Bukan Salahku

By : Ibnu
Dipersembahkan kepada: Korban banjir Hadrhamaut 2009 M.

Sungguh aku sangat rindu padamu, aku sangat berharap menunggu kedatanganmu, ketika malam tiba kulihat langit cerah sekali, bulan dan bintang leluasa menyinari gelap dunia malam tanpa ada sedikit awanpun yang menyelimutinya, aku hanya termenung dan terus ber-tadabbur , dan ketika pagi, kulihat matahari masih saja seperti kemarin, ia menyinari alam sesuai dengan apa yang diperintahkan Kholik-nya, aku kembali berfikir lagi setelah melihat matahari bersinar seperti hari-hari sebelumnya, kalau begini terus keadaannya mungkin aku tidak akan pernah bertemu denganmu, biarlah kupasrahkan semua ini sama yang punya alam dan seisinya, karena Dialah yang Maha Tahu dan yang mengatur segala urusan hambanya.



Tepat hari sabtu, aku sempatkan diri menuju kota habaib sekaligus berziarah ke makam zanbal, kulihat di situ suasananya tentram dan nyaman tidak seperti di desa kelahiranku, rasanya walaupun matahari menyinari alam sepenuhya, tapi tak ada setetes keringatpun yang menetes dari tubuhku karena panasnya, beda dengan di tempat kelahiranku yang panasnya sangat menyengat.
Setelah berziaroh dari zanbal itu kulihat masyarakat di situ berbondong-bondong menuju masjid, mulai dari anak-anak yang baru baligh sampai kakek-kakek yang jalannya sudah mulai reot, mereka mulai mengatur saf yang lurus dan rapi layaknya tentara yang sedang upacara di lapangan. Aku hanya memandangi dari jauh dan tidak berbaur dengan mereka, sebab tidak ada di antara mereka itu yang aku kenal dan akupun tidak tahu apa sebenarnya tujuan mereka melaksanakan sholat bersama di pagi hari itu. "Maaf pak, tadi antum bersama orang orang itu melaksanakan sholat apa?," tanyaku, "o... saya dan mereka tadi itu lagi melaksanakan sholat istisqo', mengharap turunnya hujan," jawab laki-laki yang memakai gamis putih dan melilitkan sorban di kepalanya itu, "maaf, bukannya kota ini adalah sebuah kota yang subur yang tak pernah kekurangan air, sesuai dengan apa yang telah didoakan oleh sahabat Abu Bakar Ra. waktu beliau datang ke kota ini untuk mengikror masyarakat yang ada di kota ini, dikarenakan ahlu hadzal bilad kholiyan 'anil murtaddin," tegasku, "ya benar, tapi di kota ini sudah lama tidak turun hujan makanya masyarakat di sini melaksanakan sholat istisqo'," lanjut bapak itu, "ooo... terima kasih pak atas keteranganya. Aku mulai termenung setelah melihat ahlu dzalikal bilad yushollunal istisqo'. Kenapa tadi saya tidak ikut bersama mereka, bukankah pekerjaan mereka itu merupakan suatu sarana yang bisa mendukung terhadap keinginanku untuk bertemu dengannya, bodoh ! biarlah, tak patut semua itu aku sesali, gumam hatiku.
Kulihat di padang sahara anak-anak kecil berani menginjakkan kakinya tanpa alas kaki, aku heran kenapa mereka tidak kepanasan? kenapa mereka tidak mengadu sama Tuhannya agar sahara itu bisa lembut dan ditumbuhi rerumputan hijau layaknya stadion?. Di desaku yang kering dan tandus itu aku terus berfikir sambil berharap kepada Tuhan yang Maha Pemberi agar aku bisa bertemu dengannya.
Malam telah tiba, namun rembulan tampak bersinar memancar seperti biasanya, sampai kapan aku mengadu dan meminta kepadan-Nya, baiklah kali ini aku tidak mau memejamkan kedua mataku kecuali aku harus membaca surat tabarok. Dan tidak terasa pagi telah tiba, rasanya tadi malam aku terpesona setelah aku melihatya di dalam mimpiku, sungguh aku tak menyangka kalau dia akan datang menemuiku.
