NAMAKU PECI

Oleh : Ma2d
Abdul nama pemilik kepala yang menjadi tempatku nangkring. Pertemuanku dengannya dimulai sejak ia lulus MTs. Ia mendapatkan hadiah sebuah peci hitam baru dari ayahnya karena keberhasilannya mendapat nilai rata-rata 8,12. sebuah nilai luarbiasa di MTs Kalijogo Ulujami. Sebuah MTs yang masyhur sebagai tempat buangan anak-anak yang tidak diterima di berbagai sekolah favorit. Tetapi dengan keberhasilan Abdul, nama Mts Kalijogo menjadi naik daun di kalangan sekolah-sekolah di Ulujami Pemalang.
Sejak hari itu aku menemani Abdul setiap ia pergi mengaji di sore hari di Madrasah Diniyah yang mengajarkan peserta didik tentang agama Islam, dari mulai rukun-rukunnya hingga hukum-hukum penting dalam agama itu.



Aku juga nangkring dengan setia ketika Abdul pergi ke Musholla untuk berjamaah setiap hari. Kebiasaan buruk Abdul adalah ketika ia wudhu ia tidak melepasku terlebih dahulu. Ia hanya menyingkirkanku sedikit agak ke belakang kepalanya sehingga ia dapat membasuh ujung kepalanya dengan air wudhu. Mau tidak mau, ujung muka depanku selalu terkena air setiap hari. Sehingga warna kulit mukaku menjadi belang setengah merah berkilau-kilau. Khusus bagian bawah, warna kulitku sudah putih kecoklatan.
Abdul memang rajin shalat berjamaah di musholla setiap hari kecuali Dhuhur, karena ia sekarang kelas dua "MA Penuntut Ilmu" yang pulangnya selalu jam satu siang. Ia berjamaah di musholla kecil di lingkungan sekolahnya. Untungnya, ia ke sekolah juga membawaku dan membiarkanku menghiasi kepalanya. Hanya saja kebiasaan buruknya adalah saat naik bus untuk berangkat ke sekolah aku dilipat dan dimasukan ke dalam tas mungilnya yang penuh buku-buku pelajaran. Aku jadi semakin rombeng karena desak-desakan dengan buku-buku tebal. Alasannya aku bikin malu dia kalau di bus.
"Masa' sih anak muda ke sekolah pakai peci? Nggak lha yau...,"
"malu ah, banyak cewek-cewek sekolah negeri yang pakai baju minim,"
"untuk apa aku pakai peci? seperti Modin mau menikahkan anak kampung sebelah aja."
Beberapa alasan itu yang terus menjadi dalihnya untuk tetap membiarkanku berdesakan dengan buku biologi, fisika dan kimia yang super tebal.
Ketika Abdul sedang di kampungnya, ia merasa bangga dengan keberadaanku di kepalanya. Karena akulah yang menunjukan identitasnya sebagai pemuda baik-baik yang patuh pada agama. Karena pemuda-pemuda sekampungnya melakukan hal sama. Sedangkan ketika keluar kampung aku seolah-olah menjadi aib untuknya sebagai anak muda. Aku dianggap lambang ketuaan. Karena hanya orang tualah yang pantas bepergian dengan memakai peci. Aku juga dituduh sebagai penghambat baginya untuk mendapatkan cewek. Padahal, jika ditelusuri, justru dengan memakaiku seseorang bisa menjaga agamanya. Ia akan merasa risih menggoda cewek karena di kepalanya ada peci. Ia akan malu melakukan maksiat jika aku masih menghiasi kepalanya. Dan orang-orang akan memandang dengan segan ketika aku nagkring dengan necis di atas kepala. Dan masih banyak predikat lain yang bisa didapat jika ada aku di kepala.
