RELIGIUSITAS CINTA



Oleh: Ahcmad

Cinta? Wew, biasanya hati kita gerimis (kang abik pinjam kalimatnya yah!) kalau lagi mengenang kisah cinta, terutama ba'dluna yang sudah berumur mur-mur, hehehe… Tapi kita tidak sedang membahas cinta yang biasa dikonotasikan pada hubungan khusus antar dua jenis manusia saja, apalagi "love" versi kamus Oxford yang dalam sebagian pengertiannya terlalu merendahkan keagungan cinta sebatas passion sexuality, parah banget!! (mungkin hal tersebut dikarenakan telah terjadi kontaminasi dengan peradaban mereka.)
Dalam kertas ini kita mencoba mengupas cinta sebagai kalimat dengan arti yang universal. Cinta, love dan el-hubb wa hakadza jarra secara umum diartikan kasih sayang atau affection (kamus Oxford) atau widad (mu'jamul wasith). Sementara dalam mausu'ah fiqhiyah kuwaitiyah, mahabbah dalam etimologi adalah ketertarikan pada sesuatu yang menyenangkan. Dalam mu'jamul wasith dijelaskan juga makna el-hubb dalam terminology falasifah yang telah ditetapkan oleh majma'ullughoh 'arobiyah, yaitu kecondongan seseorang pada orang lain atau pada sesuatu yang agung atau yang menarik hati atau yang bermanfaat.
Lalu, ada pertanyaan menarik. Bagaimanakah cinta dalam islam?. Biasanya pertanyaan seperti ini sering ditanyakan kawula muda muslim di sebagian komunitas ngetrend seperti room chat islami atau media elektronik lainnya.
Sebagaimana Antum tahu, cinta adalah dorongan perasaan yang tidak bisa kita lihat dalam gerak lahiriah (amal dzohir). Jika kita bicara dalam segi fiqh Islam, tentu cinta (yang masih sebatas perasaan dan belum berkonsekwensi mafsadah atau maslahah) tidak masuk dalam maudlu' fiqh, karena maudlu' fiqh sebagian besar adalah amaliyah mukallaf yang dzohir, dan kalaupun mencakup amal batin itupun yang masih berhubungan dengan kaifiyah amal, seperti niat.
Dalam kitab Qowa'idul Ahkam fi masholihil Anam tepatnya ketika membahas mengenai aktivitas hati (قوله والقلوب معادن الخواطر), Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan: "Manusia hanya ditaklif untuk menghindari 'azm (keinginan kuat) melakukan mafsadah (muharram dan makruh) atau wasilahnya, dan diperintah untuk selalu bermaksud melaksanakan maslahah (wajib dan mandub) dan sebab-sebab maslahah,". Begitu juga dalam fashl "sifat manusia yang mendapat sangsi dan yang tidak", beliau menjelaskan: "Tidak ada sanksi apapun atas isi hati karena sulitnya menghindari datangnya perasaan atau fikiran itu. Dan tidak ada sanksi atas watak yang menggemari kebaikan atau keburukan, karena memang tidak ada taklif untuk menjauhi atau melakukan perkara yang di luar kemampuan. Adapun permulaan taklif adalah 'azm atau maksud hati, jika dia bertujuan baik maka berpahala, dan sebaliknya, jika bertujuan buruk maka berdosa, atau jika bertujuan pada perkara mubah maka hukumnya boleh/ma'dzun".
Konklusinya, jika seseorang merespon sifat pribadinya dan berkonskwensi pada perkara yang bertentangan dengan syariat maka dia mendapat sanksi, begitu juga sebaliknya, atau jika hanya mengakibatkan perkara mubah maka tidak ada ganjaran apapun yang dihasilkannya. Orang yang berwatak pelit matsalan, maka fiqh tidak langsung mewajibkan untuk merubah watak pelitnya, tapi mewajibkan aktifitas derma yang nyata seperti zakat wajib dan mensunahkan shodaqoh, dengan niat lillahi ta'ala tentunya. Begitu juga cinta, fiqh tidak menghukumi cinta seseorang selama sebatas perasaan saja. Tapi menghukumi konskwensi cinta itu yang berupa amal dzohir, semisal kholwat yang diharamkan atau khithbah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Lalu, di manakah cinta diterangkan dalam Islam? Jawabnya tidak perlu jauh-jauh. Cinta tidak sulit ditemukan dalam Islam, karena cinta bagian dari identitas Islam itu sendiri. Lho, maksudnya? Yup!! kalo kita mengakui Islam adalah rohmatan lil alamin tentu cinta adalah bagian dari rohmat. Dan semua ajaran Islam sebenarnya berkonskwensi terwujudnya cinta yang agung dan indah, meskipun kita belum bisa mewujudkannya karena lemahnya kita dalam pelaksanaan ajaran Islam.
Cinta (sekali lagi dalam arti universal) adalah fitrah manusia. Agar lebih gamblang kita simak aja kajian Sang Pujangga Syaikh Mushthofa Shodiq ar-Rofi'i yang saya kutip secara singkat dari kitab wahyul qolam juz ketiga sebagaimana berikut:
"Nabi Muhammad 'alaihis sholatu was salam secara tersirat menggambarkan cinta dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radliyallahu 'anhuma tentang tiga pemuda yang terjebak dalam goa karena pintu goa tertutup batu raksasa. Kemudian mereka sepakat untuk berdoa dan bertawassul dengan amal masing-masing. Pemuda pertama berdoa yang arti singkatnya: "Ya Allah, aku mempunyai Ayah Ibu yang tua renta. Dan aku tidak menyuguhkan minuman di malam hari pada siapapun kecuali setelah aku suguhkan pada mereka. Suatu malam aku memerah susu untuk mereka, tetapi kemudian aku menemukan mereka telah tertidur dan aku tidak ingin menyuguhkan minuman itu pada siapapun sebelum mereka. Maka akupun berdiam menunggu terbangunnya mereka dengan memegang wadah di tanganku sampai fajar. Kemudian mereka terbangun dan meminumnya. Maka ya Allah, jika aku melakukan itu semua demi mendapatkan ridlo-Mu maka