Di Balik Perempuan Berkalung Sorban

Oleh: Chaery W.*
Agaknya sudah terlambat untuk ikut nimbrung mengkritisi alur film Perempuan Berkalung Sorban (PBS), produksi Starvision yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo. Sebenarnya, sebelum film ini berhasil di-download oleh teman-teman, saya sudah lama mendengar kontroversi seputar film yang diadaptasi dari sebuah novel karya Abidah el-Khalieqy, penulis kelahiran Jombang, 1 Maret 1965.

Karena penasaran, saya membuka banyak blog yang memuat sinopsis PBS yang masih ramai dibicarakan orang kala itu di berbagai media, sampai-sampai Republika merasa perlu mengangkat topik ini tiga hari berturut-turut di halaman paling belakang. Setelah tahu ringkasan film ini, saya merasa biasa-biasa saja dan tak ingin berkomentar, tapi sehabis nonton sendiri filmnya saya tidak bisa menahan emosi. Ternyata film ini lebih dari apa yang saya bayangkan. Secara pribadi, saya tidak menolak PBS sepenuhnya. Malahan, saya agak condong pada perjuangan emansipan Annisah (Revalina S. Temat) yang senantiasa memperjuangkan hak-hak wanita dan mencoba mengeluarkan mereka dari kungkungan lelaki. Annisahlah pemilik ide untuk membangun perpustakaan pondok guna menampung buku-buku umum, berusaha melepaskan ekonomi pesantren dari ketergantungan berhutang dll. Mungkin di situlah letak kelihaian sutradara yang berhasil menjadikan filmnya penuh kontroversi dan menarik untuk diikuti. Bagi mereka yang melihat sisi kegigihan Annisah yang begitu positif, tentu mereka akan pro dan memperjuangkan peredaran film ini, seperti Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Titie Said, staf ahli Departemen Agama Siti Musdah Mulia dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta. Dan bagi mereka yang melihat pendiskreditan pesantren dan Islam dalam film tersebut, jelas akan menolak.
Hal ini masih dalam kerangka "war on ideas" (perang pemikiran), yaitu usaha untuk mendapatkan hati dan pikiran masyarakat Muslim khususnya, guna mengaburkan pemahaman mereka terhadap agamanya sendiri. Di saat para Islamist berusaha memperkenalkan pemahaman Islam Idiologis, yakni pemahaman Islam sebagai idiologi yang harus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Para pelaku perang berbalik memperkenalkan Islam sebagai agama yang sadis, kolot, tidak manusiawi kepada masyarakat melalui berbagai sarana, dan dalam hal ini sastra dan budaya. Saya sendiri tidak bisa membayangkan apa tindakan orang Muslim abangan/awam setelah menonton film ini? Barangkali mereka akan semakin menjaga jarak dari pesantren dan menjauhkan anak-anak mereka dari lembaga sekaligus sistem pendidikan yang pertama kali diterapkan di Indonesia ini.
Bukan suatu yang aneh kalau PBS dalam versi novelnya yang pertama terbit pada 2001 ini diterbitkan oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), LSM milik Nahdlatul Ulama Jogjakarta dan Ford Foundation (FF) yang keberadaannya di Indonesia sudah terlanjur menyandang image yang kurang bagus. LSM Barat semacam FF sudah seringkali mensupport LSM dan organisasi Indonesia yang terkesan nyleneh** . Abidah sendiri ketika diwawancarai juga berterus-terang, "Novel Perempuan Berkalung Sorban sebenarnya lebih keras kritiknya (dari pada Geni Jora, novelku terdahulu, pen.) terhadap kitab kuning dan para kyai yang mereka adalah 'para penguasa' yang menciptakan pola pikir dan budaya."
Di sini saya tidak akan panjang lebar menceritakan sinopsis film yang mulai rilis di bioskop-bioskop tanggal 15 Januari 2009 ini, melainkan hanya ingin menyoroti potongan-potongan adegan yang merugikan pihak kita:
 Hukum Islam Tidak Relevan. Sang sutradara, Hanung Bramantyo, rupanya ingin menggugat salah satu produk ijtihad Imam Syafi'i yang madzhabnya menjadi simbol hukum Islam di Indonesia, lebih-lebih di kalangan pesantren salaf. Hanung ingin mengungkapkan, kawin paksa yang dilegalkan Islam tidak relevan untuk diterapkan di zaman modern ini, bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM) yang ujung-ujungnya akan memusnahkan kebahagiaan wanita dalam rumah tangga. Seperti Annisa yang digambarkan sangat menderita dan sering mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, yang tidak luput dari kritikan adalah hukum poligami yang juga dilegalkan Islam. Kalau dalam filmnya terdahulu, Ayat Ayat Cinta (AAC), Hanung hanya mengkritik poligami secara halus. Kini, dalam PBS Hanung mempertegas kembali ketidakadilan gender itu dan lebih menampakkan bias negatif dari poligami. "Oleh karena itu saya membuat film ini untuk meletakkan kembali bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sejajar," ujar ayah satu anak ini. Untuk