Cung, eyang sudah banyak bertanya pada orang-orang kampung sini tentang kebahagiaan sejati, tapi mereka kok tidak kasih jawaban, malah sambat masalah-masalah yang menyusahkan mereka."
Aku hanya terdiam, membiarkan beliau meneruskan kata-katanya, mungkin eyang punya pandangan sendiri tentang kebahagiaan.
"Ris, kok malah nglamun? apa gak dengar perkataan eyang?"
"Ee…., cucu dengar eyang. Tapi.. bukankah eyang lebih tahu dari pada cucu yang masih tunas ini?"
"Hmm, kamu kan anak sekolahan yang juga ngaji di pesantren, mungkin kamu diajari kyai atau ustadz tentang kebahagiaan sejati. Aku yang sejak muda memanggul senjata hanya lulusan SR dan tidak rutin ke surau-surau para kyai, jadi ora salah eyangmu tanya sama cucunya sendiri. lak ngono tho?"
"Inggih eyang," aku jadi teringat seloroh orang barat, entah aku lupa bernama siapa, ia mengatakan bahwa "dunia tak pernah bisa belajar bahkan dari tragedi holocaust sekalipun". Tapi, aku rasa eyang bukan termasuk dalam seloroh pesimisme itu, karena eyang tetap gigih mencari tahu dan terus belajar dalam kehidupannya meskipun beliau telah kenyang pengalaman.
"Tapi maaf eyang, cucu hanyalah santri kawitan, belum banyak yang cucu ketahui. Dan mengenai kebahagiaan sejati, cucu punya pandangan bahwa ketika keinginan dan hasrat telah tercapai dengan tetap selalu dalam bingkai agama, maka itulah kebahagiaan sejati manusia,". Terpaksa aku mencari jawaban sebisaku, biar saja, mungkin eyang berkenan meluruskan jawabanku ini.
Eyang termenung sejenak.
"Hmm, tapi cung, apa aku masih pantas mempunyai hasrat dalam sisa umurku ini?"
Áku terhenyak, seketika aku menyadari perbedaan di antara aku dan eyang. Aku masih anak belasan yang berhasrat, suatu hal biasa yang dialami seumurku. Hanya saja, setiap pemuda berbeda dalam menyikapi hasrat masing-masing, dan pemuda sepertiku yang tersentuh ajaran agama akan menimbang hasrat dengan nilai religinya. Sedangkan eyang bukan sepertiku, beliau telah merasakan itu semua sejak dulu yang lewat. Dan sekarang eyang telah mempertanyakan kepantasannya memiliki hasrat lagi di dunia ini. Oh tidak! apakah ini mengisyaratkan perpisahan eyang dari dunia ini, tempat yang sarat hasrat.
"Eyang benar," ujarku kemudian.
"Tampaknya cucu belum mampu menilai suatu hal dari segala hal."
"Ya, dan kita berdua belum juga menemukan jawabannya sampai sekarang," dawuh eyang gegetun.
Kami sejenak terdiam, menggali hati masing-masing mencari jawaban yang terpendam. Hingga kemudian…
"Faris, maukah kamu carikan untukku jawaban itu? dan aku juga akan menanyakannya pada mereka yang di sana untukmu,".
Eyang menawarkan kesepakatan yang menarik.
"Insya Allah eyang," aku sanggupi saja tawaran ini, meski aku belum faham maksud eyang mengenai 'mereka yang disana' .
Beliau memandangku dalam, namun tampak puas dengan tanggapanku. lalu terlihat senyumannya mengembang dan berkata, "baiklah.., tadi ibumu bilang ke eyang kalo kamu sebentar lagi lulus aliyah. Terus kamu mau melanjutkan ke mana?"
"InsyaAllah ke Yaman eyang, mengikuti nasihat pak kyai. Mohon do'a restu eyang."
"Tentu cung, jika eyang berhasrat lagi, maka kesuksesan kamu adalah hasrat eyang yang terakhir," eyang mengelus kepalaku dengan tersenyum, mata yang lamur itu berbinar.
Hari ini pertemuanku dengan eyang diakhiri dengan pelukan, beliau sempat mengingatkan kesepakatan kami tadi.
"Ingat cung, di Yaman atau di manapun kamu belajar, carikan untukku jawaban itu," bisik eyang.
"Insya Allah... cucu juga penasaran dengan jawaban itu eyang," aku melepas pelukan dengan haru. Kemudian aku berpamitan dengan eyang dan berharap dapat ke sini lagi, bertemu eyang dalam keadaaan yang lebih baik. Allahumma ihfadzhu bi shihhatin wa 'aafiyah.
Namun tampaknya itu adalah pertemuanku yang terakhir sebelum berangkat ke Yaman, karena saat ini aku disibukkan dengan persiapan menghadapi UAN di sekolah. Meski begitu, aku mencoba sesempat mungkin menelepon eyang, untuk sekedar menanyakan kesehatan beliau dan minta do'anya. Aku selalu merasa sebagai cucunya yang paling dekat, mungkin karena aku satu-satunya cucu lelaki, sedangkan cucu eyang yang lain semuanya perempuan.
Hingga tiba saatnya aku berangkat ke Yaman. Entah negeri seperti apa, yang aku tahu dari kyai, Yaman adalah negeri para ulama, terkenal dengan lembah keramatnya, TARIM... negeri selaksa auliya'.

