Keterbelakangan Agama Dalam memaknai jihad

By: Em. Istovarobbuhu*

Sementara orang banyak yang beranggapan bahwa perang yang dalam idiologi Islam dikenal dengan istilah jihad bertujuan untuk memperluas idiologi dan daerah kekuasaan Islam, sehingga mereka, termasuk sebagian dari saudara kita yang seakidahpun, menuduh bahwa Islam merupakan agama Barbar yang tidak mengenal istilah damai dalam ajarannya. Sungguh ironi memang, saya sendiri tidak tahu mengapa pemahaman seperti ini bisa muncul dalam benak mereka, bahkan pada saudara kita sendiri, namun yang pasti interpretasi seperti ini muncul karena dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah keterbelakangan mereka akan hakikat Islam dan ajarannya (baca: al-Ummiyyah al-Diniyyah).



Suatu hari Syaikh Manna’ Kholil Al Qothon memberikan ceramahnya pada salah satu Universitas Islam, dalam kesempatan itu beliau sempat membacakan sebuah ayat yang diambil dari surat Al Hadid, di antara sekian mahasiswa yang hadir itu tiba-tiba ada satu yang berdiri menanyakan pada beliau, “Wahai Syaikh, surat Al Hadid atau Al Khosyab ??.” Pertama beliau menganggap bahwa pertanyaan tersebut hanya bersifat intermezo saja, namun setelah ditelusuri lebih lanjut oleh beliau, ternyata sang penanya memang benar-benar tidak pernah mengerti bahwa di dalam Al Qur’an ada sebuah surat yang bernama Al Hadid. Inilah kadar minimal bagi kita untuk menjustifikasi bahwa mayoritas dari sekian banyak umat Islam saat ini memang mengalami keterbelakangan akan hakikat Islam dan ajarannya.

Islam merupakan sebuah idiologi yang adil dan mengajarkan keadilan, tidak ada hukum yang adil selain hukum Islam. Salah satu paham yang diusung Islam yang menyiratkan keadilan adalah menyamakan kedudukan antara urusan duniawi dan ukhrowi(1). Falsafah ini merupakan dasar (baca: mabadi’) dalam merumuskan beberapa hukum islam, dan merupakan salah satu pondasi atas terbentuknya sebuah ajaran Islam. pandangan seperti ini tersirat dalam Al Qur’an :
قل من حرم زينة الله التي أخرج لعباده والطيبات من الرزق.
“Katakanlah wahai Muhammad, siapa yang mengharamkan perhiasan Allah yang dikeluarkan Allah untuk hamba-hamba-Nya dari rizqi yang bagus.”
ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك.
“Dan janganlah kaulupakan bagianmu dari dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.”

Jelaslah bahwa Allah tidak membeda-bedakan antara urusan agama dan urusan dunia, kedua urusan ini sama-sama mendapat prioritas yang setara dalam Islam. Jika kita telusuri lebih jauh lagi dalam rumusan hukum-hukum fiqh, maka kita akan semakin memantapkan pemahaman dalam hal ini. Saya berikan satu contoh: bahwa, membuat lapangan pekerjaan merupakan sebuah pekerjaan yang fardlu kifayah hukumnya, kemudian sholat, zakat dan rukun-rukun Islam lainnya juga merupakan kefardluan yang harus dijalankan oleh pemeluk agama Islam. Kedua hal ini sama-sama dikhithobkan oleh Allah kepada setiap yang beragama Islam. Tidak ada rumusan yang membeda-bedakan kedua hal ini, yakni membuat lapangan pekerjaan hukumnya tidak wajib dan yang wajib hanyalah sholat saja. Inilah yang saya maksudkan dengan kesetaraan dan keadilan dalam hukum Islam.

Selanjutnya, bahwa untuk mewujudkan kesamaan tersebut, Islam menggunakan cara yang sangat adil pula. Pertama, Islam melakukan pendekatan yang sangat lunak dan fleksibel, bersifat moderat, tidak dengan cara kekarasan. Baru kemudian bila dirasa tidak menemukan jalan lain kecuali alternatif perang, maka Islam akan menggunakan pendekatan ini, tentunya dengan mematuhi beberapa hukum perang yang telah diatur dalam Islam seperti tidak membunuh anak-anak, kaum perempuan dan orang tua serta orang yang lemah (baca: al-dlu’afa).

Perlu diketahui bahwa perang dan pertikaian bukanlah tujuan utama, namun perang hanyalah sebagai perantara (baca: washilah) saja untuk menegakkan hukum dan keadilan Islam. Jika penegakkan hukum dan keadilan tersebut bisa dicapai tanpa perang, niscaya jalur itulah yang lebih bagus dan harus ditempuh.

Kita mungkin akan tercengang, ternyata latar belakang perang Badar Al Kubro bukanlah untuk memperluas kekuasaan atau bahkan memaksakan seseorang untuk masuk ke sebuah idiologi Islam. Perang Badar Al Kubro sebagai perang pertama kali yang tumpah antara muslimin dan musyrikin sekaligus sebagai biang tumpahnya peperangan selanjutnya. Yang melatar belakangi berkecamuknya perang ini bukan karena permaslahan idiologi yang disebarkan oleh Nabi, namun justru disebabkan masalah duniawi, yaitu untuk merebut kembali harta orang muslim yang tidak sempat dibawa bersama waktu hijrah ke Madinah, kebetulan waktu itu harta tersebut dibawa serombongan unta pimpinan Abu sufyan bin Harb sekembalinya dari Syam. Namun kaum musyrikin justru menolak untuk mengembalikan harta tersebut dan memberikannya pada yang berhak. Saya yakin, bahwa penolakan untuk megembalikan harta orang yang berhak merupakan bentuk ketidakadilan yang harus dihilangkan.

Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa perang bukanlah bertujuan untuk menciptakan keonaran dan suasana neraka dalam daerah target, bukan juga bertujuan untuk memaksakan idologi seseorang. Tak lain tujuan jihad adalah untuk menegakkan keadilan baik keadilan ukhrowi maupun keadilan duniawi. Wallahu a’lam.

(1).Yang saya maksud dengan urusan duniawi adalah setiap sesuatu yang tidak berhubungan langsung dengan Allah, dan urusan ukhrowi adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan Allah, seperti sholat, puasa, zakat, haji, dll.

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

0 komentar:

Posting Komentar