Tanggapan…

Kamis, 23 April 2009
Oleh: H2O Wangi*

Makalah yang didiskusikan dalam kajian ilmiah pada hari Jum`at, 24 April 2009 yang disampaikan oleh M. Birrul Alim dengan judul Islam, Demokrasi dan Kesetaraan Manusia.




Pada dasarnya manusia adalah sama derajatnya di sisi Allah SWT. sama-sama makhluk Allah, sama-sama ciptaan-Nya yang lemah dan tak berdaya. Tidak mengetahui apa-apa dan yang jelas tidak berhak menjudge terhadap sesamanya bahwa dia lebih sempurna, lebih baik dan mengganggap yang lainnya rendah dan dalam jalan yang salah. Karena apa?, karena kita sama-sama makhluk-Nya. Yang membedakan adalah ketaqwaan kita terhadap Sang Pencipta.
Kita sebagai manusia tidak diperintahkan untuk benar, tetapi kita diperintahkan untuk selalu berbuat benar dengan berpegang teguh pada al-Quran dan hadist Nabi Muhammad SAW.
Islam adalah agama rahmatan lil `alamin tiada paksaan untuk masuk Islam, La ikraaha fi ad-diin. Dan Islam pun juga tidak membiarkan orang terjerumus dalam kesesatan. Kita dianjurkan untuk mengajak kepada kebaikan, namun tentunya dengan cara-cara yang makruf pula. Islam tidak memperbolehkan kita berbuat seenaknya sendiri demi memperoleh tujuan; dalam hal agama pun seperti itu, apalagi dalam cabang-cabangnya?!. "Namun", dengan tanda kutip, selama kita masih bisa mengusahakan dengan cara-cara yang baik, maka selama itu pula kita tidak diperbolehkan berbuat seenaknya sendiri.
Islam juga agama yang warna-warni, dalam artian meskipun Islam satu adanya tapi masing-masing pemeluknya mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang Islam. Mungkin dikarenakan kadar ilmu dan pemahamannya yang berbeda, atau bisa juga karena kurangnya wawasan, karena Islam itu luas, tak sesempit apa yang kelihatan di depan mata kita. Maka dari itu, dalam pemahaman dan penerapan suatu hukum dalam Islam kita perlu memahami apa syarat-syarat yang ada di dalamnya dan tidak meninggalkan tinjauan sosiologi-antropologis suatu masyarakat. Seperti yang ditulis oleh M. Birrul Alim, sistem demokrasi yang ada saat ini adalah demokrasi yang "bobrok" dan dijustifikasi sebagai sistem "kafir" karena tidak sesuai dengan mabda` syuro yang ada dalam masa Nabi dan setelahnya pada masa silam. Lebih jauh lagi sistem demokrasi adalah over toleran antar umat beragama. Penanggap bingung, tendensi apakah yang beliau pakai, jangan-jangan karena kurang telitinya dalam memahami teks atau kurang pahamnya realita yang ada yang menuntut seseorang paham akan hal itu. Sebetulnya bicara masalah demokrasi dalam konteks kekinian tidak relevan lagi alias ketinggalan jaman atau "Miss tomorrow", toh seperti yang dikatakan oleh Asef Bayat, Direktur baru ISIM (Internasional Institute for the study of Islam in the Modern World) bahwa dunia Islam khususnya negara Arab dan Timur Tengah sedang "in the process of democracy". Kesimpulan ini bukan semata-mata pandangan tanpa patokan. Lebih jauh lagi, kesimpulan Bayat ini didasarkan pada riset tentang "Post Islamist" belum lama ini.
Yang pasti demokrasi adalah opsi terbaik yang ada saat ini, bila dihadapkan pada masyarakat yang plural dan berbeda-beda ini. Sistem ini didasarkan atas partisipasi publik, penghargaan pada minoritas politik dan agama, menjunjung tinggi kebebasan berpikir, sipil dan saling toleransi. Bukankah semua itu adalah anjuran agama Islam yang di dalamnya sangat menjunjung tinggi kebebasan?. Namun kita juga tidak tutup mata bahwa dalam kebebasan itu juga ada dhowabith-dhowabith yang tak boleh di terjang. Rasulullah SAW. adalah seorang yang sangat demokratis. Beliau adalah sebagai lambang demokratisasi Islam. Selain itu dalam al-Quran pun sudah disebutkan dalam surat as-Syuro: 38 yang artinya: "Sedang mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka"; surat al-Imran: 159, : "Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu"….dst. Nah, dari sini kita lihat dalam memutuskan setiap masalah sebaiknya kita dituntut bermusyawarah terlebih dahulu, sedangkan kita tahu mabda` syuro ini salah satu landasan demokrasi yang ada, walau saya tidak memungkiri dalam setiap sistem pasti ada kelemahannya atau kelebihannya; adakalanya dalam praktek atau dalam sisi-sisi yang lain. Namun, apakah dengan itu, lantas kita menjudge sistem- sistem itu bobrok?.
Bukankah inilah arti Islam itu elastis dan rahmatan li al-` alamin yang menjunjung tinggi sikap toleransi selama tidak dalam hal yang intim dalam hal agama. Misal kita diharuskan mengikuti apa yang dilakukan oleh orang-orang Kristen seperti pergi ke gereja di hari minggu. Hal in jelas bukan arti solidaritas atau toleransi antar umat beragama. Namun, yang dimaksud di sini adalah kita tidak mengganggu mereka dan tidak memaksakan apa yang kita anggap benar. Karena dalam Islam itu tidak ada paksaan. Lebih jauh lagi di situ ditulis: "Demokrasi menyetarakan kedudukan antara umat Islam dan umat selain Islam, yaitu mempunyai hak dan kewajiban yang sama……". Ingat! Kita berbicara dalam ranah "demokrasi" bukan dalam ranah ketuhanan… Bukankah kita memang harus tidak boleh membedakan antara hak dan kewajiban antara Islam dan bukan Islam atas nama negara dalam konteks "Indonesia". Masyarakat Indonesia sangat beracam-macam; ada Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dsb. Akan jadi apakah Indonesia jika setiap warganya yang berbeda-beda agama dibedakan juga hak dan kewajibannya?. Padahal kita hidup pada satu negara dan sekali lagi, ini bukan ranah "ketuhanan" tapi ini urusan duniawi. Sungguh pribadi saya terkesan banget sama makalah saudara M. Birrul Alim tapi terkesannya kok masih ada orang yang berpandangan seperti ini. Saya berharap selain punya konsep anda diharuskan juga mempunyai solusi yang tepat. Bukan memberi konsep saja namun tanpa solusi, karena semua orang bisa mengerjakan hal itu.
Akhirnya, kesempurnaan, kebenaran mutlak adalah hanya milik Allah semata dan kelemahan adalah milik kita….
"Don't think you are the best, but think we are the same and we have to do the best for all side".

*Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu.

0 komentar:

Posting Komentar