Jika seandainya….




Sinkronisasi mentari, bulan, angin, air, gunung, tanah…..

Jika seandainya aku mentari. Aku akan selalu menerangi dan menerawang dirimu yang suci dan putih. Pagiku akan sejuk di sampingmu dan saat aku akan tenggelam dalam ombak dan perisai ramainya kehidupan, aku akan terus melindungi dan menatapmu.
Jika seandainya aku adalah bulan. Aku akan terus senyum manis di hadapanmu. Aku tahu kau butuh teman saat malam, maka aku pun akan mendampingimu. Betapapun pahitnya kehidupan dan arti apa itu hidup. Aku akan tabah menungguimu. Karena hidup bukan suatu beban atau suatu apa. Tapi hidup untuk dihidupkan bukan mati atau mematikan.
Jika seandainya aku angin. Aku akan mendesir pelan di sisimu. Aku akan menghantarkan hangatnya cinta di hadapanmu. Karena cinta bukan hanya untuk dimainkan atau memainkan. Tapi cinta juga butuh dihayati dan diselami apa arti itu cinta. Dan bukan pula suatu teka-teki yang kita berdua hanya bisa pasrah.
Jika seandainya aku adalah air. Aku akan menghanyutkanmu dalam asmara. Cinta, asmara, hidup adalah air yang mengalir dan putih-bersih-suci. Kita harus mampu mensucikan cinta demi-Nya, harus mampu membersihkan asmara demi-Nya, harus mampu pula mensucikan hidup karena-Nya.
Jika seandainya aku gunung. Maka itulah lambang cintaku yang kokoh dan tangguh. Hidup pula harus seperti gunung, yang tidak mudah tererosi, tidak mudah terkoyahkan baik oleh keadaan, oleh situasi. Gunung adalah konsisten. Konsisten adalah arti. Dan arti dapat memberi kehidupan.
Jika seandainya pula aku tanah. Aku akan coba merebahkan dirimu dalam suasana, aku akan ikhlas kau tenggelamkan, kau injakkan kakimu di atas tanahku. Tapi aku tidak akan rela kau menodai tanahku, mencoreng-boreng kehormatanku. Karena kehormatan harus dijaga. Hak dan kewajiban harus diteriakkan. Tapi bukan tanah yang harus kau korbankan. Tanah adalah harga diri.
Jika seandainya aku adalah lagu. Akan aku alunkan pelan dan halus di telingamu. Dengan segenap kesempurnaan dan keseimbangan laguku, aku akan mencoba meletakkan dasar-dasar kritik dan protes di gendang suaramu. Karena kritik dan protes tidak harus dengan serampangan, tapi harus dengan lagu. Harus dengan keteraturan, keseimbangan. Protes dengan keadaan atau dengan apapun harus pula dengan lagu. Semua lazim dengan lagu. Hidup pula adalah lagu. Lagu adalah hidup.
Jika seandainya aku adalah mata. Maka aku akan kerlingkan mataku untukmu, akan aku kerdipkan mataku hanya bagimu. Kita akan menerawang bersama ke depan. Karena mata adalah masa. Dan masa pula ada yang belakang-sedang-depan. Dengan mata pula kita akan memandangi dan mengangan-angan masa belakang-sedang-depan. Kemudian kita akan menentukan langkah, memastikan hati. Bukan patah yang menjadi the best solution tapi memandang yang perlu didahulukan.
Jika seandainya aku adalah telinga. Akan aku ajak kau menyelami sebuah intuisi. Akan aku ajak kau mengelilingi nada dan melodi. Di sela-sela waktu dan masa, kita akan dihadapkan dengan intuisi. Kita pula yang akan menikmati intuisi itu. Bukan lari dari intuisi, tapi kita hadapi-kita nikmati.
Dan di penghujung, seandainya aku adalah kaki. Akan aku ajak kau berlari sekencang-kencangnya, hijrah. Bukan lari karena takut, atau lari dari tanggung jawab. Tapi, hijrah karena keadaan, hijrah karena perintah-Nya. Kemudian uzlah dari ramainya suasana. Setelah itu, kembali dengan menghasilkan sebonggah ilham untuk membenahi diri kita.

Tahta qolam
Muhammad Bin Noval.

Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II.


0 komentar:

Posting Komentar