LURUSKAN PEMAHAMAN YANG MELENCENG

Oleh: Abdullah Ahid*

(Dan di antara manusia itu ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah dan hari akhir." Padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang yang beriman). QS. 02:08.

Kalau paham liberal kian mendarah daging dalam otak generasi penerus Islam, dan berkelanjutan hingga menyumsum bercampur jadi satu dengan pengetahuan luas yang dimiliki oleh mereka yang cukup mempunyai kemampuan unggul dalam memahami syari'at, maka bagaimana nasib masyarakat awam yang tidak mengerti keunikan serta kerahmatan agama yang mulia ini?


Sementara mereka tidak mengerti kewajiban apa yang harus ditempuh, dengan pengetahuan yang sangat minim disertai rasa terkekang oleh nidzam syari' (peraturan Sang Pemilik syari'at).
Masuknya bangsa Kompeni disertai dengan sambutan hangat masyarakat pribumi yang tak sedikitpun memililki kecurigaan bahwa nantinya akan menjadi tuan bagi mereka dan menjadikan mereka jongos yang martabatnya bisa lebih buruk dari pada budak. Maka tak ayal jika anak buah Israel yang sedari dulu memiliki dendam batin terhadap pengikut ajaran agama Allah lebih akan menganggap mereka sebagai hewan yang tak layak dipiara dan diternak. Digiring menuju jurang kesesatan sehingga nantinya akan terjatuh ke dasar jurang kehinaan.
Zaman modern yang serba dipandu dan dikuasai oleh bangsa Yahudi kini semakin memberikan peluang luas bagi kaum yang memiliki keraguan dalam hati, kering akan akhlaq dan nuraninya telah mati, untuk menghujat agamanya dan saudara intern agamanya sendiri. Mereka yang selalu ragu, tak mengindahkan ijtihad dan jasa ulama terdahulu. Bahkan dengan kurang ajarnya berani menentang atau mengkritiki serta mengkaji ulang fatwa-fatwa mereka, diganti dengan usaha yang tiada valid argumennya bilamana diteliti dan dicocokkan dengan realita yang terjadi, sebab kedangkalan ilmu yang mereka miliki. Inilah yang sekarang kian marak di kalangan Muslim KTP yang sebetulnya orang munafik.
Berbagai usaha yang mereka lakukan tak lain adalah membawa visi pemurtadan kaum Muslimin. Entah melalui penularan pemikiran yang bersifat liberal, wawasan yang luas, atau apapun caranya agar bagaimana syari'at ini bisa tenggelam ditangan pemeluk agama itu sendiri. Sebab mereka merasa kewalahan untuk menyebarkan paham dan ajaran mereka. Dan cara ini adalah yang paling praktis dan kondusif. Adu domba memang sebuah program yang ditata dengan cemerlang dan efisien meraih kemenangan. Sementara momok yang paling ditakuti oleh semua golongan adalah juga pengkhianatan bangsa sendiri. Dan apabila generasi penerus ulama', cendekiawan Muslim yang semestinya membela dan mempertahankan Islam itu telah berpaling dari kewajibannya dan bisa dikatakan munafik nantinya, maka sedikit demi sedikit agama ini akan terkikis oleh ulah mereka.
Artikel ilmu teoritis yang disajikan oleh Ulil Abshar cukup indah dan menawan. Generalisasi perkara yang spesifik merupakan hujjah yang begitu mematikan, karena bisa jadi disertai unsur penipuan yang tak tampak dan pasti diterima dikalangan publik. Mengatakan bahwa dini hari para intelektual Muslim telah terpikat pemikiran filosof Barat, menyamakan potensi yang dimiliki ulama' salaf yang berpegang teguh pada Al Qur'an dan As Sunnah dengan ilmuwan non-Muslim tanpa bukti yang jelas. Apalagi terdapat tambahan kata-kata intelektual Muslim yang berlatar belakang NU kerap merujuk permasalahan filsafat pada ahlinya yang terdiri dari ilmuwan modern bangsa Barat. Dan apakah benar demikian? Namun, jikalau lebih kita teliti maka tampaklah kebodohan yang menyelimuti mereka yang berani menetralkan golongan dan mengolok-olok saudara seagamanya sendiri yang sudah tentu dibela dan dijaga oleh-Nya. Karena satu contoh tidak mungkin bisa dimasukkan dalam komunitas, artinya barangkali orang seperti dialah yang selalu mengandalkan dan memuja-muja ilmuwan non-Muslim. Dan imbas perlakuan itu ditujukan pada Muslimin yang muslihin dan muhsinin. Ini namanya ta'mim al-khos ghoiru muthobiq lil waqi'.