geserlah batu besar itu dari goa ini,". Kemudian batu itu bergeser sedikit namun belum cukup untuk mereka lewati. Lalu pemuda kedua berdoa: "Ya Allah, dahulu aku sangat mencintai anak perempuan pamanku. Kemudian aku merayunya tetapi ia menolaknya. Dan selang beberapa tahun ia mendatangiku. Lalu aku memberinya seratus dua puluh dinar dan memintanya berkhalwat bersamaku. Dan ia bersedia. Hingga ketika aku telah menguasainya ia berkata: "Aku tidak menghalalkanmu membuka khotam (tutup) kecuali dengan haknya! Seketika aku merasa takut untuk menggaulinya. Kemudian aku berpaling darinya, padahal ia seorang yang paling aku cintai. Dan aku tinggalkan emas dinarku untuknya. Maka ya Allah, jika aku melakukan itu semua demi mendapatkkan ridlo-Mu maka renggangkanlah batu dari goa ini,". Maka batu itu bergeser sedikit dan masih belum bisa dilewati mereka. Kemudian pemuda ketiga berdoa: "Ya Allah, sesungguhnya aku dahulu memperkerjakan beberapa pekerja. Kemudian aku menggaji mereka kecuali satu orang yang pergi dan meninggalkan haknya. Lalu aku mengembangkan gaji haknya sehingga melimpah ruah. Dan setelah sekian waktu ia mendatangiku dan berkata: "Ya Abdallah, berikanlah upahku kepadaku!" dan aku menjawabnya: "Apa yang kamu lihat dari onta, sapi, domba dan budak ini adalah termasuk upahmu,". Ia berkata: "Ya Abdallah, janganlah kau menghinaku," aku menjawab: "aku sungguh tidak menghinamu," kemudian ia mengambil semua tanpa menyisakan apapun. Maka ya Allah, jika aku melakukan itu semua demi mendapatkan ridlo-Mu maka renggangkanlah batu itu dari goa ini". Maka bergeserlah batu besar itu dan akhirnya mereka bisa keluar dari goa. Intaha al hadits.
Perhatikan bagaimana Rasulullah menceritakan tiga pemuda yang menggambarkan tentang tiga unsur humanitas (insaniyyah) yang luhur, yaitu rahmah kasih sayang yang mengalahkan atsarah (ego), kemudian dikenal manusia sebagai albirr (ketaatan, kesalehan dan kebaikan), dan rahmah yang mengalahkan nafsu syahwat, kemudian dikenal manusia sebagai iffah (menjauhkan diri dari hal yang tidak baik, syubhat), dan rahmah yang mengalahkan ketamakan, kemudian dikenal manusia sebagai amanah.
Lalu, sisi insaniyah (humanitas) itu dengan sendirinya meruntutkan ketiganya dan menetapkan albirr sebagai asas dari iffah dan amanah. sehingga siapapun yang hidup tumbuh bersama sifat birrul walidain maka diapun patut berpekerti iffah dan amanah. Insaniyah juga menetapkan iffah sebagai pengekang dan penggabung amanah dan albirr dalam pribadi manusia. Sedangkan amanah adalah penyempurna bagi keutamaan-keutamaan tersebut. Jadi ketiga unsur ini adalah tingkatan-tingkatan bagi satu essensi tunggal, dan juga saling melengkapi. Dan sesungguhnya rahmah insaniyah yang dinyatakan sebagai essensi tunggal itu tiada lain adalah alhubb alias cinta, dimulai dari cinta anak kepada orang tuanya dan disebut sebagai cinta khusus. Kemudian cinta seseorang pada kekasihnya dan disebut sebagai cinta yang lebih khusus (spesial gitu). Kemudian cinta pada kemanusiaan yaitu cinta universal yang tanpa pamrih dan bukan dorongan watak. Dan yang terakhir inilah yang merupakan tingkatan cinta tertinggi dalam sisi kemanusiaan, karena amanah adalah penyempurna bagi albirr dan iffah, serta mencakup pada hubungan setiap insan tanpa memandang khusus pada individu dan membedakan yang lainya. Inilah ketiga fase sebagaimana fase kehidupan itu sendiri, dimulai dari masa bocah-bocah lalu masa muda lalu masa tua, dan sebagaimana juga dari fase simpati lalu fase rasa suka lalu fase naluri akal. Perhatikanlah, Islam telah mengakui cinta sebagai fitrah manusia dan mengarahkan manusia untuk memurnikan cinta agar tidak terkontaminasi oleh ego, syahwat dan ketamakan yang bisa merusak nilai kemanusiaan itu sendiri.
Kembali pada hadist di atas. Kemudian di akhir doa, ketiga pemuda itu sama-sama mengucapkan "demi mendapatkan ridlo-Mu,". Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggambarkan sisi humanitas yang agung seperti itu tiada lain kecuali berniat mendapatkan ridlo Allah subhanahu wa ta'ala. Lihatlah betapapun besarnya sisi cinta dalam humanitas mereka, namun mereka tetap mengarahkannya pada cinta yang lebih agung lagi dan lebih merefleksikan sisi kehambaan pecinta pada kekasihnya. Bahkan para pecinta dituntut untuk mengutamakan cinta yang terakhir ini walaupun harus mengorbankan cinta humanisnya. Kita tentu ingat bagaimana Nabi Ibrahim 'alaihissalam rela mengorbankan cinta kepada anaknya demi memenuhi permintaan kekasih agungnya agar menyembelih sang putra Ismail 'alaihissalam, sehingga beliau digelari kholilullah. Kita juga bisa terhenyak menyaksikan cinta possesif Zulaikha kepada Nabi Yusuf 'alaihissalam, namun ia menyadari kesalahannya dan bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, sehingga ia diberi kesempatan kembali pada cinta murninya dan mendampingi Nabi Yusuf alaihissalam. Dalam pergaulan kita juga disarankan untuk mencintai orang-orang yang sholih agar kita bisa terimbas mengikuti jejak mereka dalam menempuh cinta dan ridlo Sang Kholiq jalla jalaaluh. Imam Syafi'i mengatakan:
أحب الصالحين ولست منهم
وأكره من تجارته المعاصي
لعلي أن أنال بهم شفاعة
ولو كنا سواء في البضاعة