Aku pernah merasa bangga ketika melihat di depan kelas Abdul ada gambar seorang gagah memakai temanku. Di bawah gambar itu ada tulisan "Susilo Bambang Yudhoyono." Di bawah tulisan itu ada tulisan "Presiden Republik Indonesia." Di dinding kelas Abdul juga ada gambar-gambar yang lain yang juga memakai teman-temanku. Dari gambar yang bertuliskan "Bung Tomo Pahlawan Nasional" dan "Yusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia." Aku juga pernah melihat dalam sebuah buku kecil yang sedang dibaca Abdul di sana banyak gambar-gambar orang laki-laki memakai teman-temanku. Di atas gambar itu bertuliskan "SUSUNAN KABINET BERSATU".
Tapi, teman-temanku yang ada di atas kepala orang-orang hebat seperti yang saya sebutkan, semuanya bersih dan hitam. Tidak seperti aku yang warnanya sudah kemerah-merahan dan belang-belang putih kecoklatan. Apalagi keadaanku yang sudah dua tahun di atas kepala Abdul, bauku sudah membuat teman-teman Abdul malas meminjamku walau sekedar untuk melaksanakan sholat sebentar. Lebih parah lagi, ketika aku bertemu dengan temanku yang dipakai teman Abdul di kampungnya, ia tampak sangat lusuh dan baunya menyengat sekali, hingga dari jarak tiga shof saja aku sudah tidak tahan dengan baunya.
Mungkin teman-temanku yang ada di atas kepala orang hebat sangat dirawat dan dijaga kebersihannya yang menunjukan pemiliknya sebagai orang rajin dan rapih. Sedangkan aku tidak dijaga dengan baik oleh pemiliknya yang menunjukan bahwa mereka adalah orang malas yang jorok.
Atau juga sebaliknya, bahwa teman-temanku yang ada di atas kepala orang-orang hebat hanya dipakai saat akan muncul di hadapan publik saja –seperti akan difoto wartawan, akan rapat di kantor atau akan ada kunjungan ke daerah yang terkena bencana, setelah itu mereka akan digantung atau disimpan di almari yang bersih dan wangi. Mereka tidak setiap hari dibawa ke musholla untuk diajak berjamaah yang artinya mereka jarang terkena air wudhu seperti aku di atas kepala Abdul. Mereka juga tidak pernah kehujanan, karena merena selalu dilindungi oleh atap mobil mewah yang tidak bocor. Sedangkan aku sering terkena air wudhu Abdul dan sering kehujanan karena Abdul hanya akan menggunakan payung bolong-bolong untuk melindungi kepalanya saat ia pulang-pergi ke musholla.
Sebenarnya siapa yang lebih mulia antara mereka yang ada di kepala orang-orang penting tapi jarang dipergunakan untuk keperluan baik, atau kami yang di atas orang-orang tidak penting tapi fungsi kami sangat penting sekali. Kami masih dihormati dan dianggap penjaga agama. Karena pemilik kami masih enggan melanggar larangan Allah SWT. jika kami berada di kepala mereka. Meskipun mereka tidak merawat kami dengan baik, tapi mereka sangat hormat pada kami. Sedangkan teman-teman kami yang ada di atas kepala orang penting tidak mampu menjalankan fungsi mereka selain sebagai pakaian adat kenegaraan yang hanya dipakai untuk jaga image saja. Bahkan pemilik mereka tidak merasa risih sama sekali ketika hendak korupsi atau membohongi rakyat. Padahal teman-teman kami para peci necis berada di atas kepala para koruptor itu.
Saya jadi merasa sedih, ketika fungsi teman-temanku sudah bukan sebagaimana fungsi mereka di zaman nenek moyang mereka yang memiliki fungsi sangat penting di dalam masyarakat. Tetapi saya bersyukur masih dimiliki oleh Abdul yang masih memfungsikan aku seperti fungsi nenek moyangku. Sehingga ia merasa malu jika akan bermaksiat ketika aku di kepalanya. Meskipun aku sering disuruh ngumpet di dalam tasnya ketika ia ingin menggoda teman perempuan yang ia temui di bus atau halte.


Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat III

0 komentar:

Posting Komentar