Sedangkan agama Islam adalah agama rahmah yang penuh dengan pertimbangan. Prakteknya bertolak belakang dengan agama lain. Ia berjalan gradual secara kontinyu sehingga para pemeluknya merasakan ketentraman yang luar biasa, yaitu orang-orang yang pasrah dan tunduk diri pada Allah dan menyerahkan segala urusan pada-Nya. Sebagai contoh kecil kerahmatan itu adalah perbudakan yang terjadi di masa jahiliah, Islam datang dengan menepisnya setitik demi setitik, tidak langsung menekankan pengharaman, sehingga dengan cara minimalisir ini ia digubris dan dihormati mereka yang hatinya terbuka. Tidakkah hal ini menjadi sebuah contoh bagi kita umat Muslim untuk berfikir? Sementara sebelum kedatangan Islam corak kehidupan yang mewarnai bangsa Yahudi dan Nasrani sangatlah tidak berperikemanusiaan. Jadi, mana mungkin pemikiran mereka disamakan? Toh berangkat dari sumber yang bebeda.
Permasalahan tulisan Ulil lagi adalah kalau dikritik mengapa struktural forum-forum yang ada di bawah kekuasaan NU sekarang seakan tidak memperdulikan lagi ilmu teori? Jawabannya, bukan berarti tidak menghiraukan. Tetapi barangkali hal ini yang hendak diterapkan mereka, yakni menyuguhkan kepada masyarakat awam hukum-hukum agama yang tak mungkin bisa mereka raih dengan berijtihad karena minimnya pengetahuan juga sibuknya pekerjaan yang menumpuk, sehingga dengan instant mereka dapat melahap dan mengamalkannya dengan praktis. Lalu, apakah hal itu tidak mematikan pikiran mereka yang mestinya wajib mengetahui sumber dan asal-usul perkara itu ditentukan? Kita logikakan perjalanan seorang mencari ilmu. Berangkat dari ilmu tauhid, ketuhanan, mengetahui Rasul, dan lain sebagainya, disusul dengan ilmu alat dalam bahasa Arab, karena pembawa agama Allah berasal dari Arab, lanjut dengan ilmu Fiqih tentang halal haram dalam Islam, barulah mencari sumber asal hukum tersebut itu ditentukan. Lha, kalau orang sudah tidak memiliki kemampuan untuk memikirkan asal muasal sebuah perkara ditentuikan, bukankah lebih baik ia mengetahui perkara tersebut. Dan kalau bukan karena perkara itu diketahui terlebih dahulu, apakah ia bisa berfikir menggali sumbernya? Permasalahan apa yang bisa ia bahas sedang tema saja tidak mengetahui. Contoh kecil, kewajiban shalat. Jikalau orang telah masuk Islam, apakah ia wajib untuk shalat atau mencari referensi yang mendetail dan peristiwa terjadinya kewajiban itu? Kalau yang kedua diterapkan maka Islam adalah ad diin al masyaqah.
Sebagai umat Rasul yang diutus untuk menyempurnakan akhlaq seharusnya kita intropeksi diri. Apakah kita sudah terhitung orang pandai dengan membodohkan program orang lain yang status keilmuannya di atas kita. Mereka lebih banyak makan garam, dan mempunyai pertimbangan yang lebih adil dan kuat sebab pengalaman yang mengungguli kita.
