SALAH FAHAM DALAM MENGARTIKAN WACANA SUFI

Oleh: M. Shofi Umar Faruq*

Diantara tudingan yang dilontarkan oleh mereka yang anti tasawwuf adalah kata-kata atau wacana yang muncul dari ulama sufi yang dianggap menyimpang dari alquran dan sunnah. Kadalaman hikmah yang muncul dari ucapan para sufi ternyata diartikan secara general dan tekstual beitu saja sehingga menimbulkan salah paham baik bagi para sufi pemula maupun mereka yang sejak awal mencari-cari kesalahan dan kelemahan tasawuf.


Syaikh Abdul Qadir Isa al-Halaby menulis secara khusus untuk menjawab mereka yang kontra dengan masalah ini dalam kitabnya Haqaiq 'an al-tasawwuf katanya: "Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab tasawuf ada beberapa hal yang tampak bertentangan dengan lahiriahnya nash syariat. Hal itu bisa disebabkan oleh latar belakang berikut:
Pertama: Wacana itu dipalsukan oleh mereka yang kontra kemudian disandarkan pada sufi tertentu. Para pemalsu itu muncul dari kaum zindiq dan mereka yang dengki dengan dunia sufi serta musuh-musuh islam.
Kedua: Memang, wacana itu benar adanya. Tetapi untuk memahaminya membutuhkan takwil, karena para sufi berbicara dengan bahasa isyarat, metafora atau peribahasa. Seperti misalnya dalam alquran ada ayat yang berbunyi: "Bertanyalah pada desa'. Maksudnya pada penduduk desa . "Dan apakah orang mati kami hidupkan." (Qs. Al-An`am:127), Maksudnya adalah matinya hati lalu Allah menghidupkannya. dan di ayat lain Allah menyebutkan: "Agar kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya". Maksudnya dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman, dan banyak ayat Al-quran yang membutuhkan takwil tidak dipahami saja menurut tekstualnya karena kebiasaan sastra arab yang menggunakan sastra metaphor. Jika kita pahami indikator dan makna dibalik ayat tersebut, baru kita menerima takwil yang sesungguhnya sehingga unsur kontradiktif bisa sirna seperti dalam ayat sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak bisa memberi hidayah kepada orang yang kamu cintai(al-qishosh 56). Dan di ayat lain disebutkan dan sesungguhnya kamu menunjukkan kepada jalan yang lurus (assyuro 52). Bagi orang yang tidak memahami tafsir seakan-akan dua nas itu bertentangan karena ayat pertama menafikan rosul saw dari pemberi hidayah dan ayat kedua rosul saw berhak memberi petunjuk. Tetapi, kalau kita bertanya pada ahli dzikir pasti terjawab bahwa ayat pertama bermakna sebagai pencipta hidayah dan ayat kedua bermakna sebagai pemberi ajaran tentang hidayah. Sehingga kedua nash tersebut tidak bertentangan. Dan banyak pula kita jumpai dalam hadits-hadits nabi saw yang tidak bisa dipahami menurut tekstualnya, tetapi harus ditakwil sesuai dengan pemahaman yang selaras dengan syariat dan relevan dengan alquran. Dalam konteks inilah assya'roni menegaskan para ulama sepakat untuk mentakwil hadits-hadist sifat seperti hadits tuhan turun setiap malam ke langit dunia sampai tersisa sepertiga malam yang terakhir lalu berfirman siapa yang berdoa kepadaku niscaya akan kukabulkan….. siapa yang minta kepadaku niscaya aku beri ….. siapa yang memohon ampunan kepaku niscaya aku ampuni (HR Bukhori dan Muslim) .sementara mereka yang tersesat memaknai sesuai dengan teksnya dan berkata diatas podium sembari berkata kepada publik Tuhanmu turun dari kursinya ke langit seperti saya turun dari podiumku ini. Jelas pandangan seperti ini sagat bodoh dan menyesatkan (lihat al tasawwuf al islami wa sya'roni, thoha abdul baqi surur hal 105) misalnya pula dalam hadits nabi saw sesungguhnya Allah menjadikan adam menurut rupa-Nya (HR Muslim) menurut Ibnu