AKU TAK PEDULI

Ketika jemari lincah berselancar di tuts komputer merangkai kata, ada ragu mencela tanya, “Zhen menulis puisi?”. Mungkin ya, mungkin tidak.
Sepeninggal rindu, aku menetap bersamamu mengosongkan peluru. Tabir pernah terbuka di depan mata kita, tapi kita tak pernah tahu. Segalanya seperti kegelapan yang sempurna, utuh, dan komplit. Berulang kali kita bilang, "kesunyian adalah teman". Di antara lekuk wajahmu yang kuraba selagi kau tertidur itulah tempat kesunyian berada, lekuk-lekuk itu bukan milikku dan tak pernah aku miliki. Asal kau mengerti, "aku tak peduli”.

Mungkin telingaku sudah tak lagi mendengar bunyi, bahkan tik-tak jarum jam tak ingin menggiring waktu menjemput malam dan pagi, hanya asap berterbangan, menjingkati wajahku. Kelopak matamu terkatup tak terganggu, menyisakan sejuta damai yang tak pernah lagi kuimpikan. Dunia sudah terlalu bising, seperti tanganku yang tak henti berbicara kepada dawai-dawai gitar. Ingin kubisikkan di telingamu, "waktu sudah berhenti", tapi kau harus kembali, membawa segala kepalsuanmu dan meninggalkanku di sini bersama benih mati matahari.
Lambaian pelangi di malam tadi menemani, aspirasi dimensiku coba tuk mengambil takdir Tuhan dan menguburnya di samudra kedamaian, di kesendirianku.
Rindu bagi hatiku adalah permata yang enggan hilang dari gulungan darah dan aliran nadi-nadiku, tapi kumohon pada putri penakluk, "biarkan aku membawamu ke lahatku," walaupun kau harus dibawa pangeran dari pelangi yang kau impikan.
Lekuk tubuhmu dihatiku hanya pengantar cinta dan kerinduan yang dititipkan Tuhan padamu untukku, karena aku yakin kedamaian mentari di akhir malam dan cahaya bulan di senja ini adalah bagian dari cintamu untuku, bukan cahaya untuk istana pangeran penjemputmu.
Tak ada sesal yang menjatuhkan samudraku karena kuyakin kau bahagia di sana, di ujung kepedihan perihnya jiwaku tanpa bulatnya rona matamu.
Hanya satu keyakinanku, bintang yang kita tanam di dalam hati yang tak akan menghianati kasih suci.
Bila cinta suci hanya cerita dari negeri dongeng berikan padaku peta menuju negeri itu.
Luapan rindu membatu ketika kau yakinkan kepergianmu yang tak berujung kembali.
Debu dan ombak pantai penghias kisah-kisah kesempurnaan duniaku kau redupkan bersama tidurmu, tak kau sisakan sedikit embunpun untuk sekedar sandaranku ketika aku haus di kemarau yang tak mungkin dijemput hujan.
Lirik mata bulan menemani luapan cinta kita saat itu.
Tapi, lihatlah dia saat ini mencoba lupakan kita.
Nyanyian alam tak lagi kudengar hanya senyum halilintar temani kekosonganku.
Wanitaku bahagia diluar istanaku, bahagiakah aku?
Pernah aku bisikan, "ini duniamu"
Tapi apakah kau tau dimana duniaku saat ini?
Harum tubuhmu masih terpatri di otakku walau selalu kukatakan, "aku tak peduli"

Laskar Patah Hati
{AsHab}
Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.

0 komentar:

Posting Komentar