Menjadi seorang ulama' itu tidaklah fardlu 'ain, dan pemahaman mencari akar yang terlalu dalam itu saya kira adalah hanya keinginan musuh Islam yang memfilsafati perkara sehingga bisa dijadikan alasan untuk berpaling darinya. Sebab wadah pencetak generasi penerus yang nantinya menumbuhkan para cendekiawan Muslim dan alim, sholeh serta revolusioner tidaklah kurang. Para ulama' telah berlomba-lomba menjadikan muda-mudi Muslim bermanfaat di kemudian hari dengan sarana pendidikan yang dikondisikan dengan zaman dan tetap berpegang teguh pada Al Qur'an. Lagipula Allah sudah adil, kalau semua orang dicekoki pemikiran sepertinya dan mereka semua mempunyai kapasitas kecerdasan yang sama rata, siapa yang akan menjadi pimpinan bagi mereka, yang mengajak ke agama Allah? Lagipula kalau setiap orang hanya mencari akar suatu pesoalan secara mendetail, ia akan lupa dengan tujuannya, yaitu mengetahui dan mengamalkan kewajiban dari undang-undang hukum atau ending permasalahan yang ia tekuni tersebut. Jadi, bukan berarti jajaran kepengurusan NU mengabaikan ilmu Ushul.
Memang benar jika teori tak mampu pisah dari praktek, karena praktek tanpa teori hasilnya nol. Begitu juga sebaliknya. Tapi untuk merealisasikan perkara tersebut apakah harus mengambil sampel dari kejadian-kejadian yang kurang ia pahami tujuan dan akibatnya dan diolah menjadi terlihat buruk di mata umum. Padahal obyeknya juga ikhwanuhu fiddin. Tidak ingatkah kalau sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah. Tapi Ulil seakan mendoktrin keunggulan teori dan lupa atas kejadian masa lampau untuk dijadikan pelajaran, yaitu ajaran Siti Jenar tentang tauhid yang kurang bisa dipahami oleh khalayak umum dan bisa memurtadkan mereka yang bukan sederajat dengannya, itulah segi negatif inti artikel karyanya. Dan bila orang yang dangkal pikirannya dan lemah imannya, pasti akan mudah terpengaruhi sedikit demi sedikit untuk berfikir sepertinya dan ujungnya tiada lagi kepercayaan yang tertancap dalam hatinya untuk i'tikad bahwa agama yang dipeluk adalah yang paling benar.
Kembali mengenai persesuaian pendapat antara ulama' Islam dengan pemikir Yunani dan Barat itu sangat tidak mengenakkan untuk dikombinasikan, karena berangkat dari ajaran yang berbeda. Lagi pula bukankah telah jelas di mata kaum Muslimin bahwa bangsa Barat dengan kejam merebut ilmu pengetahuan yang diciptakan ahli ilmu Timur Tengah. Mereka mengadopsinya dan mengatakan bahwa hal itu adalah darinya. Sebagai seorang Muslim, seharusnya kita mendalami agama tanpa menganggapnya sama rata, karena yang paling benar adalah memang Islam. Ingin bukti kongkret? Perhatikan saja seorang muallaf adalah yang mendapatkan petunjuk dan terbuka hatinya, sedangkan yang murtad adalah karena faktor ekonomi, sosial atau konflik lain yang sama sekali tak berlandaskan kesadaran, melainkan melencengnya pikiran yang dipaksa-paksakan.
Selayaknya kita bangga mempunyai ulama' yang selalu andil dalam berbagai masalah kehidupan. Mencurahkan tenaga dan pikirannya, memecahkan segala bentuk problematika. Bukannya menjunjung pembesar agama lain dan mencampur-adukkan pemikiran mereka yang tidak sama serta menimbulkan kerancauan dan kesulitan berfikir dalam benak orang yang tidak begitu memahami aqidah dan syari'ah.
Demikianlah cara berpikir kaum liberal. Ulil Abshor telah mengelabuhi pembaca artikelnya yang begitu mempesona dan berbobot dan sangat tinggi nilainya. Namun ia tidak sadar telah menampakkan kecerobohan dirinya dengan tergesa-gesa menyajikan pendapat yang terkesan memprioritaskan teori dan mengesampingkan praktek. Meskipun di sebagian katanya ia tulis bahwa teori harus imbang dengan praktek. Bukankah hal ini seperti orang yang ingin mengetahui pembentukan undang-undang untuk alasan agar bisa mencari kelemahannya dan menghindar darinya? Tak cocok dengan kritiknya yang memojokkan terhadap Nahdlatul Ulama' yang belum ia ketahui seluk-beluk dan tata-cara mereka memahami agama. Satu bentuk kelemahan prioritas teori Bean.

*Penulis adalah mahasiswa Universitas Al Ahgaff tingkat 1, fakultas Syari'ah dan Hukum.

0 komentar:

Posting Komentar