* * *

Lima tahun kemudian...
UMAR BIN SUFYAN 1920 - 2009 M.
Di hadapanku sekarang hanyalah pusara berukir nama eyang. Satu tahun lalu eyang telah wafat, sementara waktu itu aku masih belajar di Yaman, dan baru tiga bulan ini aku kembali, aku sempat merasa terlambat, menyesal tak menemani eyang dalam hari-hari akhirnya.
Tadi malam aku bertemu eyang dalam mimpi. Aku melihatnya tersenyum, wajahnya bersinar, pandangannya binar tapi matanya tidak lamur lagi, aku merasakan beliau amat bahagia. Ya! aku yakin beliau bahagia. Mungkinkah beliau telah mengetahui jawaban itu?.
"Assalamu'alaikum eyang."
"Wa'alaikumussalam."
"Cucu melihat eyang bahagia sekali."
"Iya Ris, dan setelah lima tahun, apakah kamu mendapatkan jawabannya?" Ahh, eyang mengingatkan janjiku lagi.
"Iya eyang, tapi eyanglah yang merasakannya sekarang."
"Benar, tapi aku tidak mencarinya di sini. Mereka mengatakan, aku mendapatkan bahagia sejati karena aku mencarinya ketika aku masih di dunia."
Ya, dan sekarang aku telah mengerti apa yang dimaksud eyang dengan kalimat 'mereka'.
"Jadi cung...," eyang melanjutkan, "pandangan kamu sebenarnya bukan salah, hanya saja teori seperti itu tidak bisa aku lakukan pada saat itu. Tetapi kamu pun telah merasakan teori pandanganmu saat ini," eyang tersenyum mengembang penuh arti.
"Benar eyang," mataku berbinar memandang indahnya tempat eyang, hingga sekejap kemudian beliau telah menghilang dari pandanganku.
Kini aku menyadari, sesungguhnya eyang mengajakku lebih serius dalam kehidupan, karena hidup ini serius, bukan permainan belaka. Dan eyang telah tahu itu sejak semasa hidupnya, hanya saja beliau sengaja memancing kedewasaanku dalam memahami hidup dengan menawarkan kesepakatan dalam pencarian kebahagiaan sejati sejak lima tahun lalu. Itu saja…
Tak terasa mataku terasa hangat, mengambangkan air mata yang hendak tumpah. Sungguh aku terharu mengingat eyang, tentang wejangan-wejangannya, mengingat bahwa kesuksesanku adalah hasrat terakhirnya. bahkan setelah wafatpun beliau masih menepati janji untuk memberitahukan kebahagiaan sejati padaku.
Tiba-tiba tangan halus mengusap air mata di wajahku, seakan tidak ingin aku menangis sendiri, dan mencoba membagi kesedihanku dengannya.
Aku tersadar, kugapai tangan itu, menggengamnya erat. Dan kupandangi wajah pemilik tangan itu. Wajah yang sejak seminggu lalu telah menjadi matahari lain di hari-hariku, juga purnama lain pada malam-malamku. Dialah hasratku, kebahagiaanku. Nyonya Anisah Faris.
Aku berpaling pada pusara ….
"Benar eyang, dia inilah hasratku, kebahagiaanku saat ini. tapi cucumu ini akan berusaha mencari kebahagiaan sejati sebagaimana eyang dapatkan di sana."
"Dan mantu cucumu akan mendampinginya selama pencarian itu," sambung suara lembut Anisah di sisiku.
Lalu kami mengangkat tangan menengadah, berdoa untuk kebahagianku, keluarga baruku, seluruh moyangku, dan kebahagiaan umat Muhammad.
Semoga bertemu mereka yang di sana, orang-orang muflihin, yaitu sebaik-baiknya teman. Amiin...


Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.


0 komentar:

Posting Komentar