lebih menampilkan keangkeran Islam, dalam PBS dibahas juga hukum pidana "rajam". Saya tidak tahu pasti, apakah praktik rajam dalam film tersebut dibuat secara sengaja seperti itu, atau karena faktor minimnya pengetahuan si pembuat film tentang Islam. Sudah maklum bahwa syarat-syarat untuk mempraktikkan hukum rajam sangat ketat sekali, tidak asal lempar batu. Di antaranya harus ada empat saksi laki-laki yang melihat langsung masuknya dzakar pezinah dalam farji. E.., di PBS ternyata ada kalangan pesantren yang menerapkan hukum rajam hanya dengan barang bukti: kurudung Annisah yang terlepas waktu berduaan dengan Khudlori (Oka Antara). Mungkin, adegan ini untuk menambah citra "ngeri" dalam hukum Islam, yang suka merajam pemeluknya.
 Kolotnya Pesantren. Di awal durasi, kita disuguhi sebuah adegan yang menggambarkan ketidakadilan perlakuan seorang kyai (Kyai Hanan yang diperankan Joshua Pandelaky) terhadap anak putrinya, Annisah. Misalnya, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi hanya ia berikan kepada dua putranya, dan tidak pada putrinya. Jelas hal ini merupakan warisan budaya Jahiliyyah yang Islam sendiri melarangnya. Yang lebih menyolok dalam memojokkan pesantren, pada adegan pembakaran buku-buku umum. Di situ, sutradara dengan apik menggambarkan kekonservativan pesantren era 80-an hingga 90-an. Para santri dilarang membaca buku-buku modern, kemudian dicekal dan dibakar bukunya bila ketahuan dewan pengurus. Sampai-sampai ada sekelompok santriwati (Ulfa dkk.) yang kabur ke Jogja menyusul Annisah untuk mencari kebebasan berpikir dan takut "kuper" kalau terus-terusan di pesantren. Belum lagi percakapan-percakapan dalam adegan tersebut, seperti kata Annisah, "Penjara lebih buruk dari pesantren." Yang semua itu memberikan konotasi yang tidak sehat terhadap lingkungan pesantren. Pada adegan lain, pemirsa akan dicekoki kesan buruk yang dialamatkan pada "gawagis" (single: gus). Gawagis di masa itu digambarkan sebagai pemuda urak-urakan, pemabuk, suka nonton BF dan bahkan menghamili anak tetangga di luar nikah, seperti Gus Syamsudin (Reza Rahardian). Atau digambarkan sebagai pemuda yang kolot, materialistis seperti kedua kakaknya Annisah. Bahkan diberi kesan seolah-olah mereka memimpin pesantren karena faktor ekonomi belaka, seperti sibuk bersaing gede-gedean komplek pondok guna berebut santri dengan pesantren lain.
Walaupun untuk penulisan novelnya, Abidah mengaku telah melakukan riset tentang hak-hak reproduksi wanita selama hampir dua tahun, kemudian riset lapangan selama tiga bulan di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang. Sesudahnya, mengikuti seminar-seminar yang diadakan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian menuliskannya dalam novel selama sembilan bulan sehingga data dan fakta dalam karyanya tersebut dibilang otentik, saya masih kurang percaya bahwa di era 80-an terdapat pesantren dan gawagis seperti pesantren dan gawagis Al Huda yang diangkat sebagai topik utama dalam novel tersebut. Atau mungkin diskripsi pesantren salafiyah Al Huda yang dibuat menyimpang dari ajaran Islam itu muncul dari khayalannya belaka?!
Tak khayal, kalau PBS ujung-ujungnya menuai kritik dari berbagai pihak. Pengurus MUI yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yaqub menyarankan agar PBS ditarik dari peredaran untuk diubah sejumlah adegannya. Hal senada juga diungkapkan oleh aktor senior Deddy Mizwar yang juga berstatus Kepala Badan Pertimbangan Perfilman Nasional dan sineas senior Misbach Yusa Biran (suami aktris senior Nani Wijaya). Tak ketinggalan, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring ikut menentang film tersebut. Namun, hemat saya, kecaman atau ancaman penarikan kembali PBS dari peredaran bukanlah solusi yang tepat. Karena bagaimanapun novel dan film PBS terlanjur beredar luas dan dikonsumsi masyarakat luas. Versi novelnya saja, awalnya dicetak 3000 eksemplar dan dibagikan gratis ke pondok pesantren dan organisasi Islam. Jadi selain mengecam, orang-orang kita setidaknya juga memunculkan novel atau film tandingan sebagai solusi riil untuk meluruskan kebenaran yang terplintir dan segera menyebarluaskannya ke khalayak umum. Mungkinkah?!

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.
** Sebelumnya FF pernah bekerjasama menerbitkan buku yang aslinya hasil disertasi Greg Barton tahun 1995 yang berjudul "Gagasan Islam Liberal di Indonesia", FF pula yang menyumbang uang sebesar 1 juta dollar kepada International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Selengkapnya tentang FF lihat: www.fordfound.org/regions/indonesia/fields/id

0 komentar:

Posting Komentar