Memang, keadaan pagi saat itu membuat hatiku berbunga-bunga. Soalnya, kulihat matahari di ufuk timur tidak berani menampakan dirinya, ia malu, ia harus menutupi dirinya dengan awan yang tebal. Tepat jam 07:00 kulihat awan hitam menyelimuti langit, alam menjadi gelap dan angin kencang menghembus kesana kemari, aku jadi bingung melihat keaadaan alam yang seperti itu, aku terpaksa keluar rumah. Eh, ternyata penduduk di desaku sudah berada di luar semuanya. Mereka menyaksikan keadaan langit yang seperti itu, aku tambah bingung melihat penduduk di desaku keluar rumah dalam keadaan seperti itu, lalu aku bertanya kepada salah satu tetenggaku, "ada apa ini mas, kok 'gak biasa-biasanya begini," "ooo... sebentar lagi akan turun hujan," jawabnya, "apa mau turun hujan, alhamdulillah," kataku, berarti doaku semalam dikabulkan, aku senang ternyata apa yang diharapkan olehku akan datang, hujan.
Gerimis kecil mulai turun mewarnai suasana pagi di desaku, penduduk di desaku menyambutnya dengan gembira ria. Soalnya, dalam jangka waktu yang lama desaku tak pernah disapa hujan. Namun akhirnya, aku dan penduduk di desaku setelah menyambutnya, hujan, dengan gembira dan meriah, lama-lama akhirnya aku dan penduduk desa cemas. Pasalnya, hujan yang turun tak kunjung reda, suaasana saat itu berubah menjadi menakutkan. Soalnya, aku lihat di jalan-jalan penuh dengan air, dan rumah-rumah penduduk sedikit-sedikit mulai di kikis oleh air, aku bingung, aku terpaksa harus berteriak keras di atas loteng rumahku, memanggil penduduk di sekitarku dan menyuruhya agar segera berjaga-jaga diri. Soalnya, sesaat lagi tidak diragukan lagi, akan datang banjir yang besar. Namun, teriakanku itu tak didengar oleh penduduk, maklum, suasana hujan tambah deras dan rumah mereka terbuat dari tanah yang keras dan tebal. Jadi, sulit sekali suaraku untuk didengar. Tidak terasa ternyata air dengan luapan yang besar dan tinggi datang dari arah selatan menuju ke desaku, seketika itu pula rumah-rumah masyarakat tengelam dan pohon-pohon di pinggir jalan tumbang semua, dan tak ada satu nyawapun di antara mereka yang selamat, kecuali aku, yang kebetulan rumahku lebih tinggi dari rumah-rumah mereka, aku bingung apa yang harus aku lakukan, aku tak punya siapa-siapa lagi, aku harus kemana?, aku harus minta bantuaan sama siapa?. Rumah-rumah telah roboh dan penghuninya telah meninggal.
Saat pagi tiba, aku berkeliling menuju rumah-rumah yang dekat dengan rumahku, kulihat di sana beberapa mayat bergelimpangan, ada yang tertutup oleh lumpur hitam dan adapula yang nyangkut di pohon-pohon, aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku sendiri tidak punya teman, tapi alhamdulillah, setelah itu ada helikopter yang mendarat di sebelah gunung, ternyata mereka tau kalau di desaku lagi banjir, kemudian mereka datang membantu mengevakuasi mayat-mayat yang berjejeran di jalan-jalan. Dan mataku tidak sengaja menoleh ke sebalah kanan helikopter, ternyata, di situ ada orang yang pernah kukenal, rupanya dia adalah orang yang pernah aku tanyai dulu di Tarim, apakah bencana banjir ini terjadi karena ulahnya? Atau karena aku yang terlalu berlebih-lebihan memaksakan kehendak Tuhan?, atau karena masyaratku yang selalu berbuat maksiat...?.

Penulis adalah mahasiswa Univ. Al Ahgaff tingkat II

0 komentar:

Posting Komentar