Kalau diartikan: "aku mencintai orang-orang saleh sedangkan aku bukan termasuk dari golongan mereka karena aku berharap mendapatkan syafa'at sebab mencintai mereka. Dan aku membenci orang-orang yang berdagang kemaksiatan, meskipun kami sama-sama melakukannya,".
Dan yang penting untuk dicatat, cinta kepada Allah tiada lain adalah hakikat iman kepada-Nya. Bahkan Rasulullah 'alaihis sholatu was salam mengumpulkan tiga cinta dalam hakikat iman. Beliau 'alaihis sholatu was salaam bersabda: "Ada tiga perkara yang bila berkumpul dalam pribadi seseorang maka ia akan menemukan manisnya iman. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lainnya, dan jika ia mencintai seseorang maka cintanya tiada lain karena Allah." Hadits muttafaq alaih.
Terus, kalau cinta sudah ada hubungannya dengan iman, otomatis ada kaitannya donk dengan hukum aqidah. Dan memang sudah dijelaskan dalam mausu'ah fiqhiyah kuwaitiyah bahwa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib karena termasuk syarat dari iman. Dan sudah talazum jika kita mencintai Allah dan Rasulullah maka kita wajib mencintai segala apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, termasuk mencintai para waliyyullah, sahabat Nabi dan Ahlul bait sebagaimana dalil-dalil yang tentunya sudah banyak antum ketahui.

EPILOG
Cinta biasa yang dialami manusia bukanlah hal yang perlu disegalakan. Tak seharusnya sebagai manusia dengan bangganya membela cinta mati-matian bagaikan memerankan Syamsul Bahri melarikan Siti Nurbaya (toh padahal hanya roman fiktif yang dibesar-besarkan sebagai epik perjuangan cinta). Bahkan kejadian yang seperti ini menunjukkan lemahnya iman manusia terhadap Tuhannya, dan juga rapuhnya cinta kepada Allah dan Rasulnya sebagai kesempurnaan iman itu.
Tentunya antum ingat bahwa orang yang mati demi menjaga iffahnya dalam cinta adalah orang yang tercatat sebagai syahid akhirat sebagaimana diterangkan syaikh Albaijury dalam hasyiahnya. Wallahu a'lam bil showab.


0 komentar:

Posting Komentar