hajar al Haitsami ra harus ditakwil benar bahwa dhomir (kata ganti) itu kembali kepada Allah sebagaimana lahiriah ayat dan hal itu harus ditegaskan, yang dimaksud dengan rupa adalah sifat dalam arti yang sesungguhnya allah swt menciptakan adam menurut sifat-sifat-Nya antara lain sifat ilmu, qudrat dll. Hal ini dikuatkan hadits oleh S Aisyah RA akhlak rasulullah saw adalah al-Quran (HR Muslim) dan hadits berakhlaklah dengan akhlak-akhlak Allah ta'ala. Indikasi hadits tersebut sepenuhnya adalah mensucikan akhlak dan sifat-sifat-Nya dari segala kekurangan agar bisa menjadi asas bagi persemaian akhlak tuhan-Nya, yakni sifat-sifatNya. Sebab kalau tidak ditakwil dengan sifat itu maka akan terjadi kontradiksi antara yang maha qodim dan hadits (baru). Dengan statemen ini ditegaskan bahwa hadits tersebut memberikan pujian pada nabi adam As dimana Allah memberikan sifat-=sifat pada adam seperti sifat-sifat allah swt karena itu sebagaiaman pandangan para ulama haruslah ditakwl pada hadits yang kata gantinya tersebut langsung pada Allah swt. berbeda dengan mereka yang sesat memahami hadits tsb, semoga Allah melindungi kita dari semua itu. Imam al manawi dalam syarah al jami'u al shogir menyatakan mengenai hadits nabi saw : sesungguhnya alllah berfirman di hari kiamat : wahai manusia aku sakit tetapi engkau tidak menjengukku kemudian manusia berkata bagaimana aku menjenguk –Mu sedangkan engkau adalah tuhan semesta alam? Allah menjawab ketahuilah jika hambaku si fulan sakit lalu mengapa tidak menjenguknya? Ketahuilah jika kamu menjenguk si fulan niscaya kamu menemuiku di sisi fulan itu. …. (sampai akhir hadits HR Muslim).
Jika hadits rasulullah saw perlu ditakwili padahal hadits tersebut telah mencapai tingkat sastra tertinggi bahkan paripurna sebagai kalimat untuk mengetahui makna terdalamnya agar dipahami umatnya, tentu saja setiap ilmu pengetahuan juga memiliki istilah-istilah (terminology) khusus yang membutuhkan uraian dan penafsiran. Apakah ahli fisika akan memahami istilah kedokteran? Apakah tukang jahit mengenal istilah otomotif??? Bagi kaum sufi memiliki istilah-istilah khusus yang perlu ulasan pula sehingga untuk memahaminya perlu berguru kepada mereka agar tidak salah memahami wacananya, agar pemahamnya tidak melenceng dari alquran dan sunah, tidak menyimpang dari syariat, karena para ulama sufi itulah yang tahu benar spirit terdalam dibalik hakikatnya.
قال الشيخ أبو القاسم الجنيد البغدادي (سيد الصوفية) قدس الله سره : مذهبنا هذا مقيد بأصول الكتاب والسنة .
وقال أيضا : الطرق كلها مسدودة إلا من اقتفى أثر الرسول صلى الله عليه وسلم .
وقال أيضا : من لم يحفظ القرآن ولم يكتب الحديث لا يقتدي به في هذا الأمر لأن علمنا مقيد بالكتاب والسنة .
Sebagai penutup saya akan menukil washiat syaikh ibnu athoilllah assakandari ra didalam karyanya lathoiful minan :
إياك أيها الأخ أن تصغي إلى الواقعيين في هذه الطائفة المستهزئين بهم ، لئلا تسقط من عين الله وتستوجب المقت من الله . فإن هؤلاء القوم جلسوا مع الله على حقيقة الصدق وإخلاص الوفاء ومراقبة الأنفاس مع الله، قد سلموا قياده إليه وألقوا أنفسهم سلما بين يديه تركوا الانتصار لأنفسهم وكان هو المحارب عنهم لمن حاربهم. والغالب لمن غالبهم. ولقد ابتلى الله هذه الطائفة بالخلق خصوصا أهل العلم الظاهر فقل أن تجد منهم من شرح الله صدره للتصديق بولي معين. بل يقول لك : نعم إن الأولياء موجودون ولكن أين هم ؟ فلا تذكر له أحدا إلا وأخذ يدفع خصوصية الله فيه طلق اللسان بالاحتجاج عاريا من وجود نور التصديق . فاحذر من هذا وصفه وفر من فرارك من الأسد جعلنا الله وإياك من المصدقين لأوليائه بمنه وكرمه
والله تعالى أعلم


* Mahasiswa tingkat II Fakultas Syari'ah Wa Al Qonun Al Ahgaff University

0 komentar:

Posting Komentar