What Should We Do to Face the Social Complex?!

Oleh: H20 Wangi*
Dalam pandangan sosial, manusia bisa dibilang hidupnya bahagia ketika dalam hubungan sosial tidak ada kesenjangan. Setiap individu memang mempunyai tabiat, yang mana antara satu individu dengan lainnya sangat berbeda. Di lain sisi, manusia dituntut untuk mengorbankan keinginannya demi kebahagiaan orang lain atau demi menjaga keutuhan dan keseimbangan dalam hubungan social.

Apalagi dalam konteks negara kita, yang notabene sangat majemuk dalam setiap sisinya, tiap orang mempunyai kepentingan masing-masing, dan bagi kita pun dilarang intervensi dalam masalah atau kepentingan orang lain. Di sini jangan sampai disalahartikan, bukan berarti ketika semua orang mempunyai jalan yang berbeda dalam kehidupan lalu kita apatis dan tidak peduli dengan sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, namun lebih jauh lagi kita harus peduli dan tanggap terhadap kondisi social kita. Ketika di sekitar kita ada sesuatu yang kurang beres atau ada seseorang yang membutuhkan pertolongan sebisa mungkin sebelum kita diminta pertolongan kita bergerak lebih dulu, hal ini sesuai dengan firman Allah :
"وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان".
Nah, dari ayat ini bisa dipetik manfaat, walaupun kita diwajibkan saling tolong-menolong, toleransi dan tidak boleh acuh tak acuh, namun semua itu ada batasnya, yaitu selama hal itu baik dan tidak ada unsur prinsip dalam agama.
Di sini saya lebih terfokus pada pembahasan yang kedua, yakni bagaimana sikap kita seharusnya dalam menghadapi kepluralitasan dalam agama. Di Indonesia terdapat banyak sekali agama yang diakui secara formal oleh negara. Ada enam agama yang diakui secara formal oleh negara yang terakhir adalah Konghucu, yang mana menurut surat edaran tanggal 24 Februari 2006, agama ini resmi diakui oleh pemerintah dan mempunyai kebebasan untuk dilaksanakan oleh umatnya. Serta dilindungi oleh hukum sejak 1 April 2006. Dalam menyikapi kemajemukan ini, apakah kita, umat Islam harus memaksakan kehendak kita agar semua orang masuk Islam? Apakah dengan nama amar ma'ruf nahi mungkar lantas kita diperbolehkan berbuat semau kita untuk mendapatkan tujuan kita?. Tentunya tidak. Akhir-akhir ini banyak sekali kerusuhan dengan dalih atas nama agama, saya pribadi sangat tidak setuju ketika ada pertentangan antara kelompok dan menjurus ke arah destruktif lalu mereka dengan seenaknya menggunakan agama. Agama mana yang mengajarkan seperti itu? Dalam Islam memang dikenal amar ma'ruf nahi mungkar, namun semuanya itu ada regulasi-regulasi yang mengaturnya. Walau amar ma'ruf dalam agama adalah pilar pertama dan terpenting, karena tanpa itu agama akan sirna. Tapi kita juga tidak boleh dengan alasan itu lantas berbuat semena-mena dan mengenyampingkan sikap toleransi dalam agama. Allah berfirman:
"Dan hendaklah ada di antara kamu golongan umat yang menyeru pada kebajikan dan menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar merekalah orang-orang yang beruntung." (Qs: Ali imron: 104)
Dari ayat di atas, kita tahu bahwa amar ma'ruf itu wajib hukumnya. Sebab menurut dhohirnya, bentuk amar menunjukkan pada arti wajib. Hal ini sesuai dengan qoidah usul:
(الأمريقتضي الوجوب بوضع اللغة).walau di situ masih ada pertentangan ulama'.
Dalam amar ma'ruf harus melihat akibat yang ditimbulakan, maka dari itu amar ma'ruf yang hukum asalnya wajib bisa berubah menjadi tidak wajib bahkan haram jika hal itu mengakibatkan dampak yang negatif terhadap orang lain, hal ini sesuai dengan qoidah: "الضرر لا يزال بالضر".
Imam Al Ghozali di dalam kitabnya ihya' ulumuddin menjelaskan tentang sistematika amar ma'ruf nahi mungkar, yaitu:
1. Pemberitahuan, karena kadang-kadang orang melakukan kemungkaran mereka tidak tahu kalau hal itu mungkar. Dalam step ini dilakukan dengan pemberitahuan yang baik.
2. Memberi nasehat.
3. Memberi kecaman dan celaan.
Cara ini ditempuh ketika setelah diberi nasehat dengan baik namun tetap saja tidak mempan. Walaupun begitu yang dimaksud celaan ini bukanlah kata-kata yang sardonis dan mengandung kebohongan, namun sebatas ungkapan, seperti: wahai orang yang fasik dan lain sebagainya.
4. Mencegah secara paksa.
5. Mengecam dan memaksa dengan kekuatan fisik, namun perlu digaris bawahi, cara ini merupakan alternatif yang terakhir ketika tidak ada cara yang lain yang digunakan. Selama masih ada cara yang lain maka cara kekerasan ini sangat dilarang oleh Islam, dan masih banyak lagi hadis-hadis yang menjelaskan bahwa amar ma'ruf itu seyogyanya dilakukan dengan ma'ruf, tidak dengan paksaan.
Kembali pada realitas di Indonesia. Indonesia bukanlah negara Islam, di dalamnya menggunakan hukum pancasila yang mana digunakan pedoman oleh masyarakat Indonesia, temasuk juga dalam hal kebebasan beragama. Maka di sana bagi warga negara Indonesia dilarang memaksakan agama dan mencela agama-agama yang lainnya. Allah memang menjadikan manusia di bumi ini berbagai kelompok, golongan dan agama. Namun Allah juga membebaskan manusia uintuk memilih agama dan keyakinan masing-masing dengan segala resiko atas pilihannya. Manusia bebas memilih masuk surga atau neraka dengan pilihannya sendiri, hal ini sesuai dengan firman Allah: "Tidak ada paksaan untuk masuk agama Islam." (Qs. Al-baqoroh: 256). Juga dijelaskan dalam surat yunus ayat 99, At-taqobut: 12 dan As-syajadah.
Mengacu pada maksud ayat di atas, bahwa kewajiban umat Islam bahkan Rasul adalah menyampaikan ajaran. Dan ajaran Islam bukan memaksakan terhadap orang lain, karena hidayah itu kewenagan Allah. Jika kita sudah menyampaikan kebenaran dan amar ma'ruf, namun ternyata mereka menolak berarti mereka sudah siap akan segala resikonya.
Nah, dari semua paparan di atas saya simpulkan bahwa standar Islam adalah rahmatan lil alamin. Marilah kita tetap berdakwah namun dengan cara yang ma'ruf. Kita harus meyakini kalau keyakinan kita adalah paling benar, namun di samping itu jangan sampai kita mengolok-olok agama lain apalagi memaksakan kehendak kita. Wallahu a'lam.
"To say is easy, but to do is very-very difficult. So, we have to struggle to do what have we said."

* Mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat satu

0 komentar:

